Al-Istihsan

Posted: 24/01/2011 in Ushul Fiqh
Tag:, ,

I. PENDAHULUAN

Secara umum sumber hukum Islam ada dua. Sumber hukum yang muttafaq yang bersifat primer (Al Qur’an dan As Sunnah) dan sumber hukum yang yang mukhtalaf yang  bersifat sekunder. Diantara sumber hukum yang mukhtalaf adalah Al Istihsan. Ada dua aliran dalam mensikapi Istihsan, antara penduduk Hijaz dan Iraq. Kubu Hijaz tokoh sentralnya adalah Imam Malik (sekalipun beliau juga mendukung penggunaan Istihsan sebagai sumber hukum) dan Imam Syafi’i yang dikenal dengan sebutan ahli hadits. Mereka menolak keberadaan Istihsan sebagai sumber hukum Islam. Kecuali Imam Malik beliau pernah mengatakan bahwa pemakaian Istihsan merambah 9/10 dari seluruh ilmu fiqh.[1] Sedangkan kubu Iraq tokoh sentralnya adalah Imam Abu Hanifah yang dekenal dengan sebutan ahli ra’yi, yang menjadikan Istihsan sebagai salah satu sumber hukum Islam. Sekalipun ada sebagian muridnya tidak sepandapat dengannya dalam hal ini. Dan masing-masing memiliki argumentasi.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II. AL ISTIHSAN

A.  Defenisi dan Pengertian Istihsan

Secara bahasa Ishtisan berasal dari kata hasan yang berarti adalah baik lawan dari qobaha yang berarti buruk. Kemudian di tambah tiga huruf yaitu alif- sin dan ta’ , bewazan istif’al ,sehingga menjadi istahsana- yastahsinu- istihsaanan. Kata benda (mashdar) yang berarti Menganggap dan meyakini sesuatu itu baik (baik secara fisik atau nialai) lawan dari Istiqbah, menganggap sesuatu itu buruk.[2] Sedangkan secara istilah, ulama beragam dalam mendefinisikannya sekalipun esensinya hampir memiliki kesamaan.

Berikut ini beberapa definisi Istihsan

1. Istihsan adalah ngkapan tentang dalil yang dikritik oleh mujtahid itu sendiri karena) ketidaksanggupannya untuk memunculkannya disebabkan tidak adanya kata/

ibarah yang dapat membantu mengungkapankannya.[3]

2. Istihsan adalah: Meninggalkan/ mengalihkan hasil qiyas menuju/ mengambil qiyas yang lebih kuat darinya.[4]

3. Istihsan adalah: Mengambil kemaslahatan yang bersifat parsial dan meninggalkan dalil yang bersifat umum/ menyeluruh.[5]

4. Istihsan adalah Beralihnya seseorang dari menghukumkan suatu masalah dengan yang serupa karen adanya kesamaan-kesamaan kepada hal yang berbeda karena pertimbangan yang lebih kuat yang mengharuskan beralih dari yang pertama.[6]

5. Istihsan adalah Meninggalkan salah satu ijtihad yang tidak mencakup seluruh lafaznya karena pertimbangan yang lebih kuat darinya.[7]

6. Istihsan adalah Qiyas yang tersembunyi[8]

7. Istihsan adalah: Ungkapan tentang pengkhususan qiyas dengan dalil yang lebih kuat darinya [9]

8. Istihsan adalah: Memprioritaskan untuk meninggalkan tuntutan sebuah dalil dengan cara pengkecualian, rukhsoh dan mu’arodloh karena sebagian tuntutannya

bertentangan. [Ibnul Arobi][10]

9. Istihsan adalah Sesuatu yang di anggap baik oleh seorang mujtahid berdasarkan akalnya[11]

Dari beberapa definisi istihsan di atas, nampak setiap ulama berbeda dalam mendefinikannya sekalipun ada beberapa sisi yang memiliki kemiripan. Seperti hubungan istihsan dengan qiyas. Istihsan yang memiliki sandaran. Sehingga kemudian ada pendapat bahwa sesungguhnya makna istihsan itu hanya ada dua. Definisi yang sahih dan disepakati dan definisi yang batal dan disepakati kebatalannya.

