Archive for the ‘Ushul Fiqh’ Category

I. PENDAHULUAN

Secara umum sumber hukum Islam ada dua. Sumber hukum yang muttafaq yang bersifat primer (Al Qur’an dan As Sunnah) dan sumber hukum yang yang mukhtalaf yang  bersifat sekunder. Diantara sumber hukum yang mukhtalaf adalah Al Istihsan. Ada dua aliran dalam mensikapi Istihsan, antara penduduk Hijaz dan Iraq. Kubu Hijaz tokoh sentralnya adalah Imam Malik (sekalipun beliau juga mendukung penggunaan Istihsan sebagai sumber hukum) dan Imam Syafi’i yang dikenal dengan sebutan ahli hadits. Mereka menolak keberadaan Istihsan sebagai sumber hukum Islam. Kecuali Imam Malik beliau pernah mengatakan bahwa pemakaian Istihsan merambah 9/10 dari seluruh ilmu fiqh.[1] Sedangkan kubu Iraq tokoh sentralnya adalah Imam Abu Hanifah yang dekenal dengan sebutan ahli ra’yi, yang menjadikan Istihsan sebagai salah satu sumber hukum Islam. Sekalipun ada sebagian muridnya tidak sepandapat dengannya dalam hal ini. Dan masing-masing memiliki argumentasi.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II. AL ISTIHSAN

A.  Defenisi dan Pengertian Istihsan

Secara bahasa Ishtisan berasal dari kata hasan yang berarti adalah baik lawan dari qobaha yang berarti buruk. Kemudian di tambah tiga huruf yaitu alif- sin dan ta’ , bewazan istif’al ,sehingga menjadi istahsana- yastahsinu- istihsaanan. Kata benda (mashdar) yang berarti Menganggap dan meyakini sesuatu itu baik (baik secara fisik atau nialai) lawan dari Istiqbah, menganggap sesuatu itu buruk.[2] Sedangkan secara istilah, ulama beragam dalam mendefinisikannya sekalipun esensinya hampir memiliki kesamaan.

Berikut ini beberapa definisi Istihsan

1. Istihsan adalah ngkapan tentang dalil yang dikritik oleh mujtahid itu sendiri karena) ketidaksanggupannya untuk memunculkannya disebabkan tidak adanya kata/

ibarah yang dapat membantu mengungkapankannya.[3]

2. Istihsan adalah: Meninggalkan/ mengalihkan hasil qiyas menuju/ mengambil qiyas yang lebih kuat darinya.[4]

3. Istihsan adalah: Mengambil kemaslahatan yang bersifat parsial dan meninggalkan dalil yang bersifat umum/ menyeluruh.[5]

4. Istihsan adalah Beralihnya seseorang dari menghukumkan suatu masalah dengan yang serupa karen adanya kesamaan-kesamaan kepada hal yang berbeda karena pertimbangan yang lebih kuat yang mengharuskan beralih dari yang pertama.[6]

5. Istihsan adalah Meninggalkan salah satu ijtihad yang tidak mencakup seluruh lafaznya karena pertimbangan yang lebih kuat darinya.[7]

6. Istihsan adalah Qiyas yang tersembunyi[8]

7. Istihsan adalah: Ungkapan tentang pengkhususan qiyas dengan dalil yang lebih kuat darinya [9]

8. Istihsan adalah: Memprioritaskan untuk meninggalkan tuntutan sebuah dalil dengan cara pengkecualian, rukhsoh dan mu’arodloh karena sebagian tuntutannya

bertentangan. [Ibnul Arobi][10]

9. Istihsan adalah Sesuatu yang di anggap baik oleh seorang mujtahid berdasarkan akalnya[11]

Dari beberapa definisi istihsan di atas, nampak setiap ulama berbeda dalam mendefinikannya sekalipun ada beberapa sisi yang memiliki kemiripan. Seperti hubungan istihsan dengan qiyas. Istihsan yang memiliki sandaran. Sehingga kemudian ada pendapat bahwa sesungguhnya makna istihsan itu hanya ada dua. Definisi yang sahih dan disepakati dan definisi yang batal dan disepakati kebatalannya.

Definisi yang sahih adalah Mentarjih (memilah) dalil atas/ dengan dalil Atau mengamalkan/ mefungsikan dalil yang lebih kuat dan baik Atau Beralih dalam menghukum suatu masalah dari yang memiliki kemiripankemiripannya karena ada dalil khusus dari Al Qur’an atau sunnah Sedangkan definisi yang batal adalah definisi terakhir yaitu: Artinya: Sesuatu yang dianggap baik oleh seorang mujtahid berdasrkan akalnya. Karena tidak ada seorang ulamapun yang menjadikan istihsan sebagaai sumber hukum yang berdapat seperti itu. Karena mereka yang menggunakan istihsan selalu menyadandarkannya kepada dalail yang diakui oleh para ulama.

 

 

B.  Kedudukan Istihsan Dalam Sumber Hukum Islam

Ada tiga sikap dan pandangan ulama dalam menggunakan istihsan sebagai sumber hukum Islam.[12] Ada yang menolak istihsan sebagai sumber hukum Islam sama sekali. Mereka adalah kelompok ulama yang menafikan qiyas seperti Daud Azh Zhohiry, Mu’tazilah dan sebagian Syi’ah. Ada yang menjadikan istihsan sebagai sumber hukum Islam. Mereka adalah kelompok ulama Hanafiah, khususnya tokoh sentralnya Abu Hanifah. Dan yang lain adalah kelompok yang kadang menggunakan istihsan dan kadang menolaknya. Seperti Imam Syafi’I.

Secara umum ada dua pendapat ulama dalam hal ini

1. Ada yang menganggapnya sebagai sumber hukum. Diantara ulama yang beranggapan sebagai sumber hukum adalah Imam Hanafi dan Imam Malik (sekalipun ia tidak terlalu membedakan antara istihsan dengan Maslahah Mursalah, sehingga beliau menyatakan bahwa istihsan telah merambah sampai 9/10 ilmu fiqh. Adapun alasan-alasan yang dikemukannya antara lain,

1.1. Firman Allah swt dalam surat Azzumar ayat 18 yang berbunyi

Artinya:

”Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. mereka Itulah orang-orang yang Telah diberi Allah petunjuk dan mereka Itulah orang-orang yang mempunyai akal”.[13]

1.2. Sabda Rasul saw

Apa yang dilihat kaum muslimin baik maka baik pula disisi Allah”

1.3. Ijma’ umat dalam kontek istihsan tentang boleh masuk kepemandian umum, tanpa pembatasan waktu dan penggunaan air serta ongkosnya.

 

2. Menganggap bukan sebagai sumber hukum. Diantara ulama yang menolaknya sebagai sumber hukum adalah Imam Syafi’i. Dalam bukunya ”Ar Risalah” beliau menyatakan bahwa haram bagi seseorang untuk mengatakan sesutau atas dasar Istihsan. Karena Istihsan hanyalah talazzuz.[14] Beliau juga berkata ”Barang siapa yang beristihsan sungguh ia telah membuat syariat”[15]

Menurut beliau tidak boleh seorang hakim atau mufti menghukumi atau berfatwa kecuali dengan dalil yang kuat (khobar lazim) yang bersumber dari kitabullah, sunnah, ucapan ulama yang tidak diperdebatkan (ijma’) atau qiyas. Tidak boleh menetapkan hukum/ fatwa dengan Istihsan.[16] Bahkan ada dikalangan Asy Syafi’iyah secara ekstrim mengkafirkan dan membid’ahkan.[17] Adapun alasan mereka yang menolak istihsan sebagai sumber hukum,[18] antara lain:

 

2.1. Karena kewajiban seorang muslim adalah mengikuti hukum Allah dan RasulNya atau qiyas yang berlandaskannya. Oleh karena itu hukum yang berasal dari Istihsan adalah produk manusia (wadh’i) yang hanya berdasarkan pertimbangan citra rasa dan kesenangan belaka (Tazawwuq dan Talazzuz)

2.2. Allah swt memerintahkan kita untuk kembali kepada nash atau qiyas apabila kita berselisih paham, bukan kepada hawa nafsu. Seperti Firmannya dalam Annisa ayat 59

 

$pkš‰r’¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãè‹ÏÛr& ©!$# (#qãè‹ÏÛr&ur tAqߙ§9$# ’Í<‘ré&ur ͐öDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt“»uZs? ’Îû &äóÓx« çnr–Šãsù ’n<Î) «!$# ÉAqߙ§9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöqu‹ø9$#ur ̍ÅzFy$# 4 y7Ï9ºsŒ ׎öyz ß`|¡ômr&ur ¸xƒÍrù’s? ÇÎÒÈ

Artinya: ”Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.[19]

2.3. Nabi Muhammad saw tidak pernah memberikan fatwa dengan menggunakan Istihsan. Misalnya ketika beliau ditanya tentang seorang laki-laki yang berkata kepada istrinya ”Kamu bagiku mirip punggung ibuku”. Beliau tidak memberikan fatwa bersdasarkan Istihsan. Akan tetapi menunggu hingga turun ayat tentang Zihar beserta kafaratnya.[20] Dan contoh lainnya. Atas dasar inilah, kita wajib menghindar penggunaan Istihsan tanpa adanya topangan nash.

2.4. Nabi saw juga tidak memperkanankan sahabat memeberi fatwa atau bersikap berdasarkan istihsan. Seperti pada kasus Usamah yang membunuh musuhnya yang telah mengucapkan kalimat Laa Ila IllaLLah, karena kalimat itu di ucapkan di saat

2.5. Istihsan tidak memiliki batasan yang jelas dan kreteri-kreteian yang bisa dijadikan standar untuk membedakan antara haq dan batil, seperti halnya qiyas. Sehingga bisa menimbulkan bias. Namun demikian, sesungguhnya antara dua kubu tersebut di atas tidak ada perbedaan yang mendasar. Kareana Abu Hanifah yang menjadikan istihsan sebagai sumber hukum dalam artian mendahulukan nash atas qiyas. Bahkan beliau juga menolak penggunaan istihsan dalam artian mengamalkan sesuatu berdasarkan akal dan mengabaikan nash. Beliau berkata: “Janganlah kalian mengambil qiyas Zufar (salah seorang muridnya). Karena hal itu apabila kamu lakukan, maka kamu telah mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang harom.

Dengan kata lain tidak ada satupun ulama yang menjadikan Istihsan sebagai sumber hukum berpendapat hanya berdasarkan akal semata, semua memiliki sandaran.[21]

Begitu juga Imam Syafii, beliau menolak istihsan semata-mata berdasarkan akal. Namun apabila tidak semata-mata karena akal, beliau dapat menerimanya bahkan beliau menggunakannya. Ibnul Qoyyim berkata: “Imam Syafii sangant menolak Istihsan namum pada beberapa kasus beliau menggunakan Istihsan. Diantaranya beliau mengganggap baik, bahwa mut’ah bagi orang kaya adalah seorang pembantu, orang miskin muqniah, sedangkan bagi orang yang sedang (tidak kaya juga tidak miskin) 30 dirham”.[22] Begitu pula dengan Imam Ahmad yang kadang menolak istihsan, juga menggunakan Istihsan. Beliau berkata: “Aku menganggap baik untuk bertayamum setiap kali sholat. Padahal secara qiyas tayamum sama dengan berwudlu.[23]

 

C.  Macam-macam Istihsan

1. Istihsan dilihat dari aspek pengalihan

Ada tiga contoh dalam kasus ini.

1.1. Mengalihkan qiyas zhohir mengambil qiyas khofi Contohnya pada kasus tanah wakaf pertanian (sawah). Dilihat dari kacamata qiyas kewajiban mengairi tanah (sawah) tersebut tidak otomatis termasuk wakaf tanah pertanian tersebut, apalagi memang tidak disebutkan saat mewakafkannya. Alasannya karena qiyas zhohir, yaitu mengqiyaskan wakaf kepada jual beli dimanan apabila terjadi transaksi atas suatu barang maka terjadi pemindahan kepemilikan sesuai akad yang disepakatinya/ dikemukannya. Namun apabila dilihat dari kacamata istihsan maka kewajiban mengairi tanah wakaf (sawah) masuk dalam akad wakaf. Alasannya mengalihkan/ mengabaikan hasil qiyas zhohir mengambil hasil qiyas khofi. Karena tujuan dari wakaf tersebut adalah memanfaatkan hasil dari pertanian tersebut. Dan sawah itu tidak akan menghasilkan/ mendatangkan manfaat apabila tidak diairi.

1.2. Mengalihkan nash yang bersifat umum, mengambil hukum khusus. Contohnya pada kasus Umar ra yang membatalkan hukum potong tangan seorang pencuri karena kejadiannya saat terjadi musim paceklik/ kelaparan. Padahal ayat potong tangan itu cukup jelas (5/38). Juga pada jual beli salam. Berdasarkan dalil umum tidak boleh. Karena Nabi saw bersabda: ”Janganlah kamu menjual yang tidak kamu miliki” [HR. Ahmad ][24] . Namun karena ada dalil khusu maka jual beli salam dibolehkan. Sabda Nabi saw ”Siapa yang melakukan jual beli salam, maka harus jelas ukuran, timbangan dan watunya”[25] [HR. Bukhori]

1.3. Mengalihkan/ mengabaikan hukum kulli mengambil hukum istitsna’i (pengkecualiaan)

Contohnya pada orang yang makan saat puasa karena lupa. Kaidah umum, puasanya batal karena salah satu rukunnya, yaitu alimsak telah rusak. Namun karena ada dalil khusus yang mengkecualikannya, maka puasanya tidak batal. Yaitu sabda Nabi saw : “Siapa yang lupa padahal ia tengah puasa lalu ia makan atau minum, hendaknya ia menyempurnakan puasanya. Sesungguhnya itu adalah makan dan minum yang diberikan Allah”.[26]

2. Istihsan dilihat dari sanad/ sandaran yang digunakan dalam pengalihan/ pengabaian. Ada beberapa bentuk dalam hal ini, [27]diantaranya adalah:

2.1. Istihsan yang sanad/ sandaranya berupa quwwatul atsar/ riwayat yang kuat. Contohnya pada kasus sisa air minum unggas carnivora sepeti burung elang, rajawali atau burung pemakan bangkai. Dilihat dari kacamata qiyas maka air itu menjadi najis. Yaitu apabila diqiyaskan kepada hewan buas. Karena ada kesamaan illatnya yaitu samasama hewan yang dagingnya haram dimakan.

Namun apabila dilihat dari kacamata istihsan, hukum air itu suci namun makruh. Karena hewan burung minum dengan paruhnya. Dan paruhnya adalah suci karena ia sejenis tulang yang kering. Ini berbeda dengan hewan buas yang minum dengan lidahnya yang mengandung air liur yang bersumber dari dagingnya yang najis/ haram.

2.2. Istihsan yang sandarannya berupa maslahat

Contohnya pada kasus ‘al ajir al musytarok’ (pekerja yang terikat pada banyak orang) seperti tukang jahit, yang menghilangkan/ kehilangan bahan.

Dilihat dari kacamata qiyas, ia tidak wajib mengganti apabila bukan karena kelalaiannya. Namun apabila dilihat dari kacamata istihsan ia wajib menggantinya untuk menjaga agar hak milik orang tidak disia-siakan.

2.3. Istihsan yang sandarannya berupa ijma

Contohnya pada kasusu akad Istishna’ (pesanan). Menurut qiyas semestinya akad itu batal. Sebab objek akad tidak ada ketika akad itu berlangsung. Akan tetapi transaksi model ini telah dikenal dan sah sepanjang zaman, maka ia dipandang sebagai ijma’ atau ’urf ’aam yang dapat mengalahkan dalil qiyas. Yang demikian ini berarti merupakan perpindahan dari suatu dalil ke dalil yang lainyang lebih kuat.

2.4. Istihsan yang sandarannya berupa qiyas

Contohnya pada kasus wanita yang perlu pengobatan khusus. Pada hakikatnya seluruh tubuh wanita adalah aurat. Akan tetapi dibolehkan untuk melihat sebagaian tubuhnya karena hajat. Seperti untuk kepentingan pengobatan oleh seorang dokter. Di sini terdapat semacam pertentangan kaidah, bahwa seorang wanita adalah aurat, memandangnya akan mendatangkan fitnah. Sementara disisi lain akan terjadi masyaqqoh apabila tidak diobati. Dalam hal ini dipakai illat, at taysir (memudahkan).

