Posts Tagged ‘asuransi syariah’

Mengenal Konsep Dasar Asuransi Syariah

 

Sebagian kalangan Islam beranggapan bahwa asuransi sama dengan menentang qodlo dan qadar atau bertentangan dengan takdir. Pada dasarnya Islam mengakui bahwa kecelakaan, kemalangan dan kematian merupakan takdir Allah. Hal ini tidak dapat ditolak. Hanya saja kita sebagai manusia juga diperintahkan untuk membuat perencanaan untuk menghadapi masa depan. Allah berfirman dalam surat Al Hasyr: 18, yang artinya “Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuat untuk hari esok (masa depan) dan bertaqwalah kamu kepada Allah. Sesunguhnya Allah Maha mengetahui apa yang engkau kerjakan”. Jelas sekali dalam ayat ini kita diperintahkan untuk merencanakan apa yang akan kita perbuat untuk masa depan.

Dalam Al Qur’an surat Yusuf :43-49, Allah menggambarkan contoh usaha manusia membentuk sistem proteksi menghadapi kemungkinan yang buruk di masa depan. Secara ringkas, ayat ini bercerita tentang pertanyaan raja Mesir tentang mimpinya kepada Nabi Yusuf. Dimana raja Mesir bermimpi melihat tujuh ekor sapi betina yang gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi yang kurus, dan dia juga melihat tujuh tangkai gandum yang hijau berbuah serta tujuh tangkai yang merah mengering tidak berbuah.

Nabi Yusuf sebagaimana diceritakan dalam surat Yusuf, dalam hal ini menjawab supaya raja dan rakyatnya bertanam tujuh tahun dan dari hasilnya hendaklah disimpan sebagian. Kemudian sesudah itu akan datang tujuh tahun yang amat sulit, yang menghabiskan apa yang disimpan untuk menghadapi masa sulit tesebut, kecuali sedikit dari apa yang disimpan.

Sangat jelas dalam ayat ini kita dianjurkan untuk berusaha menjaga kelangsungan kehidupan dengan meproteksi kemungkinan terjadinya kondisi yang buruk. Dan sangat jelas ayat diatas menyatakan bahwa berasurnasi tidak bertentangan dengan takdir, bahkan Allah menganjurkan adanya upaya-upaya menuju kepada perencanaan masa depan dengan sisitem proteksi yang dikenal dalam mekanisme asuransi.

Jadi, jika sistem proteksi atau asuransi dibenarkan, pertanyaan selanjutnya adalah: apakah asuransi yang kita kenal sekarang (asuransi konvensional) telah memenuhi syarat-syarat lain dalam konsep muamalat secara Islami. Dalam mekanisme asuransi konvensional terutama asuransi jiwa, paling tidak ada tiga hal yang masih diharamkan oleh para ulama, yaitu: adanya unsur gharar (ketidak jelasan dana), unsur maisir (judi/ gambling) dan riba (bunga). Ketiga hal ini akan dijelaskan dalam penjelasaan rinci mengenai perbedaan antara asuransi konvensional dan syariah.

Asuransi jiwa syariah dan asuransi jiwa konvensional mempunyai tujuan sama yaitu pengelolaan atau penanggulangan risiko. Perbedaan mendasar antara keduanya adalah cara pengelolaannya pengelolaan risiko asuransi konvensional berupa transfer risiko dari para peserta kepada perusahaan asuransi (risk transfer) sedangkan asuransi jiwa syariah menganut azas tolong menolong dengan membagi risiko diantara peserta asuransi jiwa (risk sharing).

Selain perbedaan cara pengelolaan risiko, ada perbedaan cara mengelola unsur tabungan produk asuransi. Pengelolaan dana pada asuransi jiwa syariah menganut investasi syariah dan terbebas dari unsur ribawi.

Secara rinci perbedaan antara asuransi jiwa syariah dan asuransi jiwa konvensional dapat dilihat pada uraian berikut :

Kontrak atau Akad

Kejelasan kontrak atau akad dalam praktik muamalah menjadi prinsip karena akan menentukan sah atau tidaknya secara syariah. Demikian pula dengan kontrak antara peserta dengan perusahaan asuransi. Asuransi konvensional menerapkan kontrak yang dalam syariah disebut kontrak jual beli (tabaduli).

Dalam kontrak ini harus memenuhi syarat-syarat kontrak jual-beli. Ketidakjelasaan persoalan besarnya premi yang harus dibayarkan karena bergantung terhadap usia peserta yang mana hanya Allah yang tau kapan kita meninggal mengakibatkan asuransi konvensional mengandung apa yang disebut gharar —ketidakjelasaan pada kontrak sehingga mengakibatkan akad pertukaran harta benda dalam asuransi konvensional dalam praktiknya cacat secara hukum. Sehingga dalam asuransi jiwa syariah kontrak yang digunakan bukan kontrak jual beli melainkan kontrak tolong menolong (takafuli). Jadi asuransi jiwa syariah menggunakan apa yang disebut sebagai kontrak tabarru yang dapat diartikan sebagai derma atau sumbangan. Kontrak ini adalah alternatif uang sah dan dibenarkan dalam melepaskan diri dari praktik yang diharamkan pada asuransi konvensional.

Tujuan dari dana tabarru’ ini adalah memberikan dana kebajikan dengan niat ikhlas untuk tujuan saling membantu satu dengan yang lain sesama peserta asuransi syariah apabila diantaranya ada yang terkena musibah. Oleh karenanya dana tabarru’ disimpan dalam satu rekening khsusus, dimana bila terjadi risiko, dana klaim yang diberikan adalah dari rekening dana tabarru’ yang sudah diniatkan oleh semua peserta untuk kepentingan tolong menolong.
Kontrak Al-Mudharabah

Penjelasan di atas, mengenai kontrak tabarru’ merupakan hibah yang dialokasikan bila terjadi musibah. Sedangkan unsur di dalam asuransi jiwa bisa juga berupa tabungan. Dalam asuransi jiwa syariah, tabungan atau investasi harus memenuhi syariah.

Dalam hal ini, pola investasi bagi hasil adalah cirinya dimana perusahaan asuransi hanyalah pengelola dana yang terkumpul dari para peserta. Secara teknis, al-mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama menyediakan seluruh (100 persen) modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola.

Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi, ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian tersebut bukan akibat kelalaian di pengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalian si pengelola, maka pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.

Kontrak bagi hasil disepkati didepan sehingga bila terjadi keuntungan maka pembagiannya akan mengikuti kontrak bagi hasil tersebut. Misalkan kontrak bagi hasilnya adalah 60:40, dimana peserta mendapatkan 60 persen dari keuntungan sedang perusahaan asuransi mendapat 40 persen dari keuntungan.

Dalam kaitannya dengan investasi, yang merupakan salah satu unsur dalam premi asuransi, harus memenuhi syariah Islam dimana tidak mengenal apa yang biasa disebut riba. Semua asuransi konvensional menginvestasikan dananya dengan mekanisme bunga.

Dengan demikian asuransi konvensional susah untuk menghindari riba. Sedangkan asuransi syariah daolam berinvestasi harus menyimpan dananya ke berbagai investasi berdasarkan syariah Islam dengan sistem al-mudharabah.
Tidak Ada Dana Hangus

Pada asuransi konvensional dikenal dana hangus, dimana peserta tidak dapat melanjutkan pembayaran premi dan ingin mengundurkan diri sebelum masa jatuh tempo. Begitu pula dengan asuransi jiwa konvensional non-saving (tidak mengandung unsur tabungan) atau asuransi kerugian, jika habis msa kontrak dan tidak terjadi klaim, maka premi asuransi yang sudah dibayarkan hangus atau menjadi keuntungan perusahaan asuransi.

Dalam konsep asuransi syariah, mekanismenya tidak mengenal dana hangus. Peserta yang baru masuk sekalipun karena satu dan lain hal ingin mengundurkan diri, maka dana atau premi yang sebelumnya sudah dibayarkan dapat diambil kembali kecuali sebagian kecil saja yang sudah diniatkan untuk dana tabarru’ yang tidak dapat diambil.

Begitu pula dengan asuransi syariah umum, jika habis masa kontrak dan tidak terjadi klaim, maka pihak perusahaan mengembalikan sebagian dari premi tersebut dengan pola bagi hasil, misalkan 60:40 atau 70:30 sesuai dengan kesepakatan kontrak di muka. Dalam hal ini maka sangat mungkin premi yang dibayarkan di awal tahun dapat diambil kembali dan jumlahnya sangat bergantung dengan tingkat investasi pada tahun tersebut.