Definisi yang sahih adalah Mentarjih (memilah) dalil atas/ dengan dalil Atau mengamalkan/ mefungsikan dalil yang lebih kuat dan baik Atau Beralih dalam menghukum suatu masalah dari yang memiliki kemiripankemiripannya karena ada dalil khusus dari Al Qur’an atau sunnah Sedangkan definisi yang batal adalah definisi terakhir yaitu: Artinya: Sesuatu yang dianggap baik oleh seorang mujtahid berdasrkan akalnya. Karena tidak ada seorang ulamapun yang menjadikan istihsan sebagaai sumber hukum yang berdapat seperti itu. Karena mereka yang menggunakan istihsan selalu menyadandarkannya kepada dalail yang diakui oleh para ulama.

 

 

B.  Kedudukan Istihsan Dalam Sumber Hukum Islam

Ada tiga sikap dan pandangan ulama dalam menggunakan istihsan sebagai sumber hukum Islam.[12] Ada yang menolak istihsan sebagai sumber hukum Islam sama sekali. Mereka adalah kelompok ulama yang menafikan qiyas seperti Daud Azh Zhohiry, Mu’tazilah dan sebagian Syi’ah. Ada yang menjadikan istihsan sebagai sumber hukum Islam. Mereka adalah kelompok ulama Hanafiah, khususnya tokoh sentralnya Abu Hanifah. Dan yang lain adalah kelompok yang kadang menggunakan istihsan dan kadang menolaknya. Seperti Imam Syafi’I.

Secara umum ada dua pendapat ulama dalam hal ini

1. Ada yang menganggapnya sebagai sumber hukum. Diantara ulama yang beranggapan sebagai sumber hukum adalah Imam Hanafi dan Imam Malik (sekalipun ia tidak terlalu membedakan antara istihsan dengan Maslahah Mursalah, sehingga beliau menyatakan bahwa istihsan telah merambah sampai 9/10 ilmu fiqh. Adapun alasan-alasan yang dikemukannya antara lain,

1.1. Firman Allah swt dalam surat Azzumar ayat 18 yang berbunyi

Artinya:

”Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. mereka Itulah orang-orang yang Telah diberi Allah petunjuk dan mereka Itulah orang-orang yang mempunyai akal”.[13]

1.2. Sabda Rasul saw

Apa yang dilihat kaum muslimin baik maka baik pula disisi Allah”

1.3. Ijma’ umat dalam kontek istihsan tentang boleh masuk kepemandian umum, tanpa pembatasan waktu dan penggunaan air serta ongkosnya.

 

2. Menganggap bukan sebagai sumber hukum. Diantara ulama yang menolaknya sebagai sumber hukum adalah Imam Syafi’i. Dalam bukunya ”Ar Risalah” beliau menyatakan bahwa haram bagi seseorang untuk mengatakan sesutau atas dasar Istihsan. Karena Istihsan hanyalah talazzuz.[14] Beliau juga berkata ”Barang siapa yang beristihsan sungguh ia telah membuat syariat”[15]

Menurut beliau tidak boleh seorang hakim atau mufti menghukumi atau berfatwa kecuali dengan dalil yang kuat (khobar lazim) yang bersumber dari kitabullah, sunnah, ucapan ulama yang tidak diperdebatkan (ijma’) atau qiyas. Tidak boleh menetapkan hukum/ fatwa dengan Istihsan.[16] Bahkan ada dikalangan Asy Syafi’iyah secara ekstrim mengkafirkan dan membid’ahkan.[17] Adapun alasan mereka yang menolak istihsan sebagai sumber hukum,[18] antara lain:

 

2.1. Karena kewajiban seorang muslim adalah mengikuti hukum Allah dan RasulNya atau qiyas yang berlandaskannya. Oleh karena itu hukum yang berasal dari Istihsan adalah produk manusia (wadh’i) yang hanya berdasarkan pertimbangan citra rasa dan kesenangan belaka (Tazawwuq dan Talazzuz)

2.2. Allah swt memerintahkan kita untuk kembali kepada nash atau qiyas apabila kita berselisih paham, bukan kepada hawa nafsu. Seperti Firmannya dalam Annisa ayat 59

 

$pkš‰r’¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãè‹ÏÛr& ©!$# (#qãè‹ÏÛr&ur tAqߙ§9$# ’Í<‘ré&ur ͐öDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt“»uZs? ’Îû &äóÓx« çnr–Šãsù ’n<Î) «!$# ÉAqߙ§9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöqu‹ø9$#ur ̍ÅzFy$# 4 y7Ï9ºsŒ ׎öyz ß`|¡ômr&ur ¸xƒÍrù’s? ÇÎÒÈ

Artinya: ”Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.[19]

2.3. Nabi Muhammad saw tidak pernah memberikan fatwa dengan menggunakan Istihsan. Misalnya ketika beliau ditanya tentang seorang laki-laki yang berkata kepada istrinya ”Kamu bagiku mirip punggung ibuku”. Beliau tidak memberikan fatwa bersdasarkan Istihsan. Akan tetapi menunggu hingga turun ayat tentang Zihar beserta kafaratnya.[20] Dan contoh lainnya. Atas dasar inilah, kita wajib menghindar penggunaan Istihsan tanpa adanya topangan nash.

2.4. Nabi saw juga tidak memperkanankan sahabat memeberi fatwa atau bersikap berdasarkan istihsan. Seperti pada kasus Usamah yang membunuh musuhnya yang telah mengucapkan kalimat Laa Ila IllaLLah, karena kalimat itu di ucapkan di saat

2.5. Istihsan tidak memiliki batasan yang jelas dan kreteri-kreteian yang bisa dijadikan standar untuk membedakan antara haq dan batil, seperti halnya qiyas. Sehingga bisa menimbulkan bias. Namun demikian, sesungguhnya antara dua kubu tersebut di atas tidak ada perbedaan yang mendasar. Kareana Abu Hanifah yang menjadikan istihsan sebagai sumber hukum dalam artian mendahulukan nash atas qiyas. Bahkan beliau juga menolak penggunaan istihsan dalam artian mengamalkan sesuatu berdasarkan akal dan mengabaikan nash. Beliau berkata: “Janganlah kalian mengambil qiyas Zufar (salah seorang muridnya). Karena hal itu apabila kamu lakukan, maka kamu telah mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang harom.

Dengan kata lain tidak ada satupun ulama yang menjadikan Istihsan sebagai sumber hukum berpendapat hanya berdasarkan akal semata, semua memiliki sandaran.[21]

Begitu juga Imam Syafii, beliau menolak istihsan semata-mata berdasarkan akal. Namun apabila tidak semata-mata karena akal, beliau dapat menerimanya bahkan beliau menggunakannya. Ibnul Qoyyim berkata: “Imam Syafii sangant menolak Istihsan namum pada beberapa kasus beliau menggunakan Istihsan. Diantaranya beliau mengganggap baik, bahwa mut’ah bagi orang kaya adalah seorang pembantu, orang miskin muqniah, sedangkan bagi orang yang sedang (tidak kaya juga tidak miskin) 30 dirham”.[22] Begitu pula dengan Imam Ahmad yang kadang menolak istihsan, juga menggunakan Istihsan. Beliau berkata: “Aku menganggap baik untuk bertayamum setiap kali sholat. Padahal secara qiyas tayamum sama dengan berwudlu.[23]

 

C.  Macam-macam Istihsan

1. Istihsan dilihat dari aspek pengalihan

Ada tiga contoh dalam kasus ini.