2.5. Istihsan yang sandarannya darurat.

Contohnya pada sumur yang kejatuhan najis. Apabila sumur itu dikuras sangat tidak mungkin. Karena alat yang digunakan pasti terkontaminasi kembali dengan najis tersebut. Namun dengan pertimbangan darurat hal itu dapat dilakukan.

2.6. Istihsan yang sandarannya berupa ’urf (budaya/ kebiasaan)

Contoh orang yang bersumpah tidak makan daging (lahman). Namun kemudian ia makan ikan. Berdasarkan qiyas ia telah melanggar sumpahnya karena Al Qur’an menyebut ikan dengan kata ”lahman toriyyan” [28]. Namun berdasarkan ’urf , ikan itu berbeda dengan daging.

 

III.  KESIMPULAN

1. Lafaz Istihsan adalah lafaz yang bersifat mujmalah (umum, memiliki makna lebih dari satu). Sehingga tidak boleh menetapkan hukum secara sah atau batal berdasarkan istihsan dalam artian umum (bahasa).

2. Sebuah konsep penalaran dalam rangka penggunaan rasio secara lebih luas untuk menggali dan menemukan hukum sesuatu kejadian yang tidak ditetapkan hukum dari sumber syariah yang tersurat (nash) atau sumber hukum yang dipersamakan dengan qiyas dan dengan sandaran yang kuat

3. Penggunaan istihsan dikalangan ulama yang menggunakanya sebagai sumber hukum hanya dalam arti yang benar.

4. Pengingkaran dan penolakan istihsan sebagai sumber hukum Islam dikalangan ulama yang menolaknya adalah dalam arti/ makna yang batil. Yaitu hanya menggunakan akal semata.

5. Penggunaan Istihsan hanya pada masalah-masalah juziyah saja agar tidak terjadi pemakain kaidah –yang tidak lain adalah qiyas- secara berlebihan sehingga meninggalkan ruh dan makna yang terkandung dalam syariat.

6. Pada prinsipnya Istihsan bersandar kepada dalil nash, ijma’ dan qiyas juga kepada kaidah yang berbunyi ”Ad dhorurat tubihul Mahzhurot”.

7. Esensi istihsan adalah menghindarkan kesulitan demi kemudahan.

8. Esensi istihsan menurut mazhab Hanafi adalah juga qiyas

9. Mengamalkan hukum yang berdasarkan istihsan dalam arti yang benar adalah sesuatu yang disepakati, tidak ada perselisihan dalam pengamalannya, yang diperselisihkan adalah penamaannya.

IV.  PENUTUP

 

Tiada gading yang tidak retak, tidak ada manusia yang sempurna. Ilmu yang dimiliki manusia adalah sangat terbatas. Oleh karena itu makalah yang sederhana ini tidak lepas dari kesalahan dan kekurangan. Saran, kritik dan masukan sangat diharapkan. Demikianlah uraian singkat Istihsan ini semoga dapat memberikan manfaat. Kebenaran hanya milik Allah. Wallahu a’lam bis showab. Wal hamdulillah robbil ’alamin.

10

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

1. Al Qur’an Al Karim

2. Abdurrahman, Abdul Aziz bin Ali, Adilah At Tasyri’, tanpa penerbit, tahun

1406 H

3. Abu Zahroh, Muhammad, Ushul Fiqh, terbitan Dar Al Fikri Al ’Arobi,

tanpa tahun

4. Al Bukhori, Abdul Aziz bin Ahmad, Kasyfu Al Asror An Ushul Fakhr Al

Islam Al Bazdawi, terbitan Dar Al Kitab Al Arobi, Bairut, cetakan ke 2,

tahun 1414 H/ 1994

5. Al Fayruz Abadi, Muhammad bin Ya’qub, Al Qomus Al Muhit, terbitan

Muassah Ar Risalah, cetakan ke 6, tahun 1419 H/ 1998

6. Al Jayzani, Muhammad bin Husain bin Hasan, Ma’alim Ushul Al Fiqh ’Inda

Ahli As Sunnah Wa Al Jama’ah, terbitan Dar Ibn Al Jauzi, Arab Sa’udi,

cetakan ke 2, tahun 1419 H/ 1998

7. Al Maqdisi, Abdullah bin Ahmad bin Quddamah, Raudhotu An Nazhir,

terbitan Dar Al Kutub Al Ilmiyah, Bairut, cetakan 1, tahun 1401 H/ 1981

8. Al Amidi, Abul Hasan Ali bin Abi Ali bin Muhammad, Al Ihkam Fi Ushul Al

Ahkam, terbitan Dar Al Kutub Al ilmiyah, Bairut, tahun 1400 H/ 1980

9. Al Mur’asyili, Yusuf bin Abdurrahman, Fihris Al Umm, terbitan Dar Al

Ma’rifah, cetakan 1, tahun 1408 H

10. Al Qorofi, Ahmad bin Idris bin Abdurrahman, Nafais Al Ushul Fi Syarh Al

Mahshul, terbitan Maktabah Nazzar Musthofa Al Baz, Arab Sa’udi, cetaka

ke , tahun 1418 H/ 1998

11. Al Yasin, Jasim bin Muhammad bin Muhalhil, Al Jadawil Al Jami’ah Fi Al

Ulum Al Nafi’ah, terbitan Muassasah Al Kalimah, Al Kuait, cetakan ke 4,

tanpa tahun

12. An Naisaburi, Muslim bin Hajjaj, Sahih Muslim, terbitan Dar Al Fikri,

Bairut, cetakan ke 1, tahun 1408 H/ 1988

13. As Sarokhsi, Abu Bakar Muhammad bin Ahmad bin Abu Sahal, Ushul Fiqh,

terbitan Dar Al Ma’rifah, Bairut, tanpa tahun

14. As Shobuni, Muhammad Ali, Mukhtashor Tafsir Ibn Katsir, terbitan Dar Al

Qur’an, Bairut, cetakan ke 7, tahun 1402 H/1981

15. As Syafi’i, Muhammad bin Idris, Al Umm, terbitan Dar Al Ma’rifah, Bairut,

cetakan ke 2, tahun 1393 H/1973

16. ____________, Ar Risalah, terbitan Maktabah Dar Ats Tsaqofah, cetakan ke

2, tahun 1403 H/ 1983

17. As Syaukani, Muhammad bin Ali bin Muhammad, terbitan Maktabah

Mushthofa Al Babi Al Halabi, Mesir, cetakan akhir, tanpa tahun

18. As Syatibi, Abu Ishaq, Al Muwafaqot Fi Ushul As Syari’ah, terbitan Al

Maktabah At Tijariyah Al Kubro, tanpa tahun

19. As Syinqiti, Muhammad Al Amin bin Al Mukhtar, Muzakkiroh Ushul Al

Fiqh, terbitan Al Maktabah As Salafiyah, Al Madinah Al Munawwaroh,

tanpa tahun

20. Az Zubaidi, Ahmad bin Abdu Al Lathif, Mukhtashor Sohih Al Bukhori,

terbitan Dar An Nafais, Bairut, cetakan ke 5, tahun 1412 H/ 1992

21. Az Zuhaili, Wahbah, Al Fiqhu Al Islami Wa Adillatuhu, terbitan Dar Al

Fikri, Damaskus, cetakan ke 3, tahun 1409 H/ 1989

22. Ibnu Al Arobi, Al Qhodi Abu Bakar, Al Mahshul Fi Ushul Al Fiqh, terbitan

Dar Al Bayariq, Yordan, cetakan 1, tahun 1408 H

23. Ibnu Taymiyah, Ahmad bin Abdulhalim, Qo’idah Fi Al Istihsan, editor

Muhammad Aziz Syis, terbitan Dar ’Alam Al Fawaid, Arab Sa’udi, cetakan

1, tahun 1419 H

24. Ibn Quddamah, Abdullah bin Ahmad bin Muhammad, Al Mughni, terbitan

Dar Al Kitab Al Arobi, cetakan tahun 1403 H/ 1983

 


[1] Abu Zahroh, Ushul Fiqh, hal. 244

[2] Al Fairuz Abadi, Al Qomus Al Muhith, hal 1189

[3] Ibnul Quddamah, Raudhotun Nazhir, hal 86

[4] Jasim Muhalhil, Al Jadawil, hal. 55

[5] Asy Syatiby, Al Muwafaqot 4/205

[6]Al Jayzani, Ma’alim Ushul Al Fiqh, hal 236, Abu Zahroh, hal 245, Beliau mengatakan bahwa definisi tersebut adalah definisi Hanafiyah.

[7] 7 Al Qorofi, Nafais Al Ushul, 9/4216

[8] Al Bukhori, Kasyful Asror, 4/3

[9] Al Amidi, Al Ihkam fi Ushulil Ahkam, 4/57

[10] Asy Syatiby, Al Muwafaqot, 4/208

[11] As Syinqiti, Muzakiroh Ushul Fiqh, hal 167

[12] Lihat Ibnu Taimiyah, Qi’idah fil Istihsan, hal. 48-52

[13] QS. Azzumar, ayat 18

[14] As Syafi’I, Ar Risalah , hal 219

[15] Al Ghozali, Al Mustashfa, hal 29

[16] As Syafi’I, Al Umm, bab Ibtholul Istihsan 7/298

[17] Ibnul Arobi, Al Mahshul, hal. 131

[18] Lihat Abu Zahroh, hal. 252-253, As Syafi’i, Al Umm 7/ 294-304

[19] QS. Annisa ayat 59

[20] Lihat Ashobuni, Mukhtashor Ibnu Katsir, 4/459

[21] Al Majmu’ 4/48

[22] Badai’u Al Fawaid, 4/32

[23] Ibu Al Quddamah, Al Mughni, 1/266

[24] Asy Syaukani, Nailul Author 2/225

[25] Azubaidi, Mukhtashor Sohih Bukhori, hal 226

[26] HR. Muslim, Sahih Muslim 1/415

[27] Lihat Abu Zahroh, hal. 249-250, Ibnul Arobi, hal. 131, Adillah Tasyri, hal 163-173

[28] QS Al Fathir ayat 12

A.  PENDAHULUAN

Ilmu Ushul Fiqih merupakan salah satu intsrumen penting yang harus dipenuhi oleh siapapun yang ingin menjalankan atau melakukan mekanisme ijtihad dan istinbath hukum dalam Islam. Itulah sebabnya tidak mengherankan jika dalam pembahasan kriteria seorang mujtahid, penguasaan akan ilmu ini dimasukkan sebagai salah satu syarat mutlaknya. Atau dengan kata lain, untuk menjaga agar proses ijtihad dan istinbath tetap berada pada koridor yang semestinya, Ushul Fiqih-lah salah satu “penjaga”nya.

Meskipun demikian, ada satu fakta yang tidak dapat dipungkiri bahwa penguasaan Ushul Fiqih tidaklah serta merta menjamin kesatuan hasil ijtihad dan istinbath para mujtahid. Disamping faktor eksternal Ushul Fiqih itu sendiri –seperti penentuan keshahihan suatu hadits misalnya-, internal Ushul Fiqih sendiri –pada sebagian masalahnya- mengalami perdebatan (ikhtilaf) di kalangan para Ushuluyyin. Inilah yang kemudian dikenal dengan istilah al-Adillah (sebagian ahli Ushul menyebutnya: al-Ushul) al-Mukhtalaf fiha, atau “Dalil-dalil yang diperselisihkan penggunaannya” dalam penggalian dan penyimpulan hukum.

Salah satu dalil itu adalah apa yang dikenal dengan al-Istihsan (selanjutnya disebut sebagai Istihsan). Makalah ini akan menguraikan tentang hakikat al-Istihsan tersebut, bagaimana pandangan para ulama lintas madzhab tentangnya, serta beberapa hal lain yang terkait dengannya.

 

B. ISTIHSAN

Orang yang menetapkan hukum berdasarkan istihsan tidak boleh berdasarkan rasa dan keinginannyya semata, akan tetapi haruslah berdasarkan hal-hal yang diketahui bahwa hukum itu sesuai dengan tujuan Allah SWT menciptakan syara’ dan sesuai pula dengan kaidah-kaidah syara’ yang umum”

1. Pengertian

Istihsan menurut bahasa berarti menganggap baik atau mencari yang baik. Menurut ulama ushul fiqh, ialah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasar dalil syara’, menuju (menetapkan) hukum lain dari peristiwa atau kejadian itu juga, karena ada suatu dalil syara’ yang mengharuskan untuk meninggalkannya. Dalil yang terakhir disebut sandaran istihsan.

Qiyas berbeda dengan istihsan. Pada qiyas ada dua peristiwa atau kejadian. Peristiwa atau kejadian pertama belum ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan dasarnya. Untuk menetapkan hukumnya dicari peristiwa atau kejadian yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash dan mempunyai persamaan ‘illat dengan peristiwa pertama. Berdasarkan persamaan ‘illat itu ditetapkanlah hukum peristiwa pertama sama dengan hukum peristiwa kedua. Sedang pada istihsan hanya ada satu peristiwa atau kejadian. Mula-mula peristiwa atau kejadian itu telah ditetapkan hukumnya berdasar nash. Kemudian ditemukan nash yang lain yang mengharuskan untuk meninggalkan hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan itu, pindah kepada hukum lain, sekalipun dalil pertama dianggap kuat, tetapi kepentingan menghendaki perpindahan hukum itu.

Dengan perkataan lain bahwa pada qiyas yang dicari seorang mujtahid ialah persamaan ‘illat dari dua peristiwa atau kejadian, sedang pada istihsan yang dicari ialah dalil mana yang paling tepat digunakan untuk menetapkan hukum dari satu peristiwa.

 

2. Dasar hukum istihsan

Yang berpegang dengan dalil istihsan ialah Madzhab Hanafi, menurut mereka istihsan sebenarnya semacam qiyas, yaitu memenangkan qiyas khafi atas qiyas jali atau mengubah hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasar ketentuan umum kepada ketentuan khusus karena ada suatu kepentingan yang membolehkannya. Menurut mereka jika dibolehkan menetapkan hukum berdasarkan qiyas jali atau maslahat mursalah, tentulah melakukan istihsan karena kedua hal itu pada hakekatnya adalah sama, hanya namanya saja yang berlainan. Disamping Madzhab Hanafi, golongan lain yang menggunakan istihsan ialah sebagian Madzhab Maliki dan sebagian Madzhab Hambali.

Yang menentang istihsan dan tidak menjadikannya sebagai dasar hujjah ialah Madzhab Syafi’i. Istihsan menurut mereka adalah menetapkan hukum syara’ berdasarkan keinginan hawa nafsu. Imam Syafi’i berkata: “Siapa yang berhujjah dengan istihsan berarti ia telah menetapkan sendiri hukum syara’ berdasarkan keinginan hawa nafsunya, sedang yang berhak menetapkan hukum syara’ hanyalah Allah SWT.” Dalam buku Risalah Ushuliyah karangan beliau, dinyatakan: “Perumpamaan orang yang melakukan istihsan adalah seperti orang yang melakukan shalat yang menghadap ke suatu arah yang menurut istihsan bahwa arah itu adalah arah Ka’bah, tanpa ada dalil yang diciptakan pembuat syara’ untuk menentukan arah Ka’bah itu.”

Jika diperhatikan alasan-alasan yang dikemukakan kedua pendapat itu serta pengertian istihsan menurut mereka masing-masing, akan jelas bahwa istihsan menurut pendapat Madzhab Hanafi berbeda dari istihsan menurut pendapat Madzhab Syafi’i. Menurut Madzhab Hanafi istihsan itu semacam qiyas, dilakukan karena ada suatu kepentingan, bukan berdasarkan hawa nafsu, sedang menurut Madzhab Syafi’i, istihsan itu timbul karena rasa kurang enak, kemudian pindah kepada rasa yang lebih enak. Seandainya istihsan itu diperbincangkan dengan baik, kemudian ditetapkan pengertian yang disepakati, tentulah perbedaan pendapat itu dapat dikurangi. Karena itu asy-Syathibi dalam kitabnya Al-Muwâfaqât menyatakan: “orang yang menetapkan hukum berdasarkan istihsan tidak boleh berdasarkan rasa dan keinginannyya semata, akan tetapi haruslah berdasarkan hal-hal yang diketahui bahwa hukum itu sesuai dengan tujuan Allah SWT menciptakan syara’ dan sesuai pula dengan kaidah-kaidah syara’ yang umum”.