Manfaat Asuransi Syariah

Asuransi syariah dapat menjadi alternatif pilihan proteksi bagi pemeluk agama Islam yang menginginkan produk yang sesuai dengan hukum Islam. Produk ini juga bisa menjadi pilihan bagi pemeluk agama lain yang memandang konsep syariah adil bagi mereka. Syariah adalah sebuah prinsip atau sistem yang ber-sifat universal dimana dapat dimanfaatkan oleh siapapun juga yang berminat.

Demikianlah sekilas ulasan mengenai asuransi syariah. Semoga ulasan ini menambah wawasan dan pengetahuan anda.
(Sumber: Sinar Harapan)

 

 

http://www.asuransisyariah.net/search?updated-max=2008-08 27T06%3A32%3A00-07%3A00&max-results=4

Hukum Asuransi Syariah

Apakah perusahaan asuransi itu mengandung unsur praktek haram atau tidak, sebaiknya kita memilih perusahaan asuransi yang benar-benar menyatakan diri telah menggunakan sistem syariah.

Asuransi sistem syariah pada intinya memang punya perbedaan mendasar dengan yang konvensional, antara lain:

  1. Prinsip akad asuransi syariah adalah takafuli (tolong-menolong). Di mana nasabah yang satu menolong nasabah yang lain yang tengah mengalami kesulitan. Sedangkan akad asuransi konvensional bersifat tadabuli (jual-beli antara nasabah dengan perusahaan).
  2. Dana yang terkumpul dari nasabah perusahaan asuransi syariah (premi) diinvestasikan berdasarkan syariah dengan sistem bagi hasil (mudharabah). Sedangkan pada asuransi konvensional, investasi dana dilakukan pada sembarang sektor dengan sistem bunga.
  3. Premi yang terkumpul diperlakukan tetap sebagai dana milik nasabah. Perusahaan hanya sebagai pemegang amanah untuk mengelolanya. Sedangkan pada asuransi konvensional, premi menjadi milik perusahaan dan perusahaan-lah yang memiliki otoritas penuh untuk menetapkan kebijakan pengelolaan dana tersebut.
  4. Bila ada peserta yang terkena musibah, untuk pembayaran klaim nasabah dana diambilkan dari rekening tabarru (dana sosial) seluruh peserta yang sudah diikhlaskan untuk keperluan tolong-menolong. Sedangkan dalam asuransi konvensional, dana pembayaran klaim diambil dari rekening milik perusahaan.
  5. Keuntungan investasi dibagi dua antara nasabah selaku pemilik dana dengan perusahaan selaku pengelola, dengan prinsip bagi hasil. Sedangkan dalam asuransi konvensional, keuntungan sepenuhnya menjadi milik perusahaan. Jika tak ada klaim, nasabah tak memperoleh apa-apa.
  6. Adanya Dewan Pengawas Syariah dalam perusahaan asuransi syariah yang merupakan suatu keharusan. Dewan ini berperan dalam mengawasi manajemen, produk serta kebijakan investasi supaya senantiasa sejalan dengan syariat Islam. Adapun dalam asuransi konvensional, maka hal itu tidak mendapat perhatian.

Hakikat asuransi secara syariah adalah saling bertanggung jawab, saling bekerja sama atau bantu-membantu dan saling menanggung penderitaan satu sama lain. Oleh karena itu berasuransi diperbolehkan secara syariah, karena prinsip-prinsip dasar syariah mengajak kepada setiap sesuatu yang berakibat keeratan jalinan sesama manusia dan kepada sesuatu yang meringankan bencana mereka sebagaimana fir­man Allah SWT. dalam Al-Qur’an surah al-Maidah ayat 2 yang artinya:“Dan tolong-menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhuya Allah amat berat siksa-Nya”.

Prinsip asuransi syariah yang menekanakan pada semangat kebersamaan dan tolong-menolong (ta’awun). Semangat asuransi syariah menginginkan berdirinya sebuah masyarakat mandiri yang tegak di atas azas saling membantu dan saling menopang, karena setiap muslim terhadap muslim yang lainnya sebagaimana sebuah bangunan yang saling menguatkan sebagian kepada sebagian yang lain. Dalam model asuransi ini tidak ada perbuatan memakan harta manusia dengan batil (aklu amwalinnas bilbathil), karena apa yang telah diberikan adalah semata-mata sedekah dari hasil harta yang dikumpulkan. Selain itu keberadaan asuransi syariah akan membawa kemajuan dan kesejahteraan kepada perekonomian umat.

Dalam menjalankan usahanya, perusahaan asuransi dan reasu­ransi syariah berpegang pada pedoman yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) yaitu Fatwa DSN-MUI No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah diamping Fatwa DSN-MUI yang paling terkini yang terkait dengan akad perjanjian asuransi syariah yaitu Fatwa No.51/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Mudharabah Musytarakah pada Asuransi Syariah, Fatwa No. 52/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Wakalah bil Ujrah pada Asuransi Syariah, Fatwa No. 53/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Tabarru’ pada Asuransi Syariah

Peraturan perundang-undangan yang telah dikeluarkan pemerintah berkaitan dengan asuransi syariah yaitu:

1. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 426/ KMK.06/2003 tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusa­haan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. Peraturan inilah yang dapat dijadikan dasar untuk mendirikan asuransi syariah sebagaimana ketentuan dalam Pasal 3 yang menyebutkan bahwa ”Setiap pihak dapat melakukan usaha asuransi atau usaha reasuransi berdasarkan prinsip syariah…” Ketentuan yang berkaitan dengan asuransi syariah tercantum dalam Pasal 3-4 mengenai persyaratan dan tata cara memperoleh izin usaha perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dengan prinsip syariah, Pasal 32 mengenai pembukaan kantor cabang dengan prinsip syariah dari perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi konvensional, dan Pasal 33 mengenai pembukaan kantor cabang dengan prinsip syariah dari perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dengan prinsip syariah.

2. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 424/ KMK.06/2003 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. Ketentuan yang berkaitan dengan asuransi syariah tercantum dalam Pasal 15-18 mengenai kekayaan yang diperkenankan harus dimiliki dan dikuasai oleh perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dengan prinsip syariah.

Keputusan Direktur Jenderal Lembaga Keuangan Nomor Kep. 4499/ LK/2000 tentang Jenis, Penilaian dan Pembatasan Investasi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dengan Sistem Syariah.

Dalam menerjemahkan istilah asuransi ke dalam konteks asuransi Islam terdapat beberapa istilah, antara lain takaful (bahasa Arab), ta’min (bahasa Arab) dan Islamic insurance (bahasa Inggris). Istilah-istilah tersebut pada dasarnya tidak berbeda satu sama lain yang mengandung makna pertanggungan atau saling menanggung. Namun dalam praktiknya istilah yang paling populer digunakan sebagai istilah lain dari asuransi dan juga paling banyak digunakan di beberapa negara termasuk Indonesia adalah istilah takaful. Istilah takaful ini pertama kali digunakan oleh Dar Al Mal Al Islami, sebuah perusahaan asuransi Islam di Geneva yang berdiri pada tahun 1983.

Istilah takaful dalam bahasa Arab berasal dari kata dasar kafala-yakfulu-takafala-yatakafalu-takaful yang berarti saling menanggung atau menanggung bersama. Kata takaful tidak dijumpai dalam Al-Qur’an, namun demikian ada sejumlah kata yang seakar dengan kata takaful, seperti misalnya dalam QS. Thaha (20): 40 “… hal adullukum ‘ala man yakfuluhu…”. Yang artinya ”… bolehkah saya menunjukkan kepadamu orang yang akan memeliharanya (menanggungnya)?…”

Apabila kita memasukkan asuransi takaful ke dalam lapangan kehidupan muamalah, maka takaful dalam pengertian mu’amalah mengandung arti yaitu saling menanggung risiko di antara sesama manusia sehingga di antara satu dengan lainnya menjadi penanggung atas risiko masing-masing. Dengan demikian, gagasan mengenai asuransi takaful berkaitan dengan unsur saling menanggung risiko diantara para peserta asuransi, di mana peserta yang satu menjadi penanggung peserta yang lainnya.