1.1. Mengalihkan qiyas zhohir mengambil qiyas khofi Contohnya pada kasus tanah wakaf pertanian (sawah). Dilihat dari kacamata qiyas kewajiban mengairi tanah (sawah) tersebut tidak otomatis termasuk wakaf tanah pertanian tersebut, apalagi memang tidak disebutkan saat mewakafkannya. Alasannya karena qiyas zhohir, yaitu mengqiyaskan wakaf kepada jual beli dimanan apabila terjadi transaksi atas suatu barang maka terjadi pemindahan kepemilikan sesuai akad yang disepakatinya/ dikemukannya. Namun apabila dilihat dari kacamata istihsan maka kewajiban mengairi tanah wakaf (sawah) masuk dalam akad wakaf. Alasannya mengalihkan/ mengabaikan hasil qiyas zhohir mengambil hasil qiyas khofi. Karena tujuan dari wakaf tersebut adalah memanfaatkan hasil dari pertanian tersebut. Dan sawah itu tidak akan menghasilkan/ mendatangkan manfaat apabila tidak diairi.

1.2. Mengalihkan nash yang bersifat umum, mengambil hukum khusus. Contohnya pada kasus Umar ra yang membatalkan hukum potong tangan seorang pencuri karena kejadiannya saat terjadi musim paceklik/ kelaparan. Padahal ayat potong tangan itu cukup jelas (5/38). Juga pada jual beli salam. Berdasarkan dalil umum tidak boleh. Karena Nabi saw bersabda: ”Janganlah kamu menjual yang tidak kamu miliki” [HR. Ahmad ][24] . Namun karena ada dalil khusu maka jual beli salam dibolehkan. Sabda Nabi saw ”Siapa yang melakukan jual beli salam, maka harus jelas ukuran, timbangan dan watunya”[25] [HR. Bukhori]

1.3. Mengalihkan/ mengabaikan hukum kulli mengambil hukum istitsna’i (pengkecualiaan)

Contohnya pada orang yang makan saat puasa karena lupa. Kaidah umum, puasanya batal karena salah satu rukunnya, yaitu alimsak telah rusak. Namun karena ada dalil khusus yang mengkecualikannya, maka puasanya tidak batal. Yaitu sabda Nabi saw : “Siapa yang lupa padahal ia tengah puasa lalu ia makan atau minum, hendaknya ia menyempurnakan puasanya. Sesungguhnya itu adalah makan dan minum yang diberikan Allah”.[26]

2. Istihsan dilihat dari sanad/ sandaran yang digunakan dalam pengalihan/ pengabaian. Ada beberapa bentuk dalam hal ini, [27]diantaranya adalah:

2.1. Istihsan yang sanad/ sandaranya berupa quwwatul atsar/ riwayat yang kuat. Contohnya pada kasus sisa air minum unggas carnivora sepeti burung elang, rajawali atau burung pemakan bangkai. Dilihat dari kacamata qiyas maka air itu menjadi najis. Yaitu apabila diqiyaskan kepada hewan buas. Karena ada kesamaan illatnya yaitu samasama hewan yang dagingnya haram dimakan.

Namun apabila dilihat dari kacamata istihsan, hukum air itu suci namun makruh. Karena hewan burung minum dengan paruhnya. Dan paruhnya adalah suci karena ia sejenis tulang yang kering. Ini berbeda dengan hewan buas yang minum dengan lidahnya yang mengandung air liur yang bersumber dari dagingnya yang najis/ haram.

2.2. Istihsan yang sandarannya berupa maslahat

Contohnya pada kasus ‘al ajir al musytarok’ (pekerja yang terikat pada banyak orang) seperti tukang jahit, yang menghilangkan/ kehilangan bahan.