 

3. Macam-macam istihsan

Ditinjau dari segi pengertian istihsan menurut ulama ushul fiqh di atas, maka istihsan itu terbagi atas dua macam, yaitu:

1.    Pindah dari qiyas jali kepada qiyas khafi, karena ada dalil yang mengharuskan pemindahan itu.

2.    Pindah dari hukum kulli kepada hukum juz-i, karena ada dalil yang mengharuskannya. Istihsan macam ini oleh Madzhab Hanafi disebut istihsan darurat, karena penyimpangan itu dilakukan karena suatu kepentingan atau karena darurat.

Contoh istihsan macam pertama:

1.    Menurut Madzhab Hanafi: bila seorang mewaqafkan sebidang tanah pertanian, maka termasuk yang diwaqafkannya itu hak pengairan, hak membuat saluran air di atas tanah itu dan sebagainya. Hal ini ditetapkan berdasar istihsan. Menuryt qiyas jali hak-hak tersebut tidak mungkin diperoleh, karena mengqiyaskan waqaf itu dengan jual beli. Pada jual beli yang penting ialah pemindahan hak milik dari penjual kepada pembeli. Bila waqaf diqiyaskan kepada jual beli, berarti yang penting ialah hak milik itu. Sedang menurut istihsan hak tersebut diperoleh dengan mengqiyaskan waqaf itu kepada sewa-menyewa. Pada sewa-menyewa yang penting ialah pemindahan hak memperoleh manfaat dari pemilik barang kepada penyewa barang. Demikian pula halnya dengan waqaf. Yang penting pada waqaf ialah agar barang yang diwaqafkan itu dapat dimanfaatkan. Sebidang sawah hanya dapat dimanfaatkan jika memperoleh pengairan yang baik. Jika waqaf itu diqiyaskan kepada jual beli (qiyas jali), maka tujuan waqaf tidak akan tercapai, karena pada jual beli yang diutamakan pemindahan hak milik. Karena itu perlu dicari ashalnya yang lain, yaitu sewa-menyewa. Kedua peristiwa ini ada persamaan ‘illatnya yaitu mengutamakan manfaat barang atau harta, tetapi qiyasnya adalah qiyas khafi. Karena ada suatu kepentingan, yaitu tercapainya tujuan waqaf, maka dilakukanlah perpindahan dari qiyas jali kepada qiyas khafi, yang disebut istihsan.

2.    Menurut Madzhab Hanafi: sisa minuman burung buas, seperti sisa burung elang burung gagak dan sebagainya adalah suci dan halal diminum. Hal ini ditetapkan dengan istihsan. Menurut qiyas jali sisa minuman binatang buas, seperti anjing dan burung-burung buas adalah haram diminum karena sisa minuman yang telah bercampur dengan air liur binatang itu diqiyaskan kepada dagingnya. Binatang buas itu langsung minum dengan mulutnya, sehingga air liurnya masuk ke tempat minumnya. Menurut qiyas khafi bahwa burung buas itu berbeda mulutnya dengan mulut binatang huas. Mulut binatang buas terdiri dari daging yang haram dimakan, sedang mulut burung buas merupakan paruh yang terdiri atas tulang atau zat tanduk dan tulang atau zat tanduk bukan merupakan najis. Karena itu sisa minum burung buas itu tidak bertemu dengan dagingnya yang haram dimakan, sebab diantara oleh paruhnya, demikian pula air liurnya. Dalam hal ini keadaan yang tertentu yang ada pada burung buas yang membedakannya dengan binatang buas. Berdasar keadaan inilah ditetapkan perpindahan dari qiyas jali kepada qiyas khafi, yang disebut istihsan.

Contoh istihsan macam kedua

1.    Syara’ melarang seseorang memperjualbelikan atau mengadakan perjanjian tentang sesuatu barang yang belum ada wujudnya, pada saat jual beli dilakukan. Hal ini berlaku untuk seluruh macam jual beli dan perjanjian yang disebut hukum kuIIi. Tetapi syara’ memberikan rukhshah (keringanan) kepada pembelian barang dengan kontan tetapi barangnya itu akan dikirim kemudian, sesuai dengan waktu yang telah dijanjikan, atau dengan pembelian secara pesanan (salam). Keringanan yang demikian diperlukan untuk memudahkan lalu-lintas perdagangan dan perjanjian. Pemberian rukhshah kepada salam itu merupakan pengecualian (istitana) dari hukum kulli dengan menggunakan hukum juz-i, karena keadaan memerlukan dan telah merupakan adat kebiasaan dalam masyarakat.

2.    Menurut hukum kulli, seorang pemboros yang memiliki harta berada di bawah perwalian seseorang, karena itu ia tidak dapat melakukan transaksi hartanya tanpa izin walinya. Dalam hal ini dikecualian transaksi yang berupa waqaf. Orang pemboros itu dapat melakukan atas namanya sendiri, karena dengan waqaf itu hartanya terpelihara dari kehancuran dan sesuai dengan tujuan diadakannya perwalian, yaitu untuk memelihara hartanya (hukum juz-i).

Dari contoh di atas nampak bahwa karena adanya suatu kepentingan atau keadaan maka dilaksanakanlah hukum juz-i dan meninggalkan hukum kulli. Ditinjau dari segi sandarannya, maka istihsan terbagi kepada:

1.    Istihsan dengan sandaran qiyas khafi;

2.    Istihsan dengan sandaran nash;

3.    Istihsan dengan sandaran ‘urf; dan

4.    Istihsan dengan sandaran keadaan darurat.

 

 

C.  KESIMPULAN

1.      Istihsan menurut bahasa berarti menganggap baik atau mencari yang baik. Menurut ulama ushul fiqh, ialah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasar dalil syara’, menuju (menetapkan) hukum lain dari peristiwa atau kejadian itu juga, karena ada suatu dalil syara’ yang mengharuskan untuk meninggalkannya

2.      dalil hukum istihsan menurut Madzhab Hanafi, istihsan sebenarnya semacam qiyas, yaitu memenangkan qiyas khafi atas qiyas jali atau mengubah hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasar ketentuan umum kepada ketentuan khusus karena ada suatu kepentingan yang membolehkannya.

3.      Istihsan itu terbagi atas dua macam, yaitu:

a)      Pindah dari qiyas jali kepada qiyas khafi, karena ada dalil yang mengharuskan pemindahan itu.

b)      Pindah dari hukum kulli kepada hukum juz-i, karena ada dalil yang mengharuskannya. Istihsan macam ini oleh Madzhab Hanafi disebut istihsan darurat, karena penyimpangan itu dilakukan karena suatu kepentingan atau karena darurat.

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

1.      Al Qur’anul Karim

2.      Al-Musawa, Nabiel Fuad. 2005. Qa’idah al-Istinbath. Beirut: Dar al-Fikr

3.      Dasuki, Hafizh dkk.. Ensiklopedi Hukum Islam. 1977. Jakarta: P.T. Intermasa

4.      Muslim, Shahih Muslim, Beirut: Dar al-Fikr, Juz II, T.Th

5.      Khallaf, Abdul Wahab. 1977. Ilmu Ushul Fiqih. Kuwait : An-Nashie

6.      Bakry, Nazar, Fiqh dan Ushul Fiqh, 1996, PT. Raja Grafindo Persada.

7.      Habafie, Ushul Fiqh, 1961, Penerbit Wijaya, Jakarta.

Qiyas

Posted: 24/01/2011 in Ushul Fiqh
Tag:, ,

I. PENDAHULUAN

 

Segala puji bagi Allah SWT yang Maha Pengasih tanpa pernah pilih kasih dan Yang Maha Penyayang yang menyayangi tanpa pernah meminta imbalan dari mahluk-Nya, yang atas berkat rahmat, inayah serta hidayah-Nya lah kami sebagai penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Tak lupa shalawat serta salam semoga selalu trcurahkan kepada Nabi besar Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat, serta, umatnya yang membela risalahnya sampai akhir jaman.

Qiyas ialah menetapkan hukum suatu kejadian atau peristiwa yang tidak ada dasar nashnya dengan cara membandingkannya kepada suatu kejadian atau peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash karena ada persamaan ‘illat antara kedua kejadian atau peristiwa itu. Qiyas Sebagian besar para ulama fiqh dan para pengikut madzhab yang empat sependapat bahwa qiyas dapat dijadikan salah satu dalil atau dasar hujjah dalam menetapkan hukum dalam ajaran Islam

Pada kesempatan kali ini penulis mencoba menjelaskan qiyas dari sisi pengertian, dasar hukum, rukun-rukun, dan macam-macam qiyas sehingga kita sebagai mahasiswa lebih mengerti mengenai bab qiyas ini.

 

 

 

 

 

II.  QIYAS

1. Pengertian qiyas

Qiyas menurut bahasa Arab berarti menyamakan, membandingkan atau mengukur, seperti menyamakan si A dengan si B, karena kedua orang itu mempunyai tinggi yang sama, bentuk tubuh yang sama, wajah yang sama dan sebagainya. Qiyas juga berarti mengukur, seperti mengukur tanah dengan meter atau alat pengukur yang lain. Demikian pula membandingkan sesuatu dengan yang lain dengan mencari persamaan-persamaannya.

Menurut para ulama ushul fiqh, ialah menetapkan hukum suatu kejadian atau peristiwa yang tidak ada dasar nashnya dengan cara membandingkannya kepada suatu kejadian atau peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash karena ada persamaan ‘illat antara kedua kejadian atau peristiwa itu.

Telah terjadi suatu kejadian atau peristiwa yang perlu ditetapkan hukumnya, tetapi tidak ada nash yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkannya. Untuk menetapkan hukumnya dapat ditempuh dengan cara qiyas, yaitu dengan mencari peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash, serta antara kedua kejadian atau peristiwa itu ada persamaan ‘illat. Jadi suatu qiyas hanya dapat dilakukan apabila telah diyakini bahwa benar-benar tidak ada satupun nash yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum suatu peristiwa atau kejadian. Karena itu tugas pertama yang harus dilakukan oleh seorang yang akan melakukan qiyas, ialah mencari: apakah ada nash yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum dari peristiwa atau kejadian. Jika telah diyakini benar tidak ada nash yang dimaksud barulah dilakukan qiyas. Agar lebih mudah memahaminya dikemukakan contoh-contoh berikut:

a. Minum narkotik adalah suatu perbuatan yang perlu diterapkan hukumnya, sedang tidak satu nashpun yang dapat dijadikan sebagai dasar hukumnya. Untuk menetapkan hukumnya dapat ditempuh cara qiyas dengan mencari perbuatan yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash, yaitu perbuatan minum khamr, yang diharamkan berdasar firman Allah SWT.

$pkš‰r’¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä $yJ¯RÎ) ãôJsƒø:$# çŽÅ£øŠyJø9$#ur Ü>$|ÁRF{$#ur ãN»s9ø—F{$#ur Ó§ô_͑ ô`ÏiB È@yJtã Ç`»sÜø‹¤±9$# çnqç7Ï^tGô_$$sù öNä3ª=yès9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÒÉÈ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (minum) khamr; berjudi, menyembah patung dan mengundi nasib dengan anak panah tidak lain hanyalah suatu yang kotor, termasuk perbuatan syaitan, karena itu hendaklah kamu jauhi agar kamu mendapat keberuntungan.” (al-Mâidah: 90)

Antara minum narkotik dan minum khamr ada persamaan, illatnya, yaitu sama-sama berakibat memabukkan para peminumnya, sehingga dapat merusak akal. Berdasarkan persamaan ‘illat itu ditetapkanlah hukum meminum narkotik itu yaitu haram, sebagaimana haramnya meminum khamr.

b. Si A telah menerima wasiat dari B bahwa ia akan menerima sebidang tanah yang telah ditentukan, jika B meninggal dunia. A ingin segera memperoleh tanah yang diwasiatkan, karena itu dibunuhnyalah B. Timbul persoalan: Apakah A tetap memperoleh tanah yang diwasiatkan itu? Untuk menetapkan hukumnya dicarilah kejadian yang lain yang ditetapkan hukumnya berdasar nash dan ada pula persamaan ‘illatnya. Perbuatan itulalah pembunuhan yang dilakukan oleh ahli waris terhadap orang yang akan diwarisinya, karena ingin segera memperoleh harta warisan.

Sehubungan dengan itu Rasulullah SAW bersabda:

“Orang yang membunuh (orang yang akan diwarisinya) tidak berhak mewarisi.” (HR. Tirmidzi)

Antara kedua peristiwa itu ada persamaan ‘illatnya, yaitu ingin segera memperoleh sesuatu sebelum sampai waktu yang ditentukan. Berdasarkan persamaan ‘illat itu dapat ditetapkan hukum bahwa si A haram memperoleh tanah yang diwariskan B untuknya, karena ia telah membunuh orang yang telah berwasiat untuknya, sebagaimana orang yang membunuh orang yang akan diwarisinya, diharamkan memperolah harta warisan dari orang yang telah dibunuhnya.

c. Terus melakukan sesuatu pekerjaan, seperti mencangkul di sawah, bekerja di kantor, dan sebagainya setelah mendengar adzan untuk melakukan shalat Jum’at belum ditetapkan hukumnya. Lalu dicari perbuatan lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash dan ada pula persamaan ‘illatnya, yaitu terus menerus melakukan jual beli setelah mendengar adzan Jum’at, yang hukumnya makruh. Berdasar firman AIIah SWT:

$pkš‰r’¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) š”ÏŠqçR Ío4qn=¢Á=Ï9 `ÏB ÏQöqtƒ ÏpyèßJàfø9$# (#öqyèó™$$sù 4’n<Î) ̍ø.ό «!$# (#râ‘sŒur yìø‹t7ø9$# 4 öNä3Ï9ºsŒ ׎öyz öNä3©9 bÎ) óOçGYä. tbqßJn=÷ès? ÇÒÈ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila diserukan (adzan) untuk sembahyang hari Jum’at, maka hendaklah segera mengingat Allah (shalat Jum’at) dan meninggalkan jual-beli. Yang demikian itu lebih baik untukmu jika kamu mengetahui.” (al-Jumu’ah: 9)

Antara kedua pekerjaan itu ada persamaan ‘illatnya, karena itu dapat pula ditetapkan hukum mengerjakan suatu pekerjaan setelah mendengar adzan Jum’at, yaitu makruh seperti hukum melakukan jual-beli setelah mendengar adzan Ju’mat.

Dari contoh-contoh di atas dapat dilihat bahwa dalam melakukan qiyas ada satu peristiwa atau kejadian yang perlu ditetapkan hukumnya sedang tidak ada satupun nash yang dapat dijadikan dasar hukumnya untuk menetapkan hukum dari peristiwa atau kejadian itu, dicarilah peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash. Kedua peristiwa atau kejadian itu mempunyai ‘illat yang sama pula. Kemudian ditetapkanlah hukum peristiwa atau kejadian yang pertama sama dengan hukum peristiwa atau kejadian yang kedua.

2. Dasar hukum qiyas

Sebagian besar para ulama fiqh dan para pengikut madzhab yang empat sependapat bahwa qiyas dapat dijadikan salah satu dalil atau dasar hujjah dalam menetapkan hukum dalam ajaran Islam. Hanya mereka berbeda pendapat tentang kadar penggunaan qiyas atau macam-macam qiyas yang boleh digunakan dalam mengistinbathkan hukum, ada yang membatasinya dan ada pula yang tidak membatasinya, namun semua mereka itu barulah melakukan qiyas apabila ada kejadian atau peristiwa tetapi tidak diperoleh satu nashpun yang dapat dijadikan dasar.

Hanya sebagian kecil para ulama yang tidak membolehkan pemakaian qiyas sebagai dasar hujjah, diantaranya ialah salah satu cabang Madzhab Dzahiri dan Madzhab Syi’ah.