Tanggung-menanggung risiko ter­sebut dilakukan atas dasar kebersamaan saling tolong-menolong dalam kebaikan dengan cara masing-masing mengeluarkan dana yang ditujukan untuk menanggung risiko tersebut. Perusahaan asuransi takaful hanya bertindak sebagai fasilitator dan mediator proses saling menanggung di antara para peserta asuransi. Hal inilah salah satu yang membedakan antara asuransi takaful dengan asuransi konvensional, di mana dalam asuransi konven­sional terjadi saling menanggung antara perusahaan asuransi dengan peserta asuransi.

Asuransi dibeli bukan karena orang pasti mati, tetapi dibeli karena yang ditinggalkan HARUS TETAP HIDUP. Namun pastikan mereka hidup dari uang yang halal.

Sumber : http://ustadzsbu.blogspot.com dan  http://ustsarwat.com

Artikel dari http://www.asuransiallianz.com/hukumasuransisyariah/asuransisyariah/

Beda Asuransi Syariah dan Konvensional

Sejak awal saya sangat tertarik dengan konsep Asuransi Syariah. Apalagi saat ini hampir semua perusahaan asuransi memiliki produk syariah. Nah, kalau sudah begini, gak ada lagi deh alasan untuk memilih produk konvensional. Yuk mari coba membandingkan antara asuransi syariah dan asuransi konvensional

Semoga artikel ini dapat menjadi pertimbangan anda dalam menentukan untuk bergabung dengan asuransi syariah atau asuransi konvensional.

  1. Konsep
    Syariah (S) : Sekumpulan orang yg saling membantu,saling menjamin dan bekerja sama dengan cara masing – masing mengeluarkan dana terbaru.
    Konvensional (K) : Perjanjian dua pihak atau lebih: pihak penanggung meningkatkan diri pada tertanggung dengan menerima premi asuransi untuk memberikan penggantian pada tertanggung.
  2. Misi
    S : Misi aqidah, ibadah (ta’awun), misi ekonomi (iqtishodl) dan misi pemberdayaan umat(sosial)

K : Misi ekonomi dan sosial

  1. Asal Usul

S : System Al-Aqilah, suatu kebiasaan suku arab sebelum Islam datang yang kemudian disahkan oleh Rasulullah sebagai hukum islam
K : Dimulai dari masyarakat babilonia 4000-3000 SM yang dikenal dengan perjanjian Hammurabi.

  1. Sumber
    S : Bersumber dari firman Allah, Al-Hadist dan Ijma Ulama.
    K : Bersumber dari pikiran manusia dan kebudayaan. Berdasarkan hukum positif, hukum alami dan berbagai contoh sebelumnya.
  2. Maisir, Gharar dan Riba

S : Terbebas dari praktik dan unsur Maisir, Gharar, Riba
K : Tidak sesuai dengan syariah Islam karena ada hal-hal yang tidak sesuai dengan syariah

  1. Akad
    S : Akad tabarru dan akad tijarat (mudharaba,wakalh, syrikah, dll)
    K : Akad jual beli (akad mu’awadhah) dan akad gharar
  2. Jaminan atau resiko
    S : Sharing of risk, terjadinya proses saling menanggung antara satu peserta satu dan peserta lainnya.(ta’awun)
    K : Transfe risk; terjadi transfer resiko dari tertanggung kepada penanggung.
  3. Pengelolaan Dana

S : Pada produk saving (life) terjadi pemisahan dana, yaitu dana tabarru (derma) dari dana peserta, sehingga tidak mengenal adanya dana hangus untuk terminsurance (life) dan general insurance semua bersifat tabarru.
K : Tidak ada pemisah dana yang berakibat pada terjadinya dana hangus (produk saving life)

  1. Investasi
    S : Dapat melakukan investasi sesuai ketentuan perundang-undangan sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah Islam. Bebas dari riba dan berbagai tempat investasi yang terlarang
    K : Debas melakukan investasi dalam batas-batas ketentuan perundangan-undangan dan tidak terbatas pada halal dan haramnya investasi yang di gunakan
  2. Kepemilikan Dana
    S : Dana yang terkumpul dari peserta dalam bentuk iuran atau kontribusi merupakan milik peserta (shahibul maal), sedangkan perusahaan hanya pemegang amanah (mudharib) dan mengelola dana
    K : Dana yang terkumpul dari premi peserta seluruhnya. Perusahaan bebas menggunakan dan menginvestasikan kemanapun dana tersebut

Nah, sekarang anda sudah tahu apa bedanya antara asuransi syariah dan asuransi konvensional. Insya Allah di lain waktu akan saya bahas hal-hal lain yang lebih menarik lagi

This entry was posted on Saturday, March 14th, 2009 at 10:52 pm and is filed under Asuransi Syariah. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

Sumber : http://joinasuransi.com/beda-asuransi-syariah-dan-konvensional.html#more-8

I.                   PENDAHULUAN

Segala puji bagi Allah SWT yang Maha Pengasih tanpa pernah pilih kasih dan Yang Maha Penyayang yang menyayangi tanpa pernah meminta imbalan dari mahluk-Nya, yang atas berkat rahmat, inayah serta hidayah-Nya lah kami sebagai penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Asuransi Syariah” ini tepat pada waktunya. Tak lupa shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi besar Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat, serta, umatnya yang membela risalahnya sampai akhir jaman.

Dunia Islam  pada prinsipnya tidak mengenal asuransi seperti apa yang dijalankan oleh perusahaan asuransi konvensional di dunia Barat. Karena prinsip asuransi di dunia barat adalah profit oriented dan adanya konsep untung-untungan. KUH Perdata pasal 1774 menyebutkan tentang perjanjian asuransi yaitu “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan yang hasilnya mengenai untung ruginya, baik bagi semua pihak maupun bagi sementara pihak, bergantung kepada suatu perjanjian yang belum tentu”. Malah Subekti secara terang menyamakan kedudukan asuransi dengan perjudian  dan pertaruhan, walaupun ada sebagian pakar yang membantah pendapat tersebut.

Dalam konsep Islam  asuransi Islam bukan semata profit oriented, tetapi ia mengandung nilai sosial oriented, jadi perpaduan antara dua kepentingan inilah yang dibangun oleh asuransi syariah dalam menajalankan roda bisnisnya. Karena perbedaan orientasi dan filosofi inilah yang menyebabkan perusahaan asuransi Islam perlu hati-hati dan para pemilik dan pengurusnya mesti orang-orang yang memahami karakteristik ini agar jangan sampai prinsip Islam  tidak digadaikan demi kepentingan sesaat.

Untuk lebih memahami definisi asuransi syariah, prinsip dan landasan hukum operasional asuransi syariah, perkembangan dan jenis-jenis asuransi syariah, serta perbedaan antara asuransi syariah dan asuransi konvensional maka kami akan menjelaskan lewat tulisan kami berikut ini.

II.   PEMBAHASAN

2.1       Definisi Asuransi Syariah

Kata asuransi berasal dari bahasa inggris, insurance,[1] yang dalam bahasa Indonesia telah menjadi bahasa populer dan diadopsi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dengan padanan kata ”pertanggungan”.[2] Echols dan Shadilly memaknai kata insurance dengan a) asuransi, dan b) jaminan. Dalam bahasa belanda biasa disebut dengan istilah assurantie(asuransi) dan verzekering (pertanggungan).[3]

Sedangkan Asuransi Syariah atau Takaful secara bahasa, akar katanya berasal dari Kafala-yakfulu-Kafaalatan, artinya menanggung. Kemudian dari Mujarrad dipindahbabkan ke tsulatsi maziid dengan menambah Ta, sebelum Fa fi’il dan Alif setelahnya, maka menjadi Takaafala Yataakaaful-Takaafulan.

Perpindahan bab dengan menambah Ta dan Alif seperti tersebut di atas dalam Ilmu Sharaf menelorkan pengertian yang satu menanggung yang lain dengan berbagi cara, antara lain dengan membantunya, apabila ia amat membutuhkan bantuan, terutama bila yang bersangkutan ataupun keluarganya ditimpa musibah.

Pengertian Lughawi ini dikhususkan persepakatan tolong-menolong secara teratur sedemikian rupa, keteraturan dan rinciannya antara sejumlah orang bila semuanya akan tertimpa bahaya dan kesukaran, sehingga apabila bahaya itu menimpa seseorang di kalangan mereka, semuanya ikut membantu menghilangkan atau meringankannya, dengan cara memberikan bagian yang tidak menyulitkan masing-masing guna menghilangkan bencana tersebut.