Dilihat dari kacamata qiyas, ia tidak wajib mengganti apabila bukan karena kelalaiannya. Namun apabila dilihat dari kacamata istihsan ia wajib menggantinya untuk menjaga agar hak milik orang tidak disia-siakan.

2.3. Istihsan yang sandarannya berupa ijma

Contohnya pada kasusu akad Istishna’ (pesanan). Menurut qiyas semestinya akad itu batal. Sebab objek akad tidak ada ketika akad itu berlangsung. Akan tetapi transaksi model ini telah dikenal dan sah sepanjang zaman, maka ia dipandang sebagai ijma’ atau ’urf ’aam yang dapat mengalahkan dalil qiyas. Yang demikian ini berarti merupakan perpindahan dari suatu dalil ke dalil yang lainyang lebih kuat.

2.4. Istihsan yang sandarannya berupa qiyas

Contohnya pada kasus wanita yang perlu pengobatan khusus. Pada hakikatnya seluruh tubuh wanita adalah aurat. Akan tetapi dibolehkan untuk melihat sebagaian tubuhnya karena hajat. Seperti untuk kepentingan pengobatan oleh seorang dokter. Di sini terdapat semacam pertentangan kaidah, bahwa seorang wanita adalah aurat, memandangnya akan mendatangkan fitnah. Sementara disisi lain akan terjadi masyaqqoh apabila tidak diobati. Dalam hal ini dipakai illat, at taysir (memudahkan).

2.5. Istihsan yang sandarannya darurat.

Contohnya pada sumur yang kejatuhan najis. Apabila sumur itu dikuras sangat tidak mungkin. Karena alat yang digunakan pasti terkontaminasi kembali dengan najis tersebut. Namun dengan pertimbangan darurat hal itu dapat dilakukan.

2.6. Istihsan yang sandarannya berupa ’urf (budaya/ kebiasaan)

Contoh orang yang bersumpah tidak makan daging (lahman). Namun kemudian ia makan ikan. Berdasarkan qiyas ia telah melanggar sumpahnya karena Al Qur’an menyebut ikan dengan kata ”lahman toriyyan” [28]. Namun berdasarkan ’urf , ikan itu berbeda dengan daging.

 

III.  KESIMPULAN

1. Lafaz Istihsan adalah lafaz yang bersifat mujmalah (umum, memiliki makna lebih dari satu). Sehingga tidak boleh menetapkan hukum secara sah atau batal berdasarkan istihsan dalam artian umum (bahasa).

2. Sebuah konsep penalaran dalam rangka penggunaan rasio secara lebih luas untuk menggali dan menemukan hukum sesuatu kejadian yang tidak ditetapkan hukum dari sumber syariah yang tersurat (nash) atau sumber hukum yang dipersamakan dengan qiyas dan dengan sandaran yang kuat

3. Penggunaan istihsan dikalangan ulama yang menggunakanya sebagai sumber hukum hanya dalam arti yang benar.

4. Pengingkaran dan penolakan istihsan sebagai sumber hukum Islam dikalangan ulama yang menolaknya adalah dalam arti/ makna yang batil. Yaitu hanya menggunakan akal semata.

5. Penggunaan Istihsan hanya pada masalah-masalah juziyah saja agar tidak terjadi pemakain kaidah –yang tidak lain adalah qiyas- secara berlebihan sehingga meninggalkan ruh dan makna yang terkandung dalam syariat.

6. Pada prinsipnya Istihsan bersandar kepada dalil nash, ijma’ dan qiyas juga kepada kaidah yang berbunyi ”Ad dhorurat tubihul Mahzhurot”.

7. Esensi istihsan adalah menghindarkan kesulitan demi kemudahan.

8. Esensi istihsan menurut mazhab Hanafi adalah juga qiyas

9. Mengamalkan hukum yang berdasarkan istihsan dalam arti yang benar adalah sesuatu yang disepakati, tidak ada perselisihan dalam pengamalannya, yang diperselisihkan adalah penamaannya.