Mengenai dasar hukum qiyas bagi yang membolehkannya sebagai dasar hujjah, ialah al-Qur’an dan al-Hadits dan perbuatan sahabat yaitu:

a. Al-Qur’an

1) Allah SWT berfirman:

$pkš‰r’¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãè‹ÏÛr& ©!$# (#qãè‹ÏÛr&ur tAqߙ§9$# ’Í<‘ré&ur ͐öDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt“»uZs? ’Îû &äóÓx« çnr–Šãsù ’n<Î) «!$# ÉAqߙ§9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöqu‹ø9$#ur ̍ÅzFy$# 4 y7Ï9ºsŒ ׎öyz ß`|¡ômr&ur ¸xƒÍrù’s? ÇÎÒÈ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan ulil amri kamu, kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat. Yang demikian itu lebih baik (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (an-Nisâ’: 59)

Dari ayat di atas dapat diambilah pengertian bahwa Allah SWT memerintahkan kaum muslimin agar menetapkan segala sesuatu berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadits. Jika tidak ada dalam al-Qur’an dan al-Hadits hendaklah mengikuti pendapat ulil amri. Jika tidak ada pendapat ulil amri boleh menetapkan hukum dengan mengembalikannya kepada al-Qur’an dan al-Hadits, yaitu dengan menghubungkan atau memperbandingkannya dengan yang terdapat dalam al-Qur’an dan al-Hadits. Dalam hal ini banyak cara yang dapat dilakukan diantaranya dengan melakukan qiyas.

 

 

uqèd ü“Ï%©!$# ylt÷zr& tûïÏ%©!$# (#rãxÿx. ô`ÏB È@÷dr& É=»tGÅ3ø9$# `ÏB öNÏd̍»tƒÏŠ ÉA¨rL{ Ύô³ptø:$# 4 $tB óOçF^oYsß br& (#qã_ãøƒs† ( (#þq‘Zsßur Oßg¯Rr& óOßgçGyèÏR$¨B NåkçXqÝÁãm z`ÏiB «!$# ãNßg9s?r’sù ª!$# ô`ÏB ß]ø‹ym óOs9 (#qç7Å¡tGøts† ( t$x‹s%ur ’Îû ãNÍkÍ5qè=è% |=ô㔍9$# 4 tbqç/̍øƒä† NåksEqã‹ç/ öNÍk‰Ï‰÷ƒr’Î/ “ω÷ƒr&ur tûüÏZÏB÷sßJø9$# (#rçŽÉ9tFôã$$sù ’Í<‘ré’¯»tƒ ̍»|Áö/F{$# ÇËÈ

Artinya: “Dialah yang mengeluarkan orang-orang kafir ahli kitab dari kampung halaman mereka pada pengusiran pertama kali. Kamu tidak mengira bahwa mereka akan keluar dan merekapun yakin bahwa benteng-benteng mereka akan dapat menghindarkan mereka dari (siksaan) Allah, akan tetapi Allah mendatangkan kepada mereka (siksaan) dari arah yang tidak mereka sangka. Dan Allah menanamkan ketakutan ke dalam hati mereka, dan mereka membinasakan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan-tangan orang yang beriman. Maka ambillah tamsil dan ibarat (dari kejadian itu) hai orang-orang yang mempunyai pandangan yang tajam.” (al-Hasyr: 2)

Pada ayat di atas terdapat perkataan fa’tabirû yâ ulil abshâr (maka ambillah tamsil dan ibarat dari kejadian itu hai orang-orang yang mempunyai pandangan tajam). Maksudnya ialah: Allah SWT memerintahkan kepada manusia agar membandingkan kejadian yang terjadi pada diri sendiri kepada kejadian yang terjadi pada orang-orang kafir itu. Jika orang-orang beriman melakukan perbuatan seperti perbuatan orang-orang kafir itu, niscaya mereka akan memperoleh azab yang serupa. Dari penjelmaan ayat di atas dapat dipahamkan bahwa orang boleh menetapkan suatu hukum syara’ dengan cara melakukan perbandingan, persamaan atau qiyas.

b. Al-Hadits.

1. Setelah Rasulullah SAW melantik Mu’adz bin Jabal sebagai gubernur Yaman, beliau bertanya kepadanya:

“Bagaimana (cara) kamul menetapkan hukum apabila dikemukakan suatu peristiwa kepadamu? Mu’adz menjawab: Akan aku tetapkan berdasar al-Qur’an. Jika engkau tidak memperolehnya dalam al-Qur’an? Mu’adz berkata: Akan aku tetapkan dengan sunnah Rasulullah. Jika engkau tidak memperoleh dalam sunnah Rasulullah? Mu’adz menjawab: Aku akan berijtihad dengan menggunakan akalku dengan berusaha sungguh-sungguh. (Mu’adz berkata): Lalu Rasulullah menepuk dadanya dan berkata: Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk petugas yang diangkat Rasulullah, karena ia berbuat sesuai dengan yang diridhai Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Ahmad Abu Daud dan at-Tirmidzi)

Dari hadits ini dapat dipahami bahwa seorang boleh melakukan ijtihad dalam menetapkan hukum suatu peristiwa jika tidak menemukan ayat-ayat al-Qur’an dan al-Hadits yang dapat dijadikan sebagai dasarnya. Banyak cara yang dapat dilakukan dalam berijtihad itu. Salah satu diantaranya ialah dengan menggunakan qiyas.

2. Rasulullah SAW pernah menggunakan qiyas waktu menjawab pertanyaan yang dikemukakan sahabat kepadanya, seperti: “Sesungguhnya seorang wanita dari qabilah Juhainah pernah menghadap Rasullah SAW ia berkata: sesungguhnya ibuku telah bernadzar melaksanakan ibadah haji, tetapi ia tidak sempat melaksanakannya sampai ia meninggal dunia, apakah aku berkewajiban melaksanakan hajinya? Rasullah SAW menjawab: Benar, laksanakanlah haji untuknya, tahukah kamu, seandainya ibumu mempunnyai hutang, tentu kamu yang akan melunasinya. Bayarlah hutang kepada Allah, karena hutang kepada Allah lebih utama untuk dibayar.” (HR. Bukhari dan an-Nasâ’i)

Pada hadits di atas Rasulullah mengqiyaskan hutang kepada Allah dengan hutang kepada manusia. Seorang anak perempuan menyatakan bahwa ibunya telah meninggal dunia dalam keadaan berhutang kepada Allah, yaitu belum sempat menunaikan nadzarnya untuk menunaikan ibadah haji. Kemudian Rasulullah SAW menjawab dengan mengqiyaskannya kepada hutang. Jika seorang ibu meninggal dunia dalam keadaan berhutang, maka anaknya wajib melunasinya. Beliau menyatakan hutang kepada Allah lebih utama dibanding dengan hutang kepada manusia. Jika hutang kepada manusia wajib dibayar tentulah hutang kepada Allah lebih utama harus dibayar. Dengan cara demikian seakan-akan Rasulullah SAW menggunakan qiyas aulawi.

c. Perbuatan sahabat

Para sahabat Nabi SAW banyak melakukan qiyas dalam menetapkan hukum suatu peristiwa yang tidak ada nashnya. Seperti alasan pengangkatan Khalifah Abu Bakar. Menurut para sahabat Abu Bakar lebih utama diangkat menjadi khalifah dibanding sahabat-sahabat yang lain, karena dialah yang disuruh Nabi SAW mewakili beliau sebagai imam shalat di waktu beliau sedang sakit. Jika Rasulullah SAW ridha Abu Bakar mengganti beliau sebagai imam shalat, tentu beliau lebih ridha jika Abu Bakar menggantikan beliau sebagai kepala pemerintahan.

Khalifah Umar bin Khattab pernah menuliskan surat kepada Abu Musa al-Asy’ari yang memberikan petunjuk bagaimana seharusnya sikap dan cara seorang hakim mengambil keputusan. Diantara isi surat beliau itu ialah: “kemudian pahamilah benar-benar persoalan yang dikemukakan kepadamu tentang perkara yang tidak terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah. Kemudian lakukanlah qiyas dalam keadaan demikian terhadap perkara-perkara itu dan carilah contoh-contohnya, kemudian berpeganglah kepada pendapat engkau yang paling baik di sisi Allah dan yang paling sesuai dengan kebenaran…”

d. Akal

Tujuan Allah SWT menetapakan syara’ bagi kemaslahatan manusia. Dalam pada itu setiap peristiwa ada yang diterangkan dasarnya dalam nash dan ada pula yang tidak diterangkan. Peristiwa yang tidak diterangkan dalam nash atau tidak ada nash yang dapat dijadikan sebagai dasarnya ada yang ‘illatnya sesuai benar dengan ‘illat hukum dari peristiwa yang ada nash sebagai dasarnya. Menetapkan hukum dari peristiwa yang tidak ada nash sebagai dasarnya ini sesuai dengan hukum yang telah ditetapkan berdasar nash karena ada persamaan ‘illatnya diduga keras akan memberikan kemaslahatan kepada hamba. Sebab itu tepatlah kiranya hukum dari peristiwa itu ditetapkan dengan cara qiyas.

Bila diperhatikan akan tampak bahwa nash-nash al-Qur’an dan al-Hadits ada yang bersifat umum penjelasannya dan ada yang bersifat khusus, ada yang mujmal dan ada yang mubayyan. Biasanya yang bersifat umum dan mujmal, merupakan dasar-dasar umum dari syari’at Islam. Dalam pada itu peristiwa atau kejadian setiap saat bertambah. Banyak peristiwa atau kejadian yang terjadi sekarang tidak pernah terjadi pada masa Rasulullah, dan peristiwa itu perlu ditetapkan hukumnya, sedang tidak ada.

3. Rukun qiyas

Ada empat rukun giyas, yaitu:

1.    Ashal, yang berarti pokok, yaitu suatu peristiwa yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash. Ashal disebut juga maqis ‘alaih (yang menjadi ukuran) atau musyabbah bih (tempat menyerupakan), atau mahmul ‘alaih (tempat membandingkan);

2.    Fara’ yang berarti cabang, yaitu suatu peristiwa yang belum ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan sebagai dasar. Fara’ disebut juga maqis (yang diukur) atau musyabbah (yang diserupakan) atau mahmul (yang dibandingkan);

3.    Hukum ashal, yaitu hukum dari ashal yang telah ditetapkan berdasar nash dan hukum itu pula yang akan ditetapkan pada fara’ seandainya ada persamaan ‘illatnya; dan

4.    ‘IIIat, yaitu suatu sifat yang ada pada ashal dan sifat itu yang dicari pada fara’. Seandainya sifat ada pula pada fara’, maka persamaan sifat itu menjadi dasar untuk menetapkan hukum fara’ sama dengan hukum ashal.

Sebagai contoh adalah menjual harta anak yatim adalah suatu peristiwa yang perlu ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan sebagai dasarnya. Peristiwa ini disebut fara’. Untuk menetapkan hukumnya dicari suatu peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash yang illatnya sama dengan peristiwa pertama. Peristiwa kedua ini memakan harta anak yatim yang disebut ashal. Peristiwa kedua ini telah ditetapkan hukumnya berdasar nash yaitu haram (hukum ashal) berdasarkan firman Allah SWT:

¨bÎ) tûïÏ%©!$# tbqè=à2ù’tƒ tAºuqøBr& 4’yJ»tGuŠø9$# $¸Jù=àß $yJ¯RÎ) tbqè=à2ù’tƒ ’Îû öNÎgÏRqäÜç/ #Y‘$tR ( šcöqn=óÁu‹y™ur #ZŽÏèy™ ÇÊÉÈ

Artinya:  “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara dhalim sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).” (an-Nisâ’: 10)

Persamaan ‘illat antara kedua peristiwa ini, ialah sama-sama berakibat berkurang atau habisnya harta anak yatim. Karena itu ditetapkanlah hukum menjual harta anak yatim sama dengan memakan harta anak yatim yaitu sama-sama haram.

Dari keterangan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:

  • Ashal, ialah memakan harta anak yatim.
  • Fara’, ialah menjual harta anak yatim.
  • Hukum ashal, ialah haram.
  • ‘Illat, ialah mengurangi atau menghabiskan harta anak yatim.

 

4. Pembagian qiyas

Qiyas dapat dibagi kepada tiga macam, yaitu: 1. Qiyas ‘illat; 2. Qiyas dalalah; dan 3. Qiyas syibih.

a. Qiyas ‘illat

Qiyas ‘illat, ialah qiyas yang mempersamakan ashal dengan fara’ karena keduanya mempunyai persamaan ‘illat. Qiyas ‘illat terbagi:

1. Qiyas jali

Ialah qiyas yang ‘illatnya berdasarkan dalil yang pasti, tidak ada kemungkinan lain selain dari ‘illat yang ditunjukkan oleh dalil itu. Qiyas jali terbagi kepada:

a. Qiyas yang ‘illatnya ditunjuk dengan kata-kata, seperti memabukkan adalah ‘illat larangan minum khamr,yang disebut dengan jelas dalam nash.

b. Qiyas mulawi. Ialah qiyas yang hukum pada fara’ sebenarnya lebih utama ditetapkan dibanding dengan hukum pada ashal. Seperti haramnya hukum mengucapkan kata-kata “ah” kepada kedua orangtua berdasarkan firman Allah SWT:

* 4Ó|Ós%ur y7•/u‘ žwr& (#ÿr߉ç7÷ès? HwÎ) çn$­ƒÎ) Èûøït$Î!ºuqø9$$Î/ur $·Z»|¡ômÎ) 4 $¨BÎ) £`tóè=ö7tƒ x8y‰YÏã uŽy9Å6ø9$# !$yJèd߉tnr& ÷rr& $yJèdŸxÏ. Ÿxsù @à)s? !$yJçl°; 7e$é& Ÿwur $yJèdöpk÷]s? @è%ur $yJßg©9 Zwöqs% $VJƒÌŸ2 ÇËÌÈ

Artinya: “Maka janganlah ucapkan kata-kata “ah” kepada kedua orangtua(mu).” (al-Isrâ’: 23)

‘Illatnya ialah menyakiti hati kedua orangtua. Bagaimana hukum memukul orang tua? Dari kedua peristiwa nyatalah bahwa hati orang tua lebih sakit bila dipukul anaknya dibanding dengan ucapan “ah” yang diucapkan anaknya kepadanya. Karena itu sebenarnya hukum yang ditetapkan bagi fara’ lebih utama dibanding dengan hukum yang ditetapkan pada ashal.

c. Qiyas musawi

Ialah qiyas hukum yang ditetapkan pada fara’ sebanding dengan hukum yang ditetapkan pada ashal, seperti menjual harta anak yatim diqiyaskan kepada memakan harta anak yatim. ‘Illatnya ialah sama-sama menghabiskan harta anak yatim. Memakan harta anak yatim haram hukumnya berdasarkan firman Allah SWT:

¨bÎ) tûïÏ%©!$# tbqè=à2ù’tƒ tAºuqøBr& 4’yJ»tGuŠø9$# $¸Jù=àß $yJ¯RÎ) tbqè=à2ù’tƒ ’Îû öNÎgÏRqäÜç/ #Y‘$tR ( šcöqn=óÁu‹y™ur #ZŽÏèy™ ÇÊÉÈ

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara aniaya, ia tidak lain hanyalah menelan api neraka ke dalam perutnya.” (an-Nisâ’: 10)

Karena itu ditetapkan pulalah haram hukumnya menjual harta anak yatim. Dari kedua peristiwa ini nampak bahwa hukum yang ditetapkan pada ashal sama pantasnya dengan hukum yang ditetapkan pada fara’.