Bermuamalah dengan Takaful, pada ulama besar internasional abad ini seperti Majma’ Fighil Islaamy, Mekkah, Saudi Arabia, Abu Zahra, Yusuf Al Qardhawy condong berpendapat bahwa hukumnya adalah Mubah, selama tidak mengandung unsur Gharar. Gharar secara lughawi berarti penipuan yaitu ketidakjelasan, baik ketidakjelasan itu pada persentase, kepastian dapat, ataupun kepastian waktu mendapatkannya, tidak mengandung maisir, yaitu untung untungan untuk

Mendapatkannya, di mana kalau nasibnya baik, ia akan mendapat bagian dan kalau nasibnya sedang tidak baik, maka premi-premi yang sudah dilunaskannya itu akan melayang semuanya. Tak ada unsur Riba, yaitu mendapat tambahan jumlah dengan tanpa ada imbalan yang sah, ataupun keikhlasan sejati dari pemilik. Apabila salah satu dari tiga unsur itu terdapat pada sesuatu perjanjian jamin menjamin, maka hukum perjanjian itu adalah haram walaupun namanya baik, halal dan sebagainya. Sebaliknya, apabila kesemua unsur tersebut tidak ada di dalamnya, maka hukumnya adalah sah, atau mubah, meskipun namanya asuransi, Takmiin, atau Takaful.

Berdirinya asuransi ini sebagai satu ketegasan bahwa Islam  mempunyai sistem asuransi yang tentunya secara operasional berbeda dengan asuransi konvensional lainnya. Salah satu kiat yang dikembangkan Takaful adalah prinsip tolong-menolong, di mana setiap pemegang polis wajib memberikan derma untuk keperluan dana tolong menolong, serta untuk dana pengembangan kegiatan pembinaan umat dan kepada semua peserta di samping mendapatkan keuntungan pribadi, juga mendapatkan keuntungan bersama. Yang perlu diingat Asuransi Takaful ini diawasi oleh satu badan atau Dewan Pengawas Syariah seperti yang ada pada bank Islam .[4]

2.2  Prinsip dan Landasan Hukum Operasional Asuransi Syariah

2.2.1   Prinsip Dasar Asuransi Syariah

Prinsip Dasar yang ada dalam asuransi syariah tidaklah jauh berbeda dengan prinsip dasar yang berlaku padaa konsep ekonomika Islam secara komprehensif dan bersifat major. Hal ini disebabkan karena kajian asuransi syariah merupakan tururnan (minor) dari konsep ekonomika Islam . Biasanya literatur ekonomika Islam  selalu melakukan penurunan nila pada tataran konsep atau institusi yang ada dalam lingkup kajiannya, seperti lembaga perbankan dan asuransi.

Begitu juga dengan suransi, harus dibangun di atas fondasi dan prinsip dasar yang kuat dan kokoh. Dalam hal ini, prinsip dasar asuransi syariah ada sembilan macam yakni

1.  Tauhid

Dalam berasuransi yang harus diperhatikan adalah bagaimana seharusnya menciptakan suasana dan kondisi bermuamalah yang tertuntun pada nilai-nilai ketuhanan. Paling tidak dalam setiap melakukan aktivitas berasuransi ada semacam keyakinan dalam hati bahawa Allah SWT selalu mengawasi seluruh gerak langkah kita dan selalu bersama kita.[5]

2.   Keadilan

Prisnip kedua adalam berasuransi adalah terpenuhinya nilai-nilai keadilan antara pihak-pihak yang terikat dalam akad asuransi. Keadilan dalam hal ini dipahami sebagai upaya dalam menempatkan hak dan kewajiban antara nasabah dan perusahaan asuransi.[6]

3.  Tolong – Menolong (Ta’awun)

Prinsip dasar yang lain dalam melaksanakan kegiatan asuransi adalah harus didasari dengan semangat tolong-menolong antara anggota (nasabah). Seseorang yang masuk asuransi, sejak awal harus mempunyai niat dan motivasi untuk membantu dan meringankan beban temannya yang pada suatu ketika mendapatkan musibah atau kerugian.[7]

4.  Kerjasama (Cooperation)

Prinsip kerjasama  merupaka prinsip universal yang selalu ada dalam literatur ekonomi Islam . Manusia sebagai mahluk yang mendapat mandat dari sang Khalik-nya untuk mewujudkan perdamainan dan kemakmuran di muka bumi mempunyai dua wajah yang tidak dapat dipisahkan antara satu sama lainnya yaitu sebagai mahluk individu dan mahluk sosial.[8]

5.  Amanah (Trustworthy)

Prinsip amanah dalam organisasi perusahaan dapat terwujud dalam nilai-nilai akuntabilitas (pertanggung jawaban) perusahaan melalui penyajian laporan keuangan tiap periode. Dalam hal ini perusahaan asuransi harus memberi kesempatan yang besar bagi nasabah untuk mengakses laporan keuangan perusahaan. Laporan keuangan yang dikeluarkan oleh perusahaan asuransi harus mencerminkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan dalam bermuamlah dan melalui auditor public.[9]

6.  Kerelaan (Al-Ridha)

Dalam berbisnis asurasnsi, kerelaan dapat diterapkan pada setiap nasabah asuransi agar mempunyai motivasi dari awal untuk merelakan sejumlah dana (premi) yang disetorkan ke perusahaan asuransi, yang difungsikan sebagai dana sosial (tabarru). Dana sosial (tabarru) memang betuk-betul digunakan untuk tujuan membantu nasabah asuransi yang lain jika mengalami bencana kerugian.[10]

7.  Larangan Riba

Bahwa dalam berbisnis asuransi kita dilarang melakukan praktek riba. Yakni bahwa kita dilarang melakukan pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil.[11]

8.  Larangan Maisir

Syafi’i Antonio mengatakan bahwa unsur maisir (judi) artinya adanya salah satu pihak yang untung namun di lain pihak justru mengalami kerugian. Hal ini tampak jelas apabila pemegang polis dengan sebab-sebab tertentu membatalkan kontraknya sebelum masa reversig period, biasanya tahun yang ketiga yang bersangkutan  tidak akan menerima kembali uang yang telah dibayarkan kecuali sebagian kecil saja. Juga adanya unsur keuntungan yang dipengaruhi oleh pengalaman underwriting, dimana untung-rugi terjadi sebagai hasil ketetapan.[12]

9.  Larangan Gharar (Ketidakpastian)

Secara konevensioanal kata Syafi’i Antonio kontrak/perjanjian dalam asuransi jiwa dapat dikategorikan dalam aqd tadabuli atau akad pertukaran yaitu pertukaran pembayaran premi dengan uang pertanggungan. Secara syariah dalam akad pertukaran harus jelas berapa yang harus dibayarkan dan berapa yang harus diterima. Keadaan ini akan menjadi rancu (gharar) karena kita tahu berapa yang akan diterima (sejumlah uang pertanggungan), tetapi tidak tahu berapa yang akan dibayarkan (jumlah uang premi) karena hanya Allah yang tahu kapan seseorang akan meninggal. Disinilah gharar terjadi pada asuransi konvensional.[13]

2.2.2   Landasan Hukum Operasional Asuransi Syariah

Dari segi hukum positif, hingga saat ini asuransi syariah masih mendasarkan legalitasnya pada Undang-undang No. 2 tahun 1992 tentang perasuransian.

Dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang Pasal 246, yaitu :

”Asuransi adalah suatu perjanjian dimana seseorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tentu.”[14]

Pengertian diatas tidak dapat dijadikan landasan hukum yang kuat bagi Asuransi Syariah karena tidak mengatur keberadaan asuransi berdasarkan prinsip syariah, serta tidak mengatur teknis pelaksanaan kegiatan asuransi dalam kaitannya kegiatan administrasinya. Pedoman untuk menjalankan usaha asuransi syariah terdapat dalam Fatwa Dewan Asuransi Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) No.21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah, fatwa tersebut dikeluarkan kareni regulasi yang ada tidak dapat dijadikan pedoman untuk menjalankan kegiatan Asuransi Syariah. Tetapi fatwa DSN-MUI tersebut tidak memiliki kekuatan hukum dalam Hukum Nasional karena tidak termasuk dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Agar ketentuan Asuransi Syariah memiliki kekuatan hukum, maka perlu dibentuk peraturan yang termasuk peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia meskipun dirasa belum memberi kepastian hukum yang lebih kuat, peraturan tersebut yaitu Keputusan Menteri Keuangan RI No.426/KMK.06/2003, Keputusan Menteri Keuangan RI No. 424/KMK.06/2003 dan Keputusan Direktorat Jendral Lembaga Keuangan No. 4499/LK/2000. Semua keputusan tersebut menyebutkan mengenai peraturan sistem asuransi berbasis Syariah.[15]

2.3  Perkembangan dan Jenis-Jenis Asuransi Syariah

2.3.1  Perkembangan Asuransi Syariah Dari Masa ke Masa

Menurut beberapa literatur, kira-kira abad kedua Hijriyah atau abad ke dua puluh Masehi, pelaku bisnis dari kaum muslimin yang kebanyakan para pelaut, sebenarnya telah melaksanakan sistem kerja sama atau tolong menolong untuk mengatasi berbagai kejadian dalam menopang bisnis mereka, layaknya seperti mekanisme asuransi. Kerjasama ini mereka lakukan untuk membantu mengatasi kerugian bisnis, diakibatkan musibah yang terjadi semisal ; tabrakan, tenggelam, terbakar atau akibat serangan penyamun.