IV.  PENUTUP

 

Tiada gading yang tidak retak, tidak ada manusia yang sempurna. Ilmu yang dimiliki manusia adalah sangat terbatas. Oleh karena itu makalah yang sederhana ini tidak lepas dari kesalahan dan kekurangan. Saran, kritik dan masukan sangat diharapkan. Demikianlah uraian singkat Istihsan ini semoga dapat memberikan manfaat. Kebenaran hanya milik Allah. Wallahu a’lam bis showab. Wal hamdulillah robbil ’alamin.

10

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

1. Al Qur’an Al Karim

2. Abdurrahman, Abdul Aziz bin Ali, Adilah At Tasyri’, tanpa penerbit, tahun

1406 H

3. Abu Zahroh, Muhammad, Ushul Fiqh, terbitan Dar Al Fikri Al ’Arobi,

tanpa tahun

4. Al Bukhori, Abdul Aziz bin Ahmad, Kasyfu Al Asror An Ushul Fakhr Al

Islam Al Bazdawi, terbitan Dar Al Kitab Al Arobi, Bairut, cetakan ke 2,

tahun 1414 H/ 1994

5. Al Fayruz Abadi, Muhammad bin Ya’qub, Al Qomus Al Muhit, terbitan

Muassah Ar Risalah, cetakan ke 6, tahun 1419 H/ 1998

6. Al Jayzani, Muhammad bin Husain bin Hasan, Ma’alim Ushul Al Fiqh ’Inda

Ahli As Sunnah Wa Al Jama’ah, terbitan Dar Ibn Al Jauzi, Arab Sa’udi,

cetakan ke 2, tahun 1419 H/ 1998

7. Al Maqdisi, Abdullah bin Ahmad bin Quddamah, Raudhotu An Nazhir,

terbitan Dar Al Kutub Al Ilmiyah, Bairut, cetakan 1, tahun 1401 H/ 1981

8. Al Amidi, Abul Hasan Ali bin Abi Ali bin Muhammad, Al Ihkam Fi Ushul Al

Ahkam, terbitan Dar Al Kutub Al ilmiyah, Bairut, tahun 1400 H/ 1980

9. Al Mur’asyili, Yusuf bin Abdurrahman, Fihris Al Umm, terbitan Dar Al

Ma’rifah, cetakan 1, tahun 1408 H

10. Al Qorofi, Ahmad bin Idris bin Abdurrahman, Nafais Al Ushul Fi Syarh Al

Mahshul, terbitan Maktabah Nazzar Musthofa Al Baz, Arab Sa’udi, cetaka

ke , tahun 1418 H/ 1998

11. Al Yasin, Jasim bin Muhammad bin Muhalhil, Al Jadawil Al Jami’ah Fi Al

Ulum Al Nafi’ah, terbitan Muassasah Al Kalimah, Al Kuait, cetakan ke 4,

tanpa tahun

12. An Naisaburi, Muslim bin Hajjaj, Sahih Muslim, terbitan Dar Al Fikri,

Bairut, cetakan ke 1, tahun 1408 H/ 1988

13. As Sarokhsi, Abu Bakar Muhammad bin Ahmad bin Abu Sahal, Ushul Fiqh,

terbitan Dar Al Ma’rifah, Bairut, tanpa tahun

14. As Shobuni, Muhammad Ali, Mukhtashor Tafsir Ibn Katsir, terbitan Dar Al

Qur’an, Bairut, cetakan ke 7, tahun 1402 H/1981

15. As Syafi’i, Muhammad bin Idris, Al Umm, terbitan Dar Al Ma’rifah, Bairut,

cetakan ke 2, tahun 1393 H/1973

16. ____________, Ar Risalah, terbitan Maktabah Dar Ats Tsaqofah, cetakan ke