2. Qiyas khafi

Ialah qiyas yang ‘ilIatnya mungkin dijadikan ‘illat dan mungkin pula tidak dijadikan ‘illat, seperti mengqiyaskan sisa minuman burung kepada sisa minuman binatang buas. “IlIatnya ialah kedua binatang itu sama-sama minum dengan mulutnya, sehingga air liurnya bercampur dengan sisa minumannya itu. ‘IlIat ini mungkin dapat digunakan untuk sisa burung buas dan mungkin pula tidak, karena mulut burung buas berbeda dengan mulut binatang buas. Mulut burung buas terdiri dari tulang atau zat tanduk. Tulang atau zat tanduk adalah suci, sedang mulut binatang buas adalah daging, daging binatang buas adalah haram, namun kedua-duanya adalah mulut, dan sisa minuman. Yang tersembunyi di sini ialah keadaan mulut burung buas yang berupa tulang atau zat tanduk.

b. Qiyas dalalah

Qiyas dalalah ialah qiyas yang ‘illatnya tidak disebut, tetapi merupakan petunjuk yang menunjukkan adanya ‘illat untuk menetapkan sesuatu hukum dari suatu peristiwa. Seperti harta kanak-kanak yang belum baligh, apakah wajib ditunaikan zakatnya atau tidak. Para ulama yang menetapkannya wajib mengqiyaskannya kepada harta orang yang telah baligh, karena ada petunjuk yang menyatakan ‘illatnya, yaitu kedua harta itu sama-sama dapat bertambah atau berkembang. Tetapi Madzhab Hanafi, tidak mengqiyaskannya kepada orang yang telah baligh, tetapi kepada ibadah, seperti shalat, puasa dan sebagainya. Ibadah hanya diwajibkan kepada orang yang mukallaf, termasuk di dalamnya orang yang telah baligh, tetapi tidak diwajibkan kepada anak kecil (orang yang belum baligh). Karena itu anak kecil tidak wajib menunaikan zakat hartanya yang telah memenuhi syarat-syarat zakat.

c. Qiyas syibih

Qiyas syibih ialah qiyas yang fara’ dapat diqiyaskan kepada dua ashal atau lebih, tetapi diambil ashal yang lebih banyak persamaannya dengan fara’. Seperti hukum merusak budak dapat diqiyaskan kepada hukum merusak orang merdeka, karena kedua-duanya adalah manusia. Tetapi dapat pula diqiyaskan kepada harta benda, karena sama-sama merupakan hak milik. Dalam hal ini budak diqiyaskan kepada harta benda karena lebih banyak persamaannya dibanding dengan diqiyaskan kepada orang merdeka. Sebagaimana harta budak dapat diperjualbelikan, diberikan kepada orang lain, diwariskan, diwakafkan dan sebagainya.

III.  KESIMPULAN

  1. Qiyas ialah menetapkan hukum suatu kejadian atau peristiwa yang tidak ada dasar nashnya dengan cara membandingkannya kepada suatu kejadian atau peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash karena ada persamaan ‘illat antara kedua kejadian atau peristiwa itu.
  2. Dasar hukum qiyas adalah dari Al Qur’an, Hadits, Perbuatan Sahabat, dan akal.

3.      Qiyas Sebagian besar para ulama fiqh dan para pengikut madzhab yang empat sependapat bahwa qiyas dapat dijadikan salah satu dalil atau dasar hujjah dalam menetapkan hukum dalam ajaran Islam

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

  1. Bakry, Nazar, Fiqh dan Ushul Fiqh, 1996, PT. Raja Grafindo Persada.

2.      Habafie, Ushul Fiqh, 1961, Penerbit Wijaya, Jakarta.

  1. Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya,

4.      Abd. Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, 1972, DDII Pusat, Jakarta.

5.      Haki, Abdul Hamid, Al Bayan, 1955, Bukittinggi, Sumatera

 

I.   PENDAHULUAN

 

Segala puji bagi Allah SWT yang Maha Pengasih tanpa pernah pilih kasih dan Yang Maha Penyayang yang menyayangi tanpa pernah meminta imbalan dari mahluk-Nya, yang atas berkat rahmat, inayah serta hidayah-Nya lah saya sebagai penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Tak lupa shalawat serta salam semoga selalu trcurahkan kepada Nabi besar Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat, serta, umatnya yang membela risalahnya sampai akhir jaman.

Jika kita berbicara tentang ijtihad, maka sisi ra’yu (logika-logika yang benar) adalah hal yang tidak dapat dilepaskan darinya. Karena itu, dalam Ushul Fiqih –sebuah ilmu yang “mengatur” proses ijtihad- dikenallah beberapa landasan penetapan hukum yang berlandaskan pada penggunaan kemampuan ra’yu para fuqaha.

Dan salah satunya adalah istishhab yang akan dibahas dan diuraikan secara singkat dalam makalah ini. Dan saya berharap sebagai penulis makalah yang saya susun ini bisa bermanfaat bagi rekan-rekan mahasiswa, dosen, dan diri penulis sendiri pada tentunya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

II.  ISTISHHAB

A.  Definisi Istishhab

Istishhab secara bahasa adalah menyertakan, membawa serta dan tidak melepaskan sesuatu.[1] Jika seseorang mengatakan:

استصحبت الكتاب في سفري

maka itu artinya: aku membuat buku itu ikut serta bersamaku dalam perjalananku.

Adapun secara terminologi Ushul Fiqih, -sebagaimana umumnya istilah-istilah yang digunakan dalam disiplin ilmu ini- ada beberapa definisi yang disebutkan oleh para ulama Ushul Fiqih, diantaranya adalah:

1.      Definisi al-Asnawy (w. 772H) yang menyatakan bahwa “(Istishhab) adalah penetapan (keberlakukan) hukum terhadap suatu perkara di masa selanjutnya atas dasar bahwa hukum itu telah berlaku sebelumnya, karena tidak adanya suatu hal yang mengharuskan terjadinya perubahan (hukum tersebut).”[2]

2.      Sementara al-Qarafy (w. 486H) –seorang ulama Malikiyah- mendefinisikan istishhab sebagai “keyakinan bahwa keberadaan sesuatu di masa lalu dan sekarang itu berkonsekwensi bahwa ia tetap ada (eksis) sekarang atau di masa datang.”[3]

Definisi ini menunjukkan bahwa istishhab sesungguhnya adalah penetapan hukum suatu perkara –baik itu berupa hukum ataupun benda- di masa kini ataupun mendatang berdasarkan apa yang telah ditetapkan atau berlaku sebelumnya. Seperti ketika kita menetapkan bahwa si A adalah pemilik rumah atau mobil ini –entah itu melalui proses jual-beli atau pewarisan-, maka selama kita tidak  menemukan ada dalil atau bukti yang mengubah kepemilikan tersebut, kita tetap berkeyakinan dan menetapkan bahwa si A-lah pemilik rumah atau mobil tersebut hingga sekarang atau nanti. Dengan kata lain, istishhab adalah melanjutkan pemberlakuan hukum di masa sebelumnya hingga ke masa kini atau nanti.[4]

 

B.  Kedudukan Istishhab Diantara Dalil-dalil yang Lain

Banyak ulama yang menjelaskan bahwa secara hirarki ijtihad, istishhab termasuk dalil atau pegangan yang terakhir bagi seorang mujtahid setelah ia tidak menemukan dalil dari al-Qur’an, al-Sunnah, ijma’ atau qiyas. Al-Syaukany misalnya mengutip pandangan seorang ulama yang mengatakan:

Ia (istishhab) adalah putaran terakhir dalam berfatwa. Jika seorang mufti ditanya tentang suatu masalah, maka ia harus mencari hukumnya dalam al-Qur’an, kemudian al-Sunnah, lalu ijma’, kemudian qiyas. Bila ia tidak menemukan (hukumnya di sana), maka ia pun (boleh) menetapkan hukumnya dengan ‘menarik pemberlakuan hukum yang lalu di masa sekarang’ (istishhab al-hal). Jika ia ragu akan tidak berlakunya hukum itu, maka prinsip asalnya adalah bahwa hukum itu tetap berlaku…”[5]

 

C.  Perbedaan Pendapat (Ikhtilaf) Ulama dalam Kehujjiyahan Istishhab

Dalam menyikapi apakah istishhab dapat dijadikan sebagai dalil dalam proses penetapan hukum, para ulama Ushul Fiqih terbagi dalam 3 pendapat:

Pendapat pertama, bahwa istishhab adalah dalil (hujjah) dalam penetapan ataupun penafian sebuah hukum. Pendapat ini didukung oleh Jumhur ulama dari kalangan Malikiyah, Hanabilah, mayoritas ulama Syafi’iyah dan sebagian Hanafiyah.

Diantara argumentasi mereka dalam mendukung pendapat ini adalah:

1.      Firman Allah:

@è% Hw ߉É`r& ’Îû !$tB zÓÇrré& ¥’n<Î) $·B§ptèC 4’n?tã 5OÏã$sÛ ÿ¼çmßJyèôÜtƒ HwÎ) br& šcqä3tƒ ºptGøŠtB ÷rr& $YByŠ %·nqàÿó¡¨B ÷rr& zNóss9 9ƒÍ”\Åz ¼çm¯RÎ*sù ê[ô_͑ ÷rr& $¸)ó¡Ïù ¨@Ïdé& ΎötóÏ9 «!$# ¾ÏmÎ/ 4 Ç`yJsù §äÜôÊ$# uŽöxî 8ø$t/ Ÿwur 7Š$tã ¨bÎ*sù š­/u‘ ֑qàÿxî ÒO‹Ïm§‘ ÇÊÍÎÈ

 

Katakanlah (wahai Muhammad): ‘Aku tidak menemukan dalam apa yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan untuk dimakan kecuali jika adalah bangkai, atau darah yang mengalir, atau daging babi– Karena Sesungguhnya semua itu kotor – atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha penyayang”(al-An’am:145)

 

Ayat ini –menurut mereka- menunjukkan bahwa prinsip asalnya segala sesuatu itu hukumnya mubah hingga datangnya dalil yang menunjukkan pengharamannya. Hal ini ditunjukkan dengan Firman Allah: “Katakanlah (wahai Muhammad): ‘Aku tidak menemukan…” . Pernyataan ini menunjukkan bahwa ketika tidak ada ketentuan baru, maka ketentuan lama-lah yang berlaku.[6]

2.      Rasulullah saw bersabda:

Sesungguhnya syetan mendatangi salah seorang dari kalian (dalam shalatnya) lalu mengatakan: ‘Engkau telah berhadats! Engkau telah berhadats!’ Maka (jika demikian), janganlah ia meninggalkan shalatnya hingga ia mendengarkan suara atau mencium bau.” (HR. Ahmad)

Dalam hadits ini, Rasulullah saw memerintahkan kita untuk tetap memberlakukan kondisi awal kita pada saat mulai mengerjakan shalat (yaitu dalam keadaan suci) bila syetan membisikkan keraguan padanya bahwa wudhu’nya telah batal. Bahkan Rasulullah melarangnya untuk meninggalkan shalatnya hingga menemukan bukti bahwa wudhu’nya telah batal; yaitu mendengar suara atau mencium bau. Dan inilah hakikat istishhab itu.

3.      Ijma’.

Para pendukung pendapat ini menyatakan bahwa ada beberapa masalah fiqih yang telah ditetapkan melalui ijma’ atas dasar istishhab. Diantaranya adalah bahwa para ulama telah berijma’ bahwa jika seseorang ragu apakah ia sudah bersuci, maka ia tidak boleh melakukan shalat, karena dalam kondisi seperti ini ia harus merujuk pada hukum asal bahwa ia belum bersuci. Ini berbeda jika ragu apakah wudhu’nya sudah batal atau belum, maka dalam kasus ini ia harus berpegang pada keadaan sebelumnya bahwa ia telah bersuci dan kesucian itu belum batal.[7]

4.      Dalil ‘aqli.

Diantara dalil ‘aqli atau logika yang digunakan oleh pendukung pendapat ini adalah:

–         Bahwa penetapan sebuah hukum pada masa sebelumnya dan tidak adanya faktor yang menghapus hukum tersebut membuat dugaan keberlakuan hukum tersebut sangat kuat (al-zhann al-rajih). Dan dalam syariat Islam, sebuah dugaan kuat (al-zhann al-rajih) adalah hujjah, maka dengan demikian istishhab adalah hujjah pula.

–         Disamping itu, ketika hukum tersebut ditetapkan pada masa sebelumnya atas keyakinan, maka penghapusan hukum itu pun harus didasarkan atas keyakinan, berdasarkan kaidah al-yaqin la yazulu/yuzalu bi al-syakk.

 

Pendapat kedua, bahwa istishhab tidak dapat dijadikan sebagai hujjah secara mutlak, baik dalam menetapkan hukum ataupun menafikannya. Ini adalah pendapat mayoritas ulama Hanafiyah.[8]

Di antara dalil dan pegangan mereka adalah

1.      Menggunakan istishhab berarti melakukan sesuatu dengan tanpa landasan dalil. Dan setiap pengamalan yang tidak dilandasi dalil adalah batil. Maka itu berarti bahwa istishhab adalah sesuatu yang batil.

2.      Istishhab akan menyebabkan terjadinya pertentangan antara dalil, dan apapun yang menyebabkan hal itu maka ia adalah batil. Ini adalah karena jika seseorang boleh menetapkan suatu hukum atas dasar istishhab, maka yang lain pun bisa saja menetapkan hukum yang bertentangan dengan itu atas dasar istishhab pula.

 

Pendapat ketiga, bahwa istishhab adalah hujjah pada saat membantah orang yang memandang terjadinya perubahan hukum yang lalu –atau yang dikenal dengan bara’ah al-dzimmah- dan tidak dapat sebagai hujjah untuk menetapkan suatu hukum baru. Pendapat ini dipegangi oleh mayoritas ulama Hanafiyah belakangan dan sebagian Malikiyah.[9]

Dalam hal ini yang menjadi alasan mereka membedakan kedua hal ini adalah karena dalil syar’i hanya menetapkan hukum itu di masa sebelumnya, dan itu tidak bisa dijadikan sebagai landasan untuk menetapkan hukum baru di masa selanjutnya.

 

Tarjih

Dengan melihat dalil-dalil yang dipaparkan oleh ketiga pendapat ini, nampak jelas bahwa dalil pendapat pertama sebenarnya jauh lebih kuat dari dua pendapat lainnya. Istishhab adalah sesuatu yang fitrawi dalam diri manusia, yaitu bahwa jika tidak ada suatu bukti atau dalil yang mengubah hukum atau label pada sesuatu menjadi hukum lain, maka yang berlaku dalam pandangan mereka adalah tetap hukum yang pertama.

Karena itu para fuqaha pun menyepakati kaidah al-yaqin la yazulu bi al-syakk –termasuk yang mengingkari istishhab-, dan kaidah inilah yang sesungguhnya menjadi salah satu landasan kuat istishhab ini. Itulah sebabnya, para qadhi pun memberlakukan prinsip yang sama dalam keputusan peradilan mereka. Dalam hubungan suami-istri misalnya, jika tidak ada bukti bahwa hubungan itu telah putus, maka sang qadhi tetap memutuskan berlakunya hubungan itu seperti yang telah ada sebelumnya.[10]

 

D.  Jenis-jenis Istishhab

Para ulama menyebutkan banyak sekali jenis-jenis istishhab ini. Dan berikut ini akan disebutkan yang terpenting diantaranya, yaitu:

1.      Istishhab hukum asal atas sesuatu saat tidak ditemukan dalil lain yang menjelaskannya; yaitu mubah jika ia bermanfaat dan haram jika ia membawa mudharat -dengan perbedaan pendapat yang masyhur di kalangan para ulama tentangnya; yaitu apakah hukum asal sesuatu itu adalah mubah atau haram-.

Salah satu contohnya adalah jenis makanan dan minuman yang tidak ditemukan dalil yang menjelaskan hukumnya dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, atau dalil lainnya seperti ijma’ dan qiyas.[11] Untuk yang semacam ini, para ulama berbeda pendapat dalam 3 madzhab:

Pendapat pertama, bahwa hukum asal segala sesuatu adalah mubah, hingga adanya dalil yang menetapkan atau mengubahnya. Pendapat ini dipegangi oleh Jumhur Mu’tazilah, sebagian ulama Hanafiyah, Syafi’iyah dan Zhahiriyah.[12]

Dalil-dalil mereka antara lain adalah ayat-ayat al-Qur’an yang zhahirnya menunjukkan bahwa pada dasarnya segala sesuatu itu mubah, seperti:

 

uqèd “Ï%©!$# šYn=y{ Nä3s9 $¨B ’Îû ÇÚö‘F{$# $YèŠÏJy_ §NèO #“uqtGó™$# ’n<Î) Ïä!$yJ¡¡9$# £`ßg1§q|¡sù yìö7y™ ;Nºuq»yJy™ 4 uqèdur Èe@ä3Î/ >äóÓx« ×LìÎ=tæ ÇËÒÈ

Dia-lah yang menciptakan untuk kalian segala sesuatu yang ada di bumi.” (al-Baqarah:29)

Ayat ini menunjukkan bahwa semua yang ada di bumi ini untuk dimanfaatkan oleh manusia, dan hal itu tidak mungkin dimanfaatkan kecuali jika hukumnya mubah.