Sekitar tujuh abad kemudian, sistem ini akhirnya diadopsi para pelaut eropa dengan melakukan investasi atau mengumpulkan uang bersama dengan sistem membungakan uang. Dan pada abad kesembilan belas, dan cara membungakan uang inipun menjelajahi penjuru dunia, terutama setelah dilakukan para taipan keturunan Yahudi.

Para penghujung abad kedua puluh, atau tepatnya abad kelima belas Hijriyah, para ekonom muslim mulai menelorkan dan merenovasi konsep ekonomi Islam. Mereka adalah rangkaian generasi emas dari Abu Yusuf menghasilkan al-kharaj dan Abu ‘Ubaid menulis kitab al-amwal. Asuransi adalah salah satu lembaga ekonomi yang menjadi fokus para perhatian pakar muslim, sehingga konsep yang menggunakan format maisir, riba, gharar yang berjalan selama ini mesti dirubah menjadi sistem bagi hasil, tolong menolong dengan mendorong pemanfaatan Tabarru. Selain itu sistem asuransi syari’ah mestilah mempunyai komitmen untuk kesejahteraan bersama.

Dibandingkan di sejumlah negara – bahkan negara yang mayoritas penduduknya adalah nonmuslim, keberadaan asuransi Takaful di Indonesia terbilang terlambat. Di Luxemburg, Geneva dan Bahamas misalnya, asuransi Takaful sudah ada sejak tahun 1983. Sementara di negara-negara yang penduduknya mayoritas muslim, keberadaannya sudah jauh lebih lama seperti di Sudan (1979), Saudi Arabia (1979), Bahrain (1983), Malaysia (1984) dan Brunei

Darussalam (1992). [16]

2.3.2  Jenis-Jenis Asuransi Syariah

Dilihat dari segi jenis asuransi syariah, maka suransi syariah terdiri atas dua jenis yakni[17]

1.   Asuransi Umum (kerugian)

Terdiri dari asuransi untuk harta benda (property, kendaraan), kepentingan keuangan (Pecuniary), tanggung jawab hukum (liability) dan asuransi diri (kecelakaan dan kesehatan).

2.  Asuransi Jiwa

Pada hakekatnya meupakan suatu bentuk kerjasama antara orang-orang yang membagi resiko (share risk) yang diakibatkan oleh resiko kematian (yang pasti terjadi tetapi tidak pasti akan terjadinya), resiko hari tua (yang pasti terjadi dan dapat diperkirakan kapan terjadinya, tetapi tidak pasti berapa lama) dan resiko kecelakaan(yang tidak pasti terjadi, tetapi tidak mustahil terjadi). Kerjasama mana dikoordinir perusahaan asuransi yang bekerja atas dasar hukum bilangan besar (the law of large number) yang menyebarkan resiko kepada orang-orang yang mau bekerjasama. Yang termasuk dalam program asuransi jiwa seperti ini adalah asuransi untuk pendidikan, pensiun, investasi, tahapan, dll.

2.4   Perbedaan Antara Asuransi Syariah dan Asuransi Konvensional[18]

No Perbedaan Asuransi Syariah Asuransi Konvensional
1 Konsep Konsep Syari’ah

l      Sekumpulan orang yang saling membantu, saling menjamin, dan bekerja sama dengan cara memberikan dana tabarru’

Konsep Konvensional

l      Perjanjian 2 pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi untuk memberikan pergantian kepada tertanggung

2 Asal usul Asal usul Syari’ah

l      Dari Aqilah, kebiasaan suku Arab jauh sebelum Islam  datang, kemudian disyahkan oleh Rasulullah menjadi hukum Islam  yang tertuang dalam konstitusi Piagam Madinah

Asal usul Konvensional

l      Tahun 1668 M di Coffe House London berdirilah Lloyd sebagai cikal bakalnya.

3 Sumber Hukum Sumber Hukum Syari’ah

l      Bersumber dari wahyu Ilahi. Al-Quran, Sunnah, Ijma’, Fatwa Sahabat, Qiyas, Istihsan, Mashalih mursalah

Sumber Hukum Konvensional

l      Bersumber dari pikiran manusia dan kebudayaan. Berdasarkan hukum positif, hukum alami, dan contoh sebelumnya.

4

Ada atau tidaknya Dewan Pengawas Syariah (DPS)

Syari’ah

l      Adanya DPS yang berfungsi mengawasi pelaksanaan operasional perusahaan agar terbebas dari praktek2 muamalah yang bertentangan dengan prinsip-prinsip syari’ah

Konvensional

l      Tidak ada DPS yang mengawasi praktek operasionalnya, sehingga banyak yang bertentangan dengan syara’

5 Akad Akad Syari’ah

l      Aqad tabarru’ dan Aqad tijarah

l      Bersih dari adanya praktek Maysir, Gharar, dan Riba

Perjanjian Konvensional

l      Perjanjian jual beli

l      Adanya unsur Maysir, Gharar, dan Riba yang diharamkan dalam muamalah

6 Jaminan Jaminan/Risk Syari’ah

l      Sharing Of Risk, di mana terjadi proses saling menanggung antara satu peserta dengan peserta lainnya (ta’awun)

Jaminan/ Risk Konvensional

l      Transfer Of Risk, di mana terjadi transfer resiko dari tertanggung kepada tertanggung.

7 Pengelolaan Dana Pengelolaan Dana Syari’ah

l      Dana yang terkumpul menjadi amanah pengelola dana.

l      Dana tersebut diinvestasikan sesuai dengan instrumen syari’ah

l      Ada pemisahan dana

Pengelolaan Dana Konvensional

l      Dana yang terkumpul menjadi milik perusahaan

l      Dana tersebut dikelola sesuai dengan kebijakan management.

l      Tidak ada pemisahan dana

8 Unsur Premi Unsur Premi Syari’ah

l      Iuran atau kontribusi terdiri dari unsur tabarru’ dan tabungan yang tidak mengandung unsur riba. Tabarru juga dihitung dari tabel mortalita, tapi tanpa perhitungan bunga teknik

Unsur Premi Konvensional

l      Unsur premi terdiri dari: tabel mortalita, interest, cost of insurance

9 Investasi Investasi Syari’ah

l      Dapat melakukan investasi sesuai dengan perundang-undangan, sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syari’ah

Investasi Konvensional

l      Bebas melakukan investasi sesuai dengan perundangan-undangan, tanpa memandang unsur halal haram.

10 Klaim Klaim Syari’ah

l      Sumber pembiayaan klaim diperoleh dari rekening tabarru

Klaim Konvensional

l      Sumber pembiayaan klaim diperoleh dari rekening perusahaan

11 Marketing Marketing Syari’ah

l      Entertaintment dengan dasar syari’ah

l      Tidak ada Risywah

Marketing Konvensional

l      Entertainment tanpa dasar syari’ah

l      Mengenal risywah

12 Akuntansi Akuntansi Syari’ah

l      Menganut konsep akuntansi cash basis, mengakui apa yang benar-benar telah ada, sedangkan accrual basis dianggap bertentangan dengan syari’ah karena mengakui adanya pendapatan, harta, beban, atau utang yang akan terjadi di masa depan.

Akuntansi  Konvensional

l      Menganut konsep accrual basis yaitu proses akuntansi yang mengakui terjadinya peristiwa atau kejadian nonkas. Dan mengakui pendapatan, peningkatan asset, expenses, liabilities dalam jumlah tertentu yang baru diterima masa akan datang.

13 Profit Profit Syari’ah

l      Profit dari Surplus U/W, komisi reas, & hasil investasi dilakukan profit sharing dengan peserta

Profit Konvensional

l      Profit dari Surplus U/W, komisi reas, & hasil investasi adalah sepenuhnya milik perusahaan.