2, tahun 1403 H/ 1983

17. As Syaukani, Muhammad bin Ali bin Muhammad, terbitan Maktabah

Mushthofa Al Babi Al Halabi, Mesir, cetakan akhir, tanpa tahun

18. As Syatibi, Abu Ishaq, Al Muwafaqot Fi Ushul As Syari’ah, terbitan Al

Maktabah At Tijariyah Al Kubro, tanpa tahun

19. As Syinqiti, Muhammad Al Amin bin Al Mukhtar, Muzakkiroh Ushul Al

Fiqh, terbitan Al Maktabah As Salafiyah, Al Madinah Al Munawwaroh,

tanpa tahun

20. Az Zubaidi, Ahmad bin Abdu Al Lathif, Mukhtashor Sohih Al Bukhori,

terbitan Dar An Nafais, Bairut, cetakan ke 5, tahun 1412 H/ 1992

21. Az Zuhaili, Wahbah, Al Fiqhu Al Islami Wa Adillatuhu, terbitan Dar Al

Fikri, Damaskus, cetakan ke 3, tahun 1409 H/ 1989

22. Ibnu Al Arobi, Al Qhodi Abu Bakar, Al Mahshul Fi Ushul Al Fiqh, terbitan

Dar Al Bayariq, Yordan, cetakan 1, tahun 1408 H

23. Ibnu Taymiyah, Ahmad bin Abdulhalim, Qo’idah Fi Al Istihsan, editor

Muhammad Aziz Syis, terbitan Dar ’Alam Al Fawaid, Arab Sa’udi, cetakan

1, tahun 1419 H

24. Ibn Quddamah, Abdullah bin Ahmad bin Muhammad, Al Mughni, terbitan

Dar Al Kitab Al Arobi, cetakan tahun 1403 H/ 1983

 


[1] Abu Zahroh, Ushul Fiqh, hal. 244

[2] Al Fairuz Abadi, Al Qomus Al Muhith, hal 1189

[3] Ibnul Quddamah, Raudhotun Nazhir, hal 86

[4] Jasim Muhalhil, Al Jadawil, hal. 55

[5] Asy Syatiby, Al Muwafaqot 4/205

[6]Al Jayzani, Ma’alim Ushul Al Fiqh, hal 236, Abu Zahroh, hal 245, Beliau mengatakan bahwa definisi tersebut adalah definisi Hanafiyah.

[7] 7 Al Qorofi, Nafais Al Ushul, 9/4216

[8] Al Bukhori, Kasyful Asror, 4/3

[9] Al Amidi, Al Ihkam fi Ushulil Ahkam, 4/57

[10] Asy Syatiby, Al Muwafaqot, 4/208

[11] As Syinqiti, Muzakiroh Ushul Fiqh, hal 167

[12] Lihat Ibnu Taimiyah, Qi’idah fil Istihsan, hal. 48-52

[13] QS. Azzumar, ayat 18

[14] As Syafi’I, Ar Risalah , hal 219

[15] Al Ghozali, Al Mustashfa, hal 29

[16] As Syafi’I, Al Umm, bab Ibtholul Istihsan 7/298

[17] Ibnul Arobi, Al Mahshul, hal. 131

[18] Lihat Abu Zahroh, hal. 252-253, As Syafi’i, Al Umm 7/ 294-304

[19] QS. Annisa ayat 59

[20] Lihat Ashobuni, Mukhtashor Ibnu Katsir, 4/459

[21] Al Majmu’ 4/48

[22] Badai’u Al Fawaid, 4/32

[23] Ibu Al Quddamah, Al Mughni, 1/266

[24] Asy Syaukani, Nailul Author 2/225

[25] Azubaidi, Mukhtashor Sohih Bukhori, hal 226

[26] HR. Muslim, Sahih Muslim 1/415

[27] Lihat Abu Zahroh, hal. 249-250, Ibnul Arobi, hal. 131, Adillah Tasyri, hal 163-173

[28] QS Al Fathir ayat 12

Tinggalkan komentar