Juga firman-Nya:

Katakanlah (wahai Muhammad): ‘Aku tidak menemukan dalam apa yang diwahyukan padaku sesuatu yang diharamkan kepada seseorang yang memakannya kecuali jika ia berupa bangkai, darah yang mengalir, atau daging babi…” (al-An’am:145)

Ayat ini menunjukkan bahwa apa yang tidak disebutkan di dalamnya tidak diharamkan karena tidak adanya dalil yang menunjukkan itu, dan itu semuanya karena hukum asalnya adalah mubah.

 

Pendapat kedua, bahwa hukum asal sesuatu itu adalah haram, hingga ada dalil syara’ yang menetapkan atau mengubahnya. Pendapat ini dipegangi oleh sebagian Ahl al-Hadits dan Mu’tazilah Baghdad.[13]

Alasan mereka adalah karena yang berhak untuk menetapkan syariat dan hukum adalah Allah saja. Maka jika kita membolehkan sesuatu yang tidak ada nashnya, maka berarti kita telah melakukan apa yang seharusnya menjadi hak prerogatif Sang pembuat syariat tanpa seizin-Nya. Dan ini tidak dibenarkan sama sekali.

 

Pendapat ketiga, bahwa hukum asal segala sesuatu yang bermanfaat adalah mubah, sementara yang membawa mudharat adalah haram. Pendapat ini dipegangi oleh Jumhur ulama. Dan mereka menggunakan dalil pendapat yang pertama untuk menguatkan bahwa hukum asal sesuatu yang bermanfaat adalah mubah, dan dalil pendapat yang kedua untuk menegaskan bahwa hukum asal sesuatu yang membawa mudharat adalah haram.[14]

Di samping itu, untuk menegaskan sisi kedua dari pendapat ini, mereka juga berlandaskan pada hadits:

لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ

Tidak ada kemudharatan dan tidak (boleh) memberi mudharat (dalam Islam).” (HR. Ibnu Majah dan Al-Daraquthni dengan sanad yang hasan).

 

2.      Istishhab al-Bara’ah al-Ashliyah, atau bahwa hukum asalnya seseorang itu terlepas dan bebas dari beban dan tanggungan apapun, hingga datangnya dalil atau bukti yang membebankan ia untuk melakukan atau mempertanggungjawabkan sesuatu.[15]

Sebagai contoh misalnya adalah bahwa kita tidak diwajibkan untuk melakukan shalat fardhu yang keenam dalam sehari semalam –setelah menunaikan shalat lima waktu-, karena tidak adanya dalil yang membebankan hal itu.

Demikian pula -misalnya- jika ada seseorang yang menuduh bahwa orang lain berhutang padanya, sementara ia tidak bisa mendatangkan bukti terhadap tuduhan itu, maka orang yang tertuduh dalam hal ini tetap berada dalam posisi bebas dari hutang atas dasar al-Bara’ah al-Ashliyah ini.

 

3.      Istishhab hukum yang ditetapkan oleh ijma’ pada saat berhadapan dengan masalah yang masih diperselisihkan.[16]

Salah satu contohnya adalah bahwa para ulama telah berijma’ akan batalnya shalat seorang yang bertayammum karena tidak menemukan air saat ia menemukan air sebelum shalatnya.

Adapun jika ia melihat air pada saat sedang mengerjakan shalatnya; apakah shalatnya juga batal atas dasar istishhab dengan ijma’ tersebut, atau shalat tetap sah dan ia boleh tetap melanjutkannya?

Imam Abu Hanifah dan beberapa ulama lain –seperti al-Ghazaly dan Ibnu Qudamah- berpendapat bahwa dalam masalah ini istishhab dengan ijma’ terdahulu tidak dapat dijadikan landasan, karena berbedanya kondisi yang disebutkan dalam ijma’. Oleh sebab itu, ia harus berwudhu kembali.

Sementara Imam al-Syafi’i dan Abu Tsaur berpendapat bahwa istishhab ijma’ ini dapat dijadikan sebagai hujjah hingga ada dalil lain yang mengubahnya. Oleh sebab itu, shalatnya tetap sah atas dasar istishhab kondsi awalnya yaitu ketiadaan air untuk berwudhu.

 

E.  Pengaruh Istishhab dalam Persoalan-persoalan Furu’iyah

Bila ditelusuri lebih jauh ke dalam pembahasan dan kajian Fiqih Islam, maka kita akan menemukan banyak sekali persoalan-persoalan yang dibahas oleh para fuqaha yang kemudian menjadikan istishhab sebagai salah satu pijakan atau landasan mereka dalam memegangi satu madzhab atau pendapat.

Berikut ini adalah beberapa contoh persoalan furu’iyah yang termasuk dalam kategori tersebut:

Pewarisan Orang yang Hilang (al-Mafqud)

Orang yang hilang (al-mafqud) adalah orang yang menghilang dari keluarganya hingga beberapa waktu lamanya, dimana tidak ada bukti yang dapat digunakan untuk membuktikan apakah ia masih hidup atau sudah mati.

Dalam kasus ini, para ulama berbeda pendapat antara memvonis ia masih hidup sehingga peninggalannya tidak boleh dibagikan kepada ahli warisnya dan ia tetap berhak mendapatkan warisan jika ada kerabatnya yang meninggal saat kehilangannya; dan memvonis ia telah meninggal sehingga peninggalannya dapat dibagikan kepada ahli warisnya. Dalam hal ini, ada tiga pendapat di kalangan para ulama:

Pendapat pertama, bahwa ia tetap dianggap hidup –baik untuk urusan yang terkait dengan dirinya maupun yang terkait dengan orang lain-. Karena itu semua hukum yang berlaku untuk orang yang masih hidup tetap diberlakukan padanya; hartanya tidak diwariskan, istrinya tidak boleh dinikahi, dan wadi’ah yang ia titipkan pada orang lain tidak boleh diambil. Pendapat ini dipegangi oleh Imam Malik dan al-Syafi’i.[17]

Hujjah mereka adalah bahwa orang yang hilang itu sebelum ia hilang ia tetap dihukumi sebagai orang yang hidup. Karena itu hukum ini wajib diistishhabkan hingga sekarang sampai ada bukti yang mengubah hukum tersebut.

Pendapat kedua, ia dianggap hidup terkait dengan hak dirinya sendiri. Pendapat ini dilandaskan pada pandangan bahwa istishhab hanya dapat digunakan untuk mendukung hukum yang telah ada sebelumnya, tapi bukan untuk menetapkan hukum baru.[18]

Pendapat ketiga, ia dianggap hidup baik terkait dengan hak dirinya maupun hak orang lain selama 4 tahun sejak hilangnya. Jika 4 tahun telah berlalu, maka ia dianggap telah meninggal terkait dengan hak dirinya maupun hak orang lain; hartanya dibagi, ia tidak lagi mewarisi dari kerabatnya yang meninggal dan istrinya dapat dinikahi. Pendapat ini dipegangi oleh Imam Ahmad bin Hanbal.[19]

Alasan pembatasan jangka waktu 4 tahun adalah pengqiyasan kepada jika ia meninggalkan istrinya selama 4 tahun, dimana –menurut pendapat ini- jika ia meninggalkan istrinya selama itu, maka hakim dapat memisahkan keduanya dan istrinya dapat dinikahi setelah masa iddah sejak pemisahan itu berakhir.

 

Berwudhu Karena Apa yang Keluar Dari Selain “2 Jalan”

Semua ulama telah berijma’ bahwa segala sesuatu yang keluar melalui “2 jalan” (qubul dan dubur) itu membatalkan thaharah seseorang. Namun bagaimana dengan najis yang keluar tidak melalui kedua jalan tersebut? Apakah ia juga membatalkan thaharah seseorang atau tidak?

Dalam kasus ini, ada beberapa pendapat yang dipegangi oleh para ulama:

Pendapat pertama, bahwa hal itu membatalkan thaharahnya, sedikit ataupun banyaknya yang keluar. Pendapat ini dipegangi oleh Imam Malik dan al-Syafi’i.

Hujjah mereka adalah istishhab, yaitu bahwa hukum asalnya hal itu tidak membatalkan, maka ia tetap diberlakukan hingga ada dalil yang menunjukkan selain itu.[20]

Pendapat kedua, bahwa apapun yang keluar dari selain kedua jalan itu, seperti muntah jika telah memenuhi mulut, maka ia membatalkan wudhu. Pendapat ini dipegangi oleh Imam Abu Hanifah.

Pijakannya adalah beberapa hadits seperti:

Wudhu’ itu wajib untuk setiap darah yang mengalir.” (HR. Al-Daraquthni)

dan juga hadits:

Barangsiapa yang muntah atau mengeluarkan ingus dalam shalatnya, maka hendaklah ia pergi dan berwudhu lalu melanjutkan shalatnya selama ia belum berbicara.” (HR. Ibnu Majah)

Hanya saja hadits-hadits ini didhaifkan oleh sebagian ulama, sehingga mereka tidak dapat menjadikannya sebagai dalil.[21]

Pendapat ketiga, bahwa apa yang keluar dari selain kedua jalan tersebut membatalkan wudhu jika ia sesuatu yang najis dan banyak, seperti muntah atau darah yang banyak. Adapun jika ia sesuatu yang suci, maka tidak membatalkan wudhu. Pendapat ini dipegangi oleh Imam Ahmad bin Hanbal.[22]

Hujjah pendapat ini adalah apa yang diriwayatkan oleh Ma’dan bin Thalhah dari Abu al-Darda’ r.a., bahwa Nabi saw pernah muntah, lalu beliau berwudhu. Ma’dan berkata: “Aku pun menemui Tsauban di Masjid Damaskus lalu menyebutkan hal itu padanya. Maka ia pun berkata: ‘Engkau benar! Aku-lah yang menuangkan air wudhu beliau.” (HR. Al-Tirmidzy)

Landasan lainnya adalah pengamalan para shahabat Nabi akan hal itu, dan tidak ada satu pun yang mengingkari hal tersebut, maka dengan demikian ini adalah ijma’ dari mereka akan hal itu.

 

Thalaq Setelah Terjadinya Ila’

Salah satu masalah furu’iyah yang terkait dengan istishhab adalah jika seorang  seorang suami bersumpah untuk tidak mendekati istrinya (ila’), apakah thalaq yang terjadi setelah ila’ ini termasuk thalaq yang raj’i atau ba’in?

Para fuqaha berbeda pendapat menjadi 3 pendapat dalam hal  ini:

Pendapat pertama, bahwa thalaq yang terjadi adalah thalaq raj’i, baik thalaq dijatuhkan oleh sang suami ataupun oleh sang hakim. Pendapat ini dipegangi Imama Malik dan al-Syafi’i.

Landasan mereka dalam hal ini adalah bahwa hukum asalnya thalaq itu jika dijatuhkan pada sang istri yang telah digauli, dan bukan dalam khulu’ atau thalaq tiga, maka ia adalah thalaq raj’i yang memungkinkan rujuk kembali. Dan kita tidak boleh meninggalkan hukum asal ini kecuali dengan dalil, sementara dalam hal ini tidak ada dalil yang menunjukkan itu.[23]

 

Pendapat kedua, jika yang menjatuhkan thalaq adalah suami maka yang jatuh adalah thalaq raj’i, namun jika yang menjatuhkannya adalah hakim maka thalaqnya adalah ba’in. Pendapat ini dipegangi oleh Imam Ahmad bin Hanbal.

Dan mungkin yang menjadi landasan mereka adalah bahwa jika penjatuhan thalaq itu dilakukan oleh sang hakim, maka ini seperti jika hakim memutuskan suatu masalah yang diperselisihkan oleh para ulama, dimana pendapat manapun yang dipilih oleh hakim maka itulah yang berlaku.[24]

 

Pendapat ketiga, bahwa thalaq yang terjadi karena ila’ adalah menjadi thalaq ba’in secara mutlak. Pendapat ini dipegangi oleh Imam Abu Hanifah.

Landasan mereka adalah karena penjatuhan thalaq itu bertujuan untuk melepaskan sang wanita dari kemudharatan, dan itu tidak dapat terwujud hanya dengan menjatuhkan thalaq raj’i saja. Pendapat ini juga dilandasi oleh apa yang diriwayatkan dari sebagian sahabat bahwa mereka berkata: “Jika telah berlalu 4 bulan (sejak terjadinya ila’), maka sang istri tertalak dan ia lebih berhak atas dirinya sendiri.” Dalam riwayat lain: “Dan ia terthalak secara ba’in.”[25]

Demikianlah beberapa masalah furu’iyah yang dapat diangkat di sini untuk menunjukkan bagaimana pengaruh istishhab dalam perbedaan ijtihad para fuqaha.

 

 

III. KESIMPULAN

1.      Istishhab adalah penetapan hukum suatu perkara –baik itu berupa hukum ataupun benda- di masa kini ataupun mendatang berdasarkan apa yang telah ditetapkan atau berlaku sebelumnya.

2.      Banyak ulama yang menjelaskan bahwa secara hirarki ijtihad, istishhab termasuk dalil atau pegangan yang terakhir bagi seorang mujtahid setelah ia tidak menemukan dalil dari al-Qur’an, al-Sunnah, ijma’ atau qiyas.

3.      Jenis-jenis Istishhab yaitu

A. Istishhab hukum asal atas sesuatu saat tidak ditemukan dalil lain yang menjelaskannya; yaitu mubah jika ia bermanfaat dan haram jika ia membawa mudharat -dengan perbedaan pendapat yang masyhur di kalangan para ulama tentangnya; yaitu apakah hukum asal sesuatu itu adalah mubah atau haram-.

B. Istishhab al-Bara’ah al-Ashliyah, atau bahwa hukum asalnya seseorang itu terlepas dan bebas dari beban dan tanggungan apapun, hingga datangnya dalil atau bukti yang membebankan ia untuk melakukan atau mempertanggungjawabkan sesuatu.[26]

C. Istishhab hukum yang ditetapkan oleh ijma’ pada saat berhadapan dengan masalah yang masih diperselisihkan.[27]

4.      Istishhab sebenarnya dapat digunakan sebagai landasan hukum. Meskipun dalam beberapa bentuk istishhab terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Namun hal itu tidak menafikan kedudukan argumentatif istishhab dalam Fikih Islam.[28]

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

1.      Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid. Muhammad ibn Ahmad ibn Rusyd (al-Hafid). Dar al-Salam. Kairo. Cetakan pertama. 1416 H.

2.      Al-Hidayah wa Syuruhuha. Abu al-Hasan ‘Ali ibn Abi Bakr al-Marghinany. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah. Beirut. Cetakan pertama. 1418 H.

3.      Ilm Ushul al-Fiqh. ‘Abd al-Wahhab Khallaf. Dar al-Qalam. Kuwait. Cetakan keempat belas. 1401 H.

4.      Irsyad al-Fuhul ila Tahqiq al-Haq min ‘Ilm al-Ushul. Muhammad ibn ‘Ali al-Syaukany. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah. Beirut. Cetakan pertama. 1414 H.

5.      Al-Istidzkar al-Jami’ li Madzahib Fuqaha’ al-Amshar wa ‘Ulama al-Aqthar Fima Tadhammanahu al-Muwaththa’ min Ma’ani al-Ra’y wa al-Atsar. Abu ‘Umar Yusuf ibn ‘Abdillah ibn ‘Abd al-Barr al-Andalusy. Tahqiq: DR. ‘Abd al-Mu’thy Amin Qal’ajy. Dar Qutaibah. Damaskus. Cetakan Kesepuluh. 1413 H.

6.      Kasyf al-Asrar ‘an Ushul al-Bazdawy. ‘Ala al-Din ibn ‘Abd al-‘Azis ibn Ahmad al-Bukhary. Dar al-Kitab al-‘Araby. Beirut. 1394 H.

7.      Lisan al-‘Arab. Abu al-Fadhl Muhammad ibn Mukrim ibn Manzhur. Dar Shadir. Beirut. Cetakan pertama. 1410 H.

8.      Al-Majmu’ Syarah al- Muhadzdzab. Abu Zakariya Yahya ibn Syaraf al-Nawawy. Tahqiq: Muhammad Najib al-Muthi’iy. Maktabah al-Irsyad. Jeddah. T.t.