14 Visi & Misi Visi & Misi Syari’ah

l      Misi yang diemban dalam asuransi syari’ah adalah misi aqidah, misi ibadah, misi ekonomi, dan misi pemberdayaan ummat (sosial).

Visi & Misi Konvensional

l      Secara garis besar Visi & Misi utamanya adalah misi ekonomi dan sosial.

III.   ANALISIS SWOT ASURANSI SYARIAH

Agus Haryadi menyebutkan ada beberapa aspek yang dapat menjadi peluang, ancaman(tantangan), kekuatan dan kelemahan dalam memperluas jaringan bisnis asuransi syariah terutama di Indonesia, penjelasannya adalah sebagai berikut :[19]

A.  Peluang

Beberapa faktor yang merupakan peluang dan mendukung prospek asuransi syariah adalah

  1. Keunggulan konsep asuransi syariah dapat memenuhi peningkatan tuntutan rasa keadilan dari masyarakat.
  2. Jumlah penduduk beragama Islam  di Indonesia lebih dari 180 Juta orang
  3. Meningkatnya kesadaran bermuamalah sesuai syariah, tumbuh subur khususnya pada masyarakat golongan menengah.
  4. Meningkatnya kebutuhan jasa asuransi karena perkembangan ekonomi umat.
  5. Tumbuhya lembaga keuangan syraiah (LKS) lainnya seperti perbankan dan reksadana.
  6. Kompetitor dalam bisnis asuransi syariah masih sedikit.
  7. Berlakunya undang-undang otonomi daerah yang akan memacu perkembangan ekonomi daerah.
  8. Kebutuhan meningkatkan pendidikan (anak).
  9. Meningkatnya resiko kehidupan.

10.  Meningkatnya bea-bea kesehatan (harga dolar, dll)

11.  Menurunnya rasa ”tolong menolong” di masyarakat (tidak membudaya lagi).

12.  Globalisasi (teknologi internet sebagai penunjang bisnis).

13.  Adanya UU Dana Pensiun.

14.  ”Employee Benefits” sebagai bagian dari paket perusahaan dalam rekrutmen karyawan.

B.  Ancaman/ Tantangan

Sedangkan faktor yang masih merupakan ancaman atau tantangan bagi perkembangan asuransi syariah di Indonesia adalah

  1. Globalisasi, masuknya asuransi luar negeri yang memiliki : kapital besar dan teknologi yang lebih tinggi sehingga membuat premi suransi lebih murah.
  2. Asuransi konvensional dan lembaga keuangan lainnya yang lebih efisien.
  3. Langkanya ketersediaan SDM yang ”qualified” dan memiliki semangat syariah.
  4. Citra lembaga keuangan syariah masih belum mapan di mata masyarakat, padahal ekspektasi masyarakat terhadap LKS sangat tinggi.
  5. Sarana investasi syariah yang ada sekarang belum mendukung secara optimal untuk perkembangan asuransi syariah.
  6. Belum ada UU dan PP yang secara khusus mengatur asuransi syariah.
  7. Budaya suap dan kolusi dalam asuransi kumpulan (group insurance) masih kental.
  8. Alokasi pengeluaran masyarakat untuk asuransi masih sangat terbatas, hal ini nampaknya berkaitan dengan masalah sosialisasi asuransi dan pengalaman berasuransi.

C.  Kekuatan

Dalam upaya pengembangan operator asuransi syariah baru di Indonesia, yang dapat menjadi kekuatan positif adalah sebagai berikut :

  1. Tenaga kerja profesional/ sumber daya manusia inti yang kompeten dan memilki integritas moral dan ghirah Islam, yang berada dalam sebuah teamwork yang solid.
  2. Pemegang saham yang memiliki visi dan misi syariah yang jelas.
  3. Kelompok pemegang saham mampu mengusahakan ”captive market” awal.
  4. Kelompok pemegang saham diharapkan memiliki infrastruktur teknologi dan potensi tenaga ahli (mislanya: Fund manager).
  5. Dalam aspek legal, sifat perjanjian yang memenuhi syarat syariah mampu memberi rasa aman kepaa peserta asuransi syariah, selain unsur duniawi semata.
  6. Adanya unsur dakwah.
  7. Produk asuransi bersifat transparan.

D.  Kelemahan

Namun demikian, system asuransi syariah dan “core team” asuransi syariah baru ini memiliki kelemahan yang masih dalam tahap peningkatan yaitu

  1. SDM pendukung (lapisan kedua,dst) belum banyak memahami bisnis syariah.
  2. Dalam hal pemasaran, alternatif distributif relatif masih terbatas dibandingkan pola konvensional.
  3. Kompleksitas dalam sistem administrasi syariah (misalnya perhitungan bagi hasil dan tingkat hasil investasi).
  4. Permodalan yang terbatas akan memprngaruhi
  1. Sistem/teknologi pendukung manajemen
  2. Strategi bisnis
  3. Ketersediaan infrasturktur (internal, eksternal, customer support,dll)
  1. Apabila pemegang saham kurang menghargai pentingnya investasi di bidang IT sebgai ”modelling tools” dan ”administrasi tools”.
  2. Pengalaman langsung/ penerapan model terhadap bisnis riil belum cukup (baru pada tahap teoritis).
  3. Lemahnya ”public relations” untuk mengkomunikasikan keunggulan LKS (idealnya beralih dari ”shorty therm/ hit and run marketing” menjadi ”long term marketing/customer relationship”).

IV.   KESIMPULAN DAN SARAN

A.  Kesimpulan

Asuransi sebagai satu wujud usaha dalam pertanggungan yang melibatkan antara sekelompok (kumpulan) orang disatu pihak dan perusahaan asuransi, sebagai lembaga pengelola dana di pihak lain, telah mengangkat “isu” utama saling menanggung dalam menghadapi musibah dan bencana. Dilihat dari nilai bawan yang tertera dalam teks-teks absolut (Al-Qur’an dan As-Sunnah), maka nilai dasar dari asuransi syariah mempunyai nilai sosial oriented yaitu sebuah nilai yang didasarkan pada semangat saling tolong-menolong antar sesama peserta asuransi dalam menghadapi musibah.

B.  Saran

Saran yang dapat penulis sampaikan dalam pengembangan asuransi syariah terutama di Indonesia adalah

  1. perlu adanya kajian dan diskusi yang mendalam tentang konsep asuransi syariah oleh kalangan yang punya perhataian terhadap asuransi syariah sehingga pada akhirnya terbentuk Masyarakat Asuransi syariah (MAS).
  2. secepatnya diperlukan payung hukum yang kuat terhadap eksistensi asuransi syariah di Indonesia.
  3. perlunya sosialisasi yang masif terhadap masyarakat muslim sehingga mengetahui apa pentingnya asuransi syariah dalam kehidupannya.
  4. maksimalisasi fungsi Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang terdapat dalam setiap perusahaan asuransi syariah.
  5. perlu adanya penelitian yang lebih lanjut dan mendalam tantang kesesuaian praktik asuransi syariah dengan ketentuan dasar ekonomika Islam .

DAFTAR PUSTAKA

Agus Haryadi, Republika, Prospek Bisnis Asuransi Syariah Takaful, 14 Februari 2000.

AM. Hasan Ali, Asuransi dalam Perspektif Hukm Islam , Kencana, Jakarta, 2004

Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1996

Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia, Fatwa Dewa Syariah

Nasional No.21/DSN-MUI/X/2001 Tantang Pedoman Umum Asurans Syariah, Jakarta, 2001

Didin Hafidhuddin & Masyhuril Khamis, “Takaful dan Kemajuan Umat”,

Republika 16 Jan. 2001.

Echols , John M. dan Hassan Syadilly, kamus Inggris-Inndonesia, Gramedia, Jakarta, 1990.

Firdaus Djaelani, Market Share, Perkembangan dan Peraturan Yang berlaku

pada Asuransi Syariah, Makalah, Jakarta, 2002.

Masyhuril Khamis, ”Takaful, Asuransi Syari’ah: Suatu Solusi”, Republika 1 Des.

2000.

Setiawan, Aziz Budi, Asuransi Konvensional Vs Takaful Islam i, kajian IsEF STEI SEBI, Jakarta, 2006

M.A. Choudhury, Contributions to Islam ic Economic Theory, St.

Martin Press,  New York, 1986.

Masyhuril Khamis, ”Takaful, Asuransi Syari’ah: Suatu Solusi”, Republika 1 Des.

2000.

Muh. Nejatullah Siddiqi, Kemitraan Usaha dan Bagi Hasil dalam Hukum Islam ,

(Penerj. Fakhriyah Mumtihani) , PT. Dana Bhakti Prima, Yogyakarta :

Yasa, 1996.

Muhammad Syafi’I Antonio, Asuransi Dalam Perspektif Islam , STI, Jakarta,

1994.

Murasa Sarkaniputra, Peran Zakat dan Kebuthan Dasar dari Asy Syatibi dalam

Menentukan Pembagian Pendapata Fungsional, Makalah Seminar di

Bank Indonesia,Jakarta, 2001.

Prodjokoro, Wirjono, Hukum Asuransi di Indonesia, Pembimbing, Jakarta, 1958

http://www.asuransi syariah.net/2008/08/perbedaan-asuransi-syariah-dan-asuransi-konvensional.html

www.republika.co.id/berita/26080/Pedoman-Umum_Asuransi_Syariah.


[1] John M. Echols dan Hassan Syadilly, kamus Inggris-Inndonesia, (Jakarta: Gramedia, 1990), h. 326

[2] Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia,(Jakarta: Balai Pustaka, 1996), h. 63

[3] Wirjono Prodjokoro, Hukum Asuransi di Indonesia, (Jakarta: Pembimbing, 1958), h. 1

[4] Didin Hafidhuddin & Masyhuril Khamis, “Takaful dan Kemajuan Umat”, Republika 16 Jan. 2001

[5] M.A. Choudhury, Contributions to Islam ic Economic Theory, (New York: St. Martin Press, 1986), h.7-8.

[6] Ibid, h.9

[7] Murasa Sarkaniputra, Peran Zakat dan Kebuthan Dasar dari Asy Syatibi dalam Menentukan Pembagian Pendapata Fungsional, Makalah Seminar di Bank Indonesia, (Jakarta : 2001)

[8] Muh. Nejatullah Siddiqi, Kemitraan Usaha dan Bagi Hasil dalam Hukum Islam , (Penerj. Fakhriyah Mumtihani) , (Yogyakarta : PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 1996).

[9] Diantara ayat Al-Qur’an yang berkenaan dengan tanggung jawab dan amanah terdapat dalam QS. An-Nisa : 58, QS. Al-Baqarah : 283, QS. Al-Mu’minun : 8, QS. Al_Anfaal : 27.

[10] AM. Hasan Ali, Asuransi dalam Perspektif Hukm Islam , (Jakarta : Kencana, 2004),h. 131

[11] Snacht, An Introduction to Islam i Law, h. 145

[12] Muhammad Syafi’I Antonio, Asuransi Dalam Perspektif Islam ,(Jakarta : STI, 1994), h.1-3

[13] Ibid

[14] Firdaus Djaelani, Market Share, Perkembangan dan Peraturan Yang berlaku pada Asuransi Syariah, Makalah, (Jakarta : 2002).

[15] Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia, Fatwa Dewa Syariah Nasional No.21/DSN-MUI/X/2001 Tantang Pedoman Umum Asurans Syariah, (Jakarta : 2001), h.5

[16] Masyhuril Khamis, ”Takaful, Asuransi Syari’ah: Suatu Solusi”, Republika 1 Des. 2000.

[17] http://www.republika.co.id/berita/26080/Pedoman-Umum_Asuransi_Syariah.

[18] http://www.asuransi syariah.net/2008/08/perbedaan-asuransi-syariah-dan-asuransi-konvensional.html

[19] Agus Haryadi, Republika, Prospek Bisnis Asuransi Syariah Takaful, 14 Februari 2000.

FATWA

DEWAN SYARI’AH NASIONAL

NO: 21/DSN-MUI/X/2001

Tentang

PEDOMAN UMUM ASURANSI SYARI’AH

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Dewan Syari’ah Nasional setelah:

Menimbang             :    a.  bahwa dalam menyongsong masa depan dan upaya meng-antisipasi kemungkinan terjadinya resiko dalam kehidupan ekonomi yang akan dihadapi, perlu dipersiapkan sejumlah dana tertentu sejak dini.

b.  bahwa salah satu upaya untuk memenuhi kebutuhan dana tersebut dapat dilakukan melalui asuransi;

c.  bahwa bagi mayoritas umat Islam Indonesia, asuransi merupakan persoalan baru yang masih banyak dipertanyakan; apakah status hukum maupun cara aktifitasnya sejalan dengan prinsip-prinsip syari’ah;

d.  bahwa oleh karena itu, untuk memenuhi kebutuhan dan menjawab pertanyaan masyarakat, Dewan Syariah Nasional memandang perlu menetapkan fatwa tentang asuransi yang berdasarkan prinsip-prinsip Syariah untuk dijadikan pedoman oleh pihak-pihak yang memerlukannya.

Mengingat               :    1.  Firman Allah tentang perintah mempersiapkan hari depan:

يَآأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا اتَّقُوا اللّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَاقَدَّمَتْ لِغَدٍ، وَاتَّقُوا اللّهَ، إِنَّ اللّهَ خَبِيْرٌ بِمَاتَعْمَلُوْنَ (الحشر: 18).

“Hai orang yang beriman! Bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah dibuat untuk hari esok (masa depan).  Dan bertaqwalah kepada Allah.  Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. al-Hasyr [59]: 18).

2.  Firman Allah tentang prinsip-prinsip bermu’amalah, baik yang harus dilaksanakan maupun dihindarkan, antara lain:

يَآ أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا أَوْفُوْا بِالْعُقُوْدِ  أُحِلَّتْ لَكُمْ بَهِيْمَةُ اْلأَنْعَامِ إِلاَّ مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ غَيْرَ مُحِلِّى الصَّيْدِ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ، إِنَّ اللهَ يَحْكُمُ مَا يُرِيْدُ (المائدة: 1)

“Hai orang-orang yang beriman tunaikanlah akad-akad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hokum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya. (QS. al-Maidah [5]: 1)

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ، إِنَّ اللهَ كَانَ سَمِيْعًا بَصِيْرًا (النساء: 58)

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan apabila kamiu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah dengan adil…” (QS. an-Nisa [4]: 58).

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوْهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (المائدة: 90)

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan” (QS. al-Maidah [5]: 90)

وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا (البقرة: 275)

“Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. 2: 275)

يَآ أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اتَّقُوا اللهَ وَذَرُوْا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَوا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِيْنَ (البقرة: 278).

“Hai orang yang beriman! Bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba jika kamu orang yang beriman” (QS.2 : al-Baqarah [2]: 278).

وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوْسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُوْنَ وَلاَ تُظْلَمُوْنَ (البقرة: 279)

“Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. (QS. al-Baqarah [2]; 279)

وَإِنْ كَانَ ذُوْ عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ، وَأَنْ تَصَدَّقُوْا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ (البقرة: 280)

“Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui” (QS. al-Baqarah [2]: 280)

يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا لاَ تَأْكُلُوْا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلاَ تَقْتُلُوْا أَنْفُسَكُمْ، إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا (النساء: 29)

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memakan (mengambil)harta orang lain secara batil, kecuali jika berupa perdagangan yang dilandasi atas sukarela di antara kalian..” (QS. an-Nisa [4] : 29)

3.  Firman Allah tentang perintah untuk saling tolong menolong dalam perbuatan positif, antara lain :

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ (المائدة: 2).

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya” (QS. al-Maidah [5]: 2)

4.  Hadis-hadis Nabi shallallahu alaihi wasallam tentang beberapa prinsip bermu’amalah, antara lain:

مَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا، فَرَّجَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَاللهُ فِيْ عَوْنِ الْعَبْدِ مَادَامَ الْعَبْدُ فِيْ عَوْنِ أَخِيْهِ (رواه مسلم).

“Barang siapa melepaskan dari seorang muslim suatu kesulitan di dunia, Allah akan melepaskan kesulitan darinya pada hari kiamat; dan Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama ia (suka) menolong saudaranya” (HR. Muslim dari Abu Hurairah).

مَثَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ فِيْ تَوَادّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مِثْلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عَضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَى (رواه مسلم عن النعمان بن بشير)

“Perumpamaan orang beriman dalam kasih sayang, saling mengasihi dan mencintai bagaikan tubuh (yang satu); jikalau satu bagian menderita sakit maka bagian lain akan turut menderita” (HR. Muslim dari Nu’man bin Basyir)

اَلْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا (رواه مسلم عن أبي موسى)

“Seorang mu’min dengan mu’min yang lain ibarat sebuah bangunan, satu bagian menguatkan bagian yang lain” (HR Muslim dari Abu Musa al-Asy’ari)

وَالْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا. (رواه الترمذي عن عمرو بن عوف)

“Kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat yang mereka buat kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.” (HR. Tirmidzi dari  ‘Amr bin ‘Auf)

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى (رواه البخاري ومسلم عن عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ)

“Setiap amalan itu hanyalah tergantung niatnya. Dan seseorang akan mendapat ganjaran sesuai dengan apa yang diniatkannya”. (HR. Bukhari & Muslim dari Umar bin Khattab).

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ (رواه مسلم والترمذي والنسائي وأبو داود وابن ماجة عن أَبِي هُرَيْرَةَ)

“Rasulullah SAW melarang jual beli yang mengandung gharar” (HR. Muslim, Tirmizi, Nasa’i, Abu Daud, dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah).

إِنَّ خَيْرَكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً (رواه البخاري)

“Orang yang terbaik di antara kamu adalah orang yang paling baik dalam pembayaran hutangnya” (HR. Bukhari).

لاَضَرَرَ وَلاَضِرَارَ (رواه ابن ماجة عن عبادة بن الصامت، وأحمد عن ابن عباس، ومالك عن يحي)

“Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh pula membahayakan orang lain.” (Hadis Nabi riwayat Ibnu Majah dari ‘Ubadah bin Shamit, riwayat Ahmad dari Ibnu ‘Abbas, dan Malik dari Yahya).

7.  Kaidah fiqh yang menegaskan:

1- اْلأَصْلُ فِى الْمُعَامَلاَتِ اْلإِبَاحَةُ إِلاَّ أَنْ يَدُلَّ دَلِيْلٌ عَلَى تَحْرِيْمِهَا

“Pada dasarnya, semua bentuk mu’amalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”

2- اَلضَّرَرُ يُدْفَعُ بِقَدْرِ اْلإِمْكَانِ.

“Segala mudharat harus dihindarkan sedapat mungkin.”

3- اَلضَّرَرُ يُزَالُ.

“Segala mudharat (bahaya) harus dihilangkan.”

Memperhatikan       :    1.  Hasil Lokakarya Asuransi Syari’ah DSN-MUI tanggal 13-14 Rabi’uts Tsani 1422 H / 4-5 Juli 2001M.

  1. Pendapat dan saran peserta Rapat Pleno Dewan Syari’ah Nasional pada Senin, tanggal 15 Muharram 1422 H/09 April 2001 M.
  2. Pendapat dan saran peserta Rapat Pleno Dewan Syari’ah Nasional pada 25 Jumadil Awal 1422 H/15 Agustus 2001 & 29 Rajab 1422 H/17 Oktober 2001.
MEMUTUSKAN

Menetapkan            :    FATWA TENTANG PEDOMAN UMUM ASURANSI SYARI’AH

Pertama :    Ketentuan Umum

  1. Asuransi Syariah (Ta’min, Takaful atau Tadhamun) adalah usaha saling melindungi dan tolong-menolong di antara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan / atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah.
  2. Akad yang sesuai dengan syariah yang dimaksud pada point (1) adalah yang tidak mengandung gharar (penipuan), maysir (perjudian), riba, zhulm (penganiayaan), risywah (suap), barang haram dan maksiat.
  3. Akad tijarah adalah semua bentuk akad yang dilakukan untuk tujuan komersial.
  4. Akad tabarru’ adalah semua bentuk akad yang dilakukan dengan tujuan kebajikan dan tolong-­menolong, bukan semata untuk tujuan komersial.
  5. Premi adalah kewajiban peserta Asuransi untuk memberikan sejumlah dana kepada perusahaan asuransi sesuai dengan kesepakatan dalam akad.
  6. Klaim adalah hak peserta Asuransi yang wajib diberikan oleh perusahaan asuransi sesuai dengan kesepakatan dalam akad.

Kedua :    Akad dalam Asuransi

  1. Akad yang dilakukan antara peserta dengan perusahaan terdiri atas akad tijarah dan / atau akad tabarru’.
  2. Akad tijarah yang dimaksud dalam ayat (1) adalah mudharabah. Sedangkan akad tabarru’ adalah hibah.

3.  Dalam akad, sekurang-kurangnya harus disebutkan :

a.  hak & kewajiban peserta dan perusahaan;

b.  cara dan waktu pembayaran premi;

c.  jenis akad tijarah dan / atau akad tabarru’ serta syarat-syarat yang disepakati, sesuai dengan jenis asuransi yang diakadkan.

Ketiga :    Kedudukan Para Pihak dalam Akad Tijarah & Tabarru’

  1. Dalam akad tijarah (mudharabah), perusahaan bertindak sebagai mudharib (pengelola) dan peserta bertindak sebagai shahibul mal (pemegang polis);
  2. Dalam akad tabarru’ (hibah), peserta memberikan hibah yang akan digunakan untuk menolong peserta lain yang terkena musibah. Sedangkan perusahaan bertindak sebagai pengelola dana hibah.
  3. Jenis akad tijarah dapat diubah menjadi jenis akad tabarru’ bila pihak yang tertahan haknya, dengan rela melepaskan haknya sehingga menggugurkan kewajiban pihak yang belum menunaikan kewajibannya.
  4. Jenis akad tabarru’ tidak dapat diubah menjadi jenis akad tijarah.
Keempat :    Ketentuan dalam Akad Tijarah & Tabarru’

Kelima :    Jenis Asuransi dan Akadnya

  1. Dipandang dari segi jenis asuransi itu terdiri atas asuransi kerugian dan asuransi jiwa.
  2. Sedangkan akad bagi kedua jenis asuransi tersebut adalah mudharabah dan hibah.

Keenam :    Premi

1.  Pembayaran premi didasarkan atas jenis akad tijarah dan jenis akad tabarru’.

2.  Untuk menentukan besarnya premi perusahaan asuransi syariah dapat menggunakan rujukan, misalnya tabel mortalita untuk asuransi jiwa dan tabel morbidita untuk asuransi kesehatan, dengan syarat tidak memasukkan unsur riba dalam penghitungannya.

3.  Premi yang berasal dari jenis akad mudharabah dapat diinvestasikan dan hasil investasinya dibagi-hasilkan kepada peserta.

4.  Premi yang berasal dari jenis akad tabarru’ dapat diinvestasikan.

Ketujuh :    Klaim

1.  Klaim dibayarkan berdasarkan akad yang disepakati pada awal perjanjian.

2.  Klaim dapat berbeda dalam jumlah, sesuai dengan premi yang dibayarkan.

3.  Klaim atas akad tijarah sepenuhnya merupakan hak peserta, dan merupakan kewajiban perusahaan untuk memenuhinya.

4.  Klaim atas akad tabarru’, merupakan hak peserta dan merupakan kewajiban perusahaan, sebatas yang disepakati dalam akad.

Kedelapan :    Investasi

1.  Perusahaan selaku pemegang amanah wajib melakukan investasi dari dana yang terkumpul.

2.  Investasi wajib dilakukan sesuai dengan syariah.

Kesembilan :    Reasuransi

Asuransi syariah hanya dapat melakukan reasuransi kepada perusahaan reasuransi yang berlandaskan prinsip syari’ah.

Kesepuluh :    Pengelolaan

  1. 1.      Pengelolaan asuransi syariah hanya  boleh dilakukan oleh suatu lembaga yang berfungsi sebagai pemegang amanah.
  2. 2.      Perusahaan Asuransi Syariah memperoleh bagi hasil dari pengelolaan dana yang terkumpul atas dasar akad tijarah (mudharabah).
  3. 3.      Perusahaan Asuransi Syariah memperoleh ujrah (fee) dari pengelolaan dana akad tabarru’ (hibah).

Kesebelas :    Ketentuan Tambahan

1.  Implementasi dari fatwa ini harus selalu dikonsultasikan dan diawasi oleh DPS.

2.  Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

3.  Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Jakarta

Pada Tanggal : 17 Oktober 2001

DEWAN SYARI’AH NASIONAL

MAJELIS ULAMA INDONESIA

Ketua,                                                                         Sekretaris,

ttd                                                                                ttd

K.H.M.A. Sahal Mahfudh Prof. Dr. H.M. Din Syamsuddin