9.      Al-Mughny. ‘Abdullah ibn Ahmad ibn Qudamah. Maktabah al-Riyadh al-Haditsah. T.t.

10.  Al-Mustashfa  fi ‘Ilm al-Ushul. Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazaly. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah. Beirut. 1417 H.

11.  Nihayah al-Saul fi Syarh Minhaj al-Ushul. ‘Abd al-Rahim ibn Hasan al-Syafi’i al-Asnawy. Al-Mathba’ah al-Salafiyah. Kairo. T.t.

12.  Syarh Tanqih al-Fushul fi ‘Ilm al-Ushul. Syihab al-Din Ahmad ibn Idris al-Qarafy. Tahqiq: Thaha ‘Abd al-Ra’uf. Dar al-Fikr. Beirut. Cetakan pertama. 1393 H.

13.  Taisir al-Tahrir. Muhammad Amir Badsyah. Dar al-Fikr. Beirut. T.t.

14.  Al-Umm. Muhammad ibn Idris al-Syafi’i. Dar al-Fikr. Beirut. T.t.

15.  Ushul Fiqh. Prof. DR. H. Amir Syarifuddin. PT. Logos Wacana Ilmu. Jakarta. Cetakan ketiga. 1426 H.

16.  Ushul Fiqh al-Muyassar. DR. Sya’ban Muhammad Isma’il. Dar al-Kitab al-Jami’iy. Kairo. Cetakan pertama. 1415 H.

 

 


[1] Lih. Lisan al-Arab, term sha-hi-ba.

[2] Nihayah al-Saul, 3/131.

[3] Syarh Tanqih al-Fushul, hal. 199.

[4] Lih. Ushul al-Fiqh al-Muyassar, 2/103-104.

[5] Irsyad al-Fuhul, hal. 237.

[6] Lih. Ushul al-Fiqh al-Muyassar, 2/111.

[7] Ibid, 2/112.

[8] Lih. Taisir al-Tahrir, 4/176.

[9] Lih. Kasyf al-Asrar, 3/390, Irsyad al-Fuhul, 238.

[10] Lih. ‘Ilm Ushul al-Fiqh, hal. 152-152,  Ushul al-Fiqh al-Muyassar, 2/116.

[11] Lih. Ushul al-Fiqh al-Muyassar, 2/105.

[12] Lih. Kasysf al-Asrar, 2/317, Al-Mushtashfa, 3/132

[13] Ibid.

[14] Lih. Ushul al-Fiqh al-Muyassar, 2/107.

[15] Ibid, 2/108.

[16] Ibid, 2/109.

[17] Lih. al-Istidzkar, 21/233, al-Umm, 4/4.

[18] Lih. Ushul al-Fiqh al-Muyassar, 2/118.

[19] Lih. al-Mughni, 6/389.

[20] Lih. al-Majmu’, 3/58.

[21] Lih. Faidh al-Qadir, 5/374, sebagaimana dalam Ushul al-Fiqh al-Muyassar, 2/119.

[22] Lih. al-Mughni, 1/135-136.

[23] Lih. Bidayah al-Mujtahid, 2/101, al-Umm, 5/275.

[24] Lih. Al-Mughni, 7/563.

[25] Lih. Al-Hidayah wa Syuruhiha, 3/18

[26] Ibid, 2/108.

[27] Ibid, 2/109.

[28] Lih. Juga Ushul Fiqh, 2/352.

I. PENDAHULUAN

Segala puji bagi Allah SWT yang Maha Pengasih tanpa pernah pilih kasih dan Yang Maha Penyayang yang menyayangi tanpa pernah meminta imbalan dari mahluk-Nya, yang atas berkat rahmat, inayah serta hidayah-Nya lah kami sebagai penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Tak lupa shalawat serta salam semoga selalu trcurahkan kepada Nabi besar Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat, serta, umatnya yang membela risalahnya sampai akhir jaman.

Dinamika hukum Islam dibentuk  oleh  adanya  interaksi  antara wahyu dan rasio. Itulah yang berkembang menjadi ijtihad; upaya ilmiah menggali dan menemukan hukum bagi  hal-hal  yang  tidak ditetapkan  hukumnya  secara  tersurat (manshus) dalam syariah (al-kitab wa sunnah).  Dengan  demikian,  sumber  hukum  Islam terdiri  atas:  al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan akal. Selain dari sumber   hukum   primer   tersebut,   dikenal   juga    adanya sumber-sumber   sekunder  (al-mashadir  al-tab’iyyah),  yaitu: syariah terdahulu (syar’ man qablana). Pendapat  sahabat  Nabi

(qaul al-shahabi), kebiasaan/adat-istiadat (al’urf), Istihsan, Istishlah dan Istishhab.

Pada kesempatan kali ini saya sebagai penulis mencoba menjelaskan tentang konsep-konsep istihsan, istislah, dan maslahat al ammah sesuai dengan kaidah Islam  dan disertai dengan penalaran logis.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

II. KONSEP-KONSEP ISTIHSAN, ISTISHLAH DAN

MASHLAHAT AL-AMMAH

 

A.  ISTIHSAN

Pada saat-saat awal terbentuknya pemikiran  hukum  Islam  yang metodis  (ilmu  fiqh),  dikenal  adanya  dua kubu pengembangan pemikiran hukum Islam; yaitu kubu Irak dan kubu  Hijaz.  Tokoh utama  kubu  Irak ialah Imam Abu Hanifah, dan tokoh utama kubu Hijaz adalah Imam Malik. Biasanya para  ulama  pendukung  kubu Irak  dikenal  sebagai  ahl  al-ra’y, dan para ulama pendukung kubu Hijaz dikenal sebagai ahl al-hadits.

Ahl  al-ra’y  sesuai  dengan  situasi   lingkungannya,   dalam pengembangan  pemikiran  hukumnya  (metoda  ijtihadnya) volume penggunaan rasio lebih besar  dari  volume  penggunaan  hadist (sebagai  salah  satu  sumber  syari’ah).  Ini  tidak berarti, mereka tidak mengakui keabsahan hadist itu, atau  sama  sekali

tidak  menggunakan sumber hukum itu. Tapi penggunaannya sangat Terbatas.

Di pihak lain  kita  dapat  mengamati,  ahl  al-hadits  sesuai Dengan   situasi   lingkungannya,  mereka  dalam  pengembangan pemikiran hukum (metode ijtihadnya) volume  penggunaan  sumber hukum  hadits  lebih besar dari volume penggunaan sumber rasio (dalam  hal  ini  qias).  Ini  tidak  berarti  mereka  menolak

penggunaan  sumber  rasio  itu.  Kedua  kubu tersebut mengakui keabsahan sumber hukum qias.

Ahl al-ra’y  yang  volume  penggunaan  rasionya  lebih  besar, ternyata  tidak  saja  menggunakan  qias yang merupakan bentuk penggunaan rasio  dengan  cara  analogis  ilmiah  ketat,  tapi mereka  juga  menggunakan analogi yang longgar dan lebih luas. Dalam hubungan inilah lahir konsep Istihsan.

Istilah “Istihsan” sebagai technische-term banyak  beredar  di kalangan  tokoh-tokoh  (ulama)  dari  aliran  pemikiran  hukum (mazhab) Hanafiyah. Mereka  menggunakannya  secara  tersendiri atau menyebutnya berdampingan dengan kata/istilah qias. Mereka sering mengatakan, hukum  dalam  masalah  ini  bersumber  dari Istihsan.

Dengan kata lain mereka mengatakan, dalam masalah ini, menurut qias hukumnya begini, dan menurut  Istihsan  hukumnya  begini. Kita menggunakan qias dalam masalah ini, atau kita menggunakan istihsan dalam masalah ini. Sepanjang  penelitian  guru  besar ilmu-ilmu  Syari’ah  pada  Fakultas  Hukum  Universitas Kairo, Syekh Muhammad Zakariya al-Bardisi,  mereka  yang  menggunakan Istihsan sebagai sumber hukum tidak mempunyai kesepakatan atas suatu definisi tentang Istihsan  itu,  bahkan  kita  menemukan dari  mereka beberapa definisi yang kontradiktif, di antaranya adalah:

Istihsan itu, ialah peralihan dari hasil sesuatu  qias  kepada qias  yang  lain  yang lebih kuat. Menurut al-Bardisi definisi ini tidak mencakup (ghair jami’), karena tidak dapat menampung Istihsan  yang  ditegakkan  di  luar  landasan  qias,  seperti

Istihsan yang ditegakkan di atas landasan nas, atau ijma’ atau dharurah.

Definisi  yang  lain, menyebutkan Istihsan itu suatu qias yang lebih   dalam   (khafi),   tidak   segera   dapat   ditangkap, dibandingkan  dengan  qias  yang  jelas  (jali).  Definisi ini menurutnya, bukan saja  tidak  mencakup,  tapi  apa  yang  dia maksud dengan qias di sini tidak begitu jelas, apakah itu qias dalam arti technische-term, atau dalam arti yang mencakup qias yang  lebih  luas  yang  dikaitkan dengan suatu ketentuan umum atau suatu kaidah-kaidah hukum yang baku.

Sebagian lagi memberikan definisi, istihsan  itu  ialah  semua ketentuan  syar’i  (baik  yang bersifat nash, atau ijma’, atau dharurah, atau qias yang lebih dalam) dibandingkan dengan qias yang  jelas.  Definisi ini pun belum mencakup, karena ada juga istihsan yang ditegakkan atas landasan ‘urf atau mashlahah

Secara harfiah  Istihsan  itu  berarti  menganggap  baik  akan sesuatu  baik  itu  fisik  maupun  nilai.  Kata  ini  kemudian digunakan  sebagai  suatu   technische-term   yang   membentuk pengertian  baru  menggambarkan  suatu  konsep penalaran dalam

rangka penggunaan rasio secara lebih luas untuk  menggali  dan menemukan  hukum  sesuatu kejadian yang tidak ditetapkan hukum dari sumber syari’ah yang tersurat,  atau  sumber  hukum  yang dipersamakan  dengan  itu,  yakni  kesepakatan  para ahli yang berwenang (ahl al-ijtihad) di kalangan umat Islam.

Dalam analogi qias, dibutuhkan adanya  suatu  ketentuan  pokok yang  bersifat  terinci  (tafshili)  untuk  dijadikan landasan mengaitkan sesuatu yang ada persamaannya, dalam hal tujuan dan sasaran   ditetapkannya   ketentuan   tersebut.  Dalam  bahasa tekniknya  harus  ada  ashl  dan  harus  ada   ‘illah,   untuk menghasilkan suatu hukum bagi kejadian baru.

Dari uraian ini dapat ditangkap, ada empat elemen dari analogi qias itu, yakni ketentuan  pokok  (ashl),  landasan  penyamaan (‘illah),  kejadian baru (far), ketentuan yang dihasilkan dari pengaitan (ilhaq) tersebut di atas  dan  inilah  yang  disebut

hukum  qias.  Sebagian  ahl  al-ijtihad  menganggap  qias  ini merupakan  upaya   final   dalam   penggalian   dan   penemuan hukum-hukum dari sumber syari’ah atau sumber yang dipersamakan (ijma’), tapi sebagian yang lain beranggapan, masih ada  upaya penalaran   yang   lain  seperti  Istihsan  dan  istislah  dan

seterusnya.

Analogi Istihsan tidak terikat  pada  keketatan  analogi  qias karena  dimungkinkan  adanya qias alternatif (qias kahfi) yang terlepas dari elemen ‘illah (dalam analogi qias  biasa),  atas pertimbangan  sesuatu  alasan  yang  lebih kuat. Alasan itulah menjadikan qias  jali  (biasa)  dialihkan  kepada  qias  khafi

(alternatif)  dan  hasilnya  disebut  Istihsan.  Termasuk pula dalam kategori Istihsan, pengecualian  masalah  tertentu  dari suatu  ketentuan  pokok  yang  bersifat  umum, atau dari suatu kaidah hukum, karena  pengecualian  itu  didukung  oleh  suatu

nash,  atau  ijma’,  atau  ‘urf atau dharurah, atau mashlahah. Dengan kata  lain  pertimbangan  adanya  ketentuan  lain  atau kesepakatan,  atau  kebiasaan, atau keadaan darurat atau suatu kepentingan nyata, semua  itu  merupakan  elemen-elemen  dalam hukum Istihsan.

Dalam   perkembangan   pemikiran  hukum  Islam,  Istihsan  ini ditempatkan  sebagai  sumber  hukum  sekunder,   di   kalangan penganut  aliran pemikiran hukum (madzhab) Hanafiyah. Kemudian berkembang pula secara terbatas  dalam  aliran  Malikiyah  dan Hambaliyah,  sekalipun  dengan  istilah-istilah  yang berbeda. Yang dicatat sebagai seorang tokoh  yang  menolak  menempatkan Istihsan  itu sebagai suatu sumber hukum sekunder, adalah Imam Syafi’i, karena beliau berpendapat, kaidah-kaidah interpretasi atas   ketentuan-ketentuan  syari’ah  (al-Qur’an  dan  Sunnah) ditambah dengan analogi qias,  sudah  cukup,  untuk  menampung segala  perkembangan  yang  terjadi,  yang  perlu ditata dalam hukum Islam.

 

B.   ISTISHLAH

Istishlah merupakan suatu konsep dalam pemikiran  hukum  Islam yang menjadikan mashlahah (kepentingan/kebutuhan manusia) yang sifatnya tidak terikat (mursalah) menjadi suatu  sumber  hukum sekunder.  Karenanya  juga  konsep  ini  lebih  dikenal dengan sebutan, al-mashlah al-mursalah atau al-mashalih  al-mursalah.

Konsep   penalaran   ini  bermula  dikembangkan  dalam  aliran pemikiran hukum Islam (madzhab)  Malikiyah.  Tapi  dapat  kita catat,  pada hakekatnya konsep ini telah dikenal dan digunakan oleh angkatan pertama ahl al-ijtihad di kalangan  sahabat  dan tabi’in.  Dan  ternyata  kemudian  diambil alih juga oleh Imam al-Ghazali   dari   aliran    Syafi’iyah    dengan    beberapa penyempurnaan.  Tapi  perlu  dicatat,  konsep ini ditolak oleh aliran Zhahiriyyah dan Syi’ah.

Landasan pemikiran yang membentuk konsep ini ialah,  kenyataan bahwa,  syari’ah  Islam dalam berbagai pengaturan dan hukumnya mengarah  kepada  terwujudnya  mashlahah  (apa  yang   menjadi kepentingan dan apa yang dibutuhkan manusia dalam kehidupannya di  permukaan  bumi).  Maka  tidak  dituntut  untuk  dilakukan manusia  untuk kepentingan hidupnya, dan manusia tidak dicegah

melakukan  sesuatu,  kecuali  hal-hal   yang   pada   galibnya membahayakan dan memelaratkan hidupnya. Maka, upaya mewujudkan mashlahah dan mencegah mafsadah (hal-hal yang merusak)  adalah sesuatu  yang  sangat  nyata dibutuhkan setiap orang dan jelas dalam syari’ah yang diturunkan Allah kepada  semua  rasul-Nya. Dan itulah sasaran utama dari hukum Islam.

Dalam kajian para ahl-ijtihad ada tiga jenis mashlahah, yaitu:

1.Mashlahah yang diakui ajaran syari’ah, yang terdiri dari tiga tingkat kebutuhan manusia, yaitu:

1.1.Dharuriyyah (bersifat mutlak) karena menyangkut komponen kehidupannya sendiri sebagai manusia, yakni hal-hal yang menyangkut terpelihara dirinya (jiwa, raga dan kehormatannya) akal pikirannya, harta bendanya, nasab keturunannya dan kepercayaan keagamaannya. Kelima tersebut biasanya disebut al-kulliyyat al-khams atau al-dharuriyyat al-khams, yang menjadi dasar mashlahah (kepentingan dan kebutuhan manusia).

 

1.2.Hajiyyah (kebutuhan pokok) untuk menghindarkan kesulitan dan kemelaratan dalam kehidupannya.

 

1.3.Tahsiniyyah (kebutuhan pelengkap) dalam rangka memelihara sopan santun dan tata krama dalam kehidupan.

 

2.Mashlahah yang tidak diakui ajaran syari’ah, yaitu kepentingan yang bertentangan dengan maslahah yang diakui terutama pada tingkat pertama.

3.Mashlahah yang tidak terikat pada jenis pertama dan kedua. Penempatan masalah ini sebagai suatu  sumber  hukum  sekunder, menjadikan  hukum  Islam  itu  luwes dan dapat diterapkan pada setiap kurun waktu di segala lingkungan  sosial.  Namun  perlu dicatat  ruang  lingkup  penerapan  hukum mashlahah ini adalah bidang mu’amalat, dan tidak menjangkau bidang  ibadat,  karena ibadat itu adalah hak prerogatif Allah sendiri.

Para  ahli  yang  mendukung konsep penalaran ini mencatat tiga persyaratan dalam penerapan hukum mashlahah ini, yaitu,

1. Mashlahah itu harus bersifat pasti, bukan sekadar anggapan atau rekaan, bahwa ia memang mewujudkan suatu manfaat atau mencegah terjadinya madharrah (bahaya atau kemelaratan).

2. Mashlahah itu tidak merupakan kepentingan pribadi atau segolongan kecil masyarakat, tapi harus bersifat umum dan menjadi kebutuhan umum.

3. Hasil penalaran mashlahah itu tidak berujung pada terabaikannya sesuatu prinsip yang ditetapkan oleh nash syari’ah atau ketetapan yang dipersamakan (ijma’).

 

C.  AL-MASHLAHAH AL-‘AMMAH

Hukum Islam mengenal mashlahah ‘ainiyah (kepentingan perorang) dari  setiap  manusia, yang sifatnya umum yakni yang merupakan kepentingan  setiap  manusia  dalam  hidupnya,  seperti   yang digambarkan   dalam   uraian  terdahulu  tentang  al-kulliyyat al-khams. Hal-hal ini terkait  dengan  taklif  yang  berbentuk

fardhu  ‘ain. Seperti misalnya yang menyangkut mashlahah harta benda/kepentingan seorang manusia memiliki harta benda  (untuk makan,  pakaian  dan  tempat  tinggalnya) hal ini bersangkutan dengan fardhu ‘ain yang dijelaskan dalam  tuntunan  Rasulullah saw  (thalab-u  ‘l-halal  faridhatun  ‘ala kulli muslim) yaitu kewajiban bekerja mencari rizki  memenuhi  kebutuhan  hidupnya sehari-hari.   Seterusnya   yang   menyangkut  mashlahah  akal pikiran, bersangkutan dengan fardhu ‘ain yang dijelaskan dalam hadits  lain  yang  berbunyi (thalb-u ‘l-‘ilmi faridhatun ‘ala

kulli muslim). Begitu  seterusnya  menyangkut  tiap  mashlahah yang sifatnya dharuriyyah, jelas memperlihatkan keterkaitannya dengan kewajiban perorangan sebagai imbalan  adanya  pengakuan atas  mashlahah  dharuriyyah  yang  menimbulkan hak-hak mutlak perorangan bagi setiap manusia.

Di samping  mashlahah  tersebut  di  atas,  hukum  Islam  juga mengenal  mashlahah  ‘ammah  yang  menjadi kepentingan bersama masyarakat  atau  kepentingan  umum  (algemeen   blang).   Ini menyangkut hak publik dan berkaitan dengan fardhu kifayah.

Imam  Rafi’i menjelaskan,fardhu kifayah itu adalah urusan umum yang menyangkut  kepentingan-kepentingan  (mashalih)  tegaknya urusan  agama  dan  dunia  dalam  kehidupan kita, di antaranya adalah  mencegah  kemelaratan  orang  banyak  (kaum   Muslim), menciptakan  lapangan  kerja untuk mewujudkan mata pencaharian bagi anggota-anggota  masyarakat,  menegakkan  kontrol  sosial melalui  amar  ma’ruf  nahi  mungkar,  mencerdaskan  kehidupan masyarakat melalui pendidikan, bimbingan keagamaan (fatwa) dan penyebaran buku-buku.

 

III.  KESIMPULAN

1.      Istihsan itu, ialah peralihan dari hasil sesuatu  qias  kepada qias  yang  lain  yang lebih kuat. Menurut al-Bardisi definisi ini tidak mencakup (ghair jami’), karena tidak dapat menampung Istihsan  yang  ditegakkan  di  luar  landasan  qias,  seperti

2.      Istihsan yang ditegakkan di atas landasan nas, atau ijma’ atau dharurah. Istishlah merupakan suatu konsep dalam pemikiran  hukum  Islam yang menjadikan mashlahah (kepentingan/kebutuhan manusia) yang sifatnya tidak terikat (mursalah) menjadi suatu  sumber  hukum sekunder

3.      Maslahat al ammah adalah urusan umum yang menyangkut  kepentingan-kepentingan  (mashalih)  tegaknya urusan  agama  dan  dunia  dalam  kehidupan kita, di antaranya adalah  mencegah  kemelaratan  orang  banyak  (kaum   Muslim), menciptakan  lapangan  kerja untuk mewujudkan mata pencaharian bagi anggota-anggota  masyarakat,  menegakkan  kontrol  sosial melalui  amar  ma’ruf  nahi  mungkar,  mencerdaskan  kehidupan masyarakat melalui pendidikan, bimbingan keagamaan (fatwa) dan penyebaran buku-buku.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR KEPUSTAKAAN

 

1. Imam al-Ghazali, Al-Mustashfa.

 

2. Imam al-Syathibi, Al-Muwafaqat.

 

3. Imam al Syafi’i, Al-Umm.

 

4. Imam Suyuthi, Al-Asybah wa ‘l-Nazhair:

 

5. Al-Mahmashani, Hikmatuttasyri’wa Falsafatih.

 

6. M. Sallam Madkur, Madkhal al-Fiqh al-Islami.

 

7.  WWW.ISNET.COM

 

 

BAB I.   PENDAHULUAN

Segala puji bagi Allah SWT yang Maha Pengasih tanpa pernah pilih kasih dan Yang Maha Penyayang yang menyayangi tanpa pernah meminta imbalan dari mahluk-Nya, yang atas berkat rahmat, inayah serta hidayah-Nya lah kami sebagai penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Tak lupa shalawat serta salam semoga selalu trcurahkan kepada Nabi besar Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat, serta, umatnya yang membela risalahnya sampai akhir jaman.

Ushul Fiqh adalah Ilmu tentang kaidah-kaidah (aturan-atura/ketentuan-ketentuan) dan pembahasan-pemhahasan yang dijadikan sarana untuk memperoleh hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci. Ushul Fiqh ini diperlukan oleh para ahli fiqh untuk mengetahui bagaimana latar belakang (ashal) dalam menentukan suatu hukum (fiqh).

Dari paparan diatas kami sebagai penulis ingin sedikit memaparkan apa definisi, sejarah, objek kajian dan kegunaan Ushul Fiqh dari para ahli Ushul Fiqh, sehingga kita bisa mengetahui hakekat dari hukum syar’ie itu sendiri.

 

BAB II.  USHUL FIQH

A.  Pengertian Ushul Fiqh

Pengertian Ushul Fiqh dapat dilihat sebagai rangkaian dari dua buah kata, yaitu : kata Ushul dan kata Fiqh; dan dapat dilihat pula sebagai nama satu bidang ilmu dari ilmu-ilmu Syari’ah.

Dilihat dari tata bahasa (Arab), rangkaian kata Ushul dan kata Fiqh tersebut dinamakan dengan tarkib idlafah, sehingga dari rangkaian dua buah kata itu memberi pengertian ushul bagi fiqh.

Kata Ushul adalah bentuk jamak dari kata ashl yang menurut bahasa, berarti sesuatu yang dijadikan dasar bagi yang lain. Berdasarkan pengertian Ushul menurut bahasa tersebut, maka Ushul Fiqh berarti sesuatu yang dijadikan dasar bagi fiqh.

Sedangkan menurut istilah, ashl dapat berarti dalil, seperti dalam ungkapan yang dicontohkan oleh Abu Hamid Hakim : “Ashl bagi diwajibkan zakat, yaitu Al-Kitab; Allah Ta’ala berfirman: “…dan tunaikanlah zakat!.” Dan dapat pula berarti kaidah kulliyah yaitu aturan/ketentuan umum.

Dengan melihat pengertian ashl menurut istilah di atas, dapat diketahui bahwa Ushul Fiqh sebagai rangkaian dari dua kata, berarti dalil-dalil bagi fiqh dan aturan-aturan/ketentuan-ketentuan umum bagi fiqh.

Fiqh itu sendiri menurut bahasa, berarti paham atau tahu. Sedangkan menurut istilah, sebagaimana dikemukakan oleh Sayyid al-Jurjaniy, pengertian fiqh yaitu “Ilmu tentang hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci.”

Atau seperti dikatakan oleh Abdul Wahab Khallaf, yakni: “Kumpulan hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci”.

Yang dimaksud dengan dalil-dalilnya yang terperinci, ialah bahwa satu persatu dalil menunjuk kepada suatu hukum tertentu, seperti firman Allah menunjukkan kepada kewajiban shalat.

Dengan penjelasan pengertian fiqh di atas, maka pengertian Ushul Fiqh sebagai rangkaian dari dua buah kata, yaitu dalil-dalil bagi hukum syara’ mengenai perbuatan dan aturan-aturan/ketentuan-ketentuan umum bagi pengambilan hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci.

Tidak lepas dari kandungan pengertian Ushul Fiqh sebagai rangkaian dari dua buah kata tersebut, para ulama ahli Ushul Fiqh memberi pengertian sebagai nama satu bidang ilmu dari ilmu-ilmu syari’ah. Misalnya Abdul Wahhab Khallaf memberi pengertian Ilmu Ushul Fiqh dengan : “Ilmu tentang kaidah-kaidah (aturan-atura/ketentuan-ketentuan) dan pembahasan-pemhahasan yang dijadikan sarana untuk memperoleh hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci.”

pengertian Ilmu Ushul Fiqh yang dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahrah sebagai berikut : “Ilmu tentang kaidah-kaidah yang menggariskan jalan-jalan utuk memperoleh hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan dan dalil-dalilnya yang terperinci.”

B.  Sejarah Pertumbuhan Ilmu Ushul Fiqh

Ilmu Ushul Fiqh adalah kaidah-kaidah yang digunakan dalam usaha untuk memperoleh hukum-hukum syara’ tentang perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci.Dan usaha untuk memperoleh hukum-hukum tersebut, antara lain dilakukan dengan jalan ijtihad.  

Sumber hukum pada masa Rasulullah SAW hanyalah Al-Qur’an dan As-Sunnah (Al-Hadits). Dalam pada itu kita temui diantara sunnah-sunnahnya ada yang memberi kesan bahwa beliau melakukan ijtihad. Misalnya, beliau melakukan qiyas terhadap peristiwa yang dialami oleh Umar Bin Khattab RA, sebagai berikut.

“Wahai Rasulullah, hari ini saya telah berbuat suatu perkara yang besar; saya mencium isteri saya, padahal saya sedang berpuasa. Maka Rasulullah SAW bersabda kepadanya : Bagaimana pendapatmu, seandainya kamu berkumur-kumur dengan air dikala kamu sedang berpuasa? Lalu saya jawab: tidak apa-apa dengan yang demikian itu. Kemudian Rasulullah SAW bersabda : Maka tetaplah kamu berpuasa!” (I’lamul Muwaqqi’in, Juz: I, hal: 199).

Pada hadits di atas Rasulullah SAW menetapkan tidak batal puasa seseorang karena mencium isterinya dengan mengqiyaskan kepada tidak batal puasa seseorang karena berkumur-kumur.

Juga seperti hadits Rasulullah SAW :

“Seandainya tidak akan memberatkan terhadap umatku, niscaya kuperintahkan kepada mereka bersiwak (bersikat gigi) setiap akan melakukan shalat.” (HR. Abu Daud dari Zaid Bin Khalid al-Juhanni).

Diterangkan oleh Muhammad Ali as-Sayis, bahwa hadits tersebut menunjukkan kepada kita adanya pilihan Rasulullah SAW terhadap salah satu urusan, karena untuk menjaga kemaslahatan umatnya. Seandainya beliau tidak diperbolehkan melakukan ijtihad, hal itu tidak akan terjadi. Dalam pada itu, dari penelitian sebagian ulama terhadap berbagai peristiwa hidup Rasulullah SAW, berkesimpulan bahwa beliau bisa melakukan ijtihad dan memberi fatwa berdasarkan pendapatnya pribadi tanpa wahyu, terutama dalam hal-hal yang tidak berhubungan langsung dengan persoalan hukum. Kesimpulan tersebut, sesuai dengan sabda beliau sendiri :

“Sungguh saya memberi keputusan diantara kamu tidak lain dengan pendapatku dalam hal tidak diturunkan (wahyu) kepadaku.” (HR. Abu Daud dan Ummi Salamah).

Rasulullah SAW adalah seorang manusia juga sebagaimana manusia yang lain pada umumnya maka hasil ijtihadnya bisa benar dan bisa salah, sebagaimana diterangkan dalam sebuah riwayat, beliau bersabda :

“Saya tidak lain adalah seorang manusia juga, maka segala yang saya katakan kepadamu yang berasal dari Allah adalah benar; dan segala yang saya katakan dari diri saya sendiri, karena tidak lain saya juga seorang manusia, bisa salah bisa benar.” (Ijtihad Rasul, hal: 52-53).

Hanya saja jika hasil ijtihad beliau itu salah, Allah menurunkan wahyu yang tidak membenarkan hasil ijtihad beliau dan menunjukkan kepada yang benar.

Sebagai contoh hasil ijtihad beliau tentang tindakan yang diambil terhadap tawanan perang Badar. Dalam hal ini beliau menanyakan terlebih dahulu kepada para sahabatnya. Menurut Abu Bakar agar mereka (para tawanan perang Badar) dibebaskan dengan membayar tebusan. Sedangkan menurut Umar bin Khattab, mereka harus dibunuh, karena mereka telah mendustakan dan mengusir Rasulullah SAW dari Makkah. Dari dua pendapat tersebut, beliau memilih pendapat Abu Bakar. Kemudian turun ayat Al-Qur’an yang tidak membenarkan pilihan beliau tersebut dan menunjukkan kepada yang benar, yakni:

$tB šc%x. @cÓÉ<oYÏ9 br& tbqä3tƒ ÿ¼ã&s! 3“uŽó r& 4Ó®Lym šÆς÷Wム’Îû ÇÚö‘F{$# 4 šcr߉ƒÌè? uÚttã $u‹÷R‘‰9$# ª!$#ur ߉ƒÌãƒ notÅzFy$# 3 ª!$#ur ͕tã ÒOŠÅ3ym ÇÏÐÈ

Artinya : “Tidak patut, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawiyah sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). Dan Allah Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.” (Al-Anfaal: 67).

Jika terhadap hasil ijtihad Rasulullah SAW tersebut, tidak diturunkan wahyu yang tidak membenarkan dan menunjukkan kepada yang benar, berarti hasil ijtihad beliau itu benar, dan sudah barang tentu termasuk ke dalam kandungan pengertian As-Sunnah (Al-Hadits).

Kegiatan ijtihad pada masa ini, bukan saja dilakukan oleh beliau sendiri, melainkan beliau juga memberi ijin kepada para sahabatnya untuk melakukan ijtihad dalam memutuskan suatu perkara atau dalam menghadapi suatu persoalan yang belum ada ketentuan hukumnya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, sebagaimana yang terjadi ketika beliau mengutus Mu’adz bin Jabal ke Yaman, yang diterangkan dalam hadits sebagai berikut :

“(Rasulullah SAW bertanya) : Bagaimana cara kamu memutusi jika datang kepadamu suatu perkara? Ia menjawab : Saya putusi dengan (hukum) yang terdapat dalam kitab Allah. Beliau bertanya : Jika tidak kamu dapati (hukum itu) dalam kitah Allah? Ia menjawab : Maka dengan Sunnah Rasulullah. Beliau bertanya : Jika tidak kamu dapati dalam Sunnah Rasulullah juga dalam kitab Allah? Ia menjawab : Saya akan berijtihad dengan pikiran dan saya tidak akan lengah. Kemudian Rasulullah SAW menepuk dadanya dan bersabda : Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufik kepada utusan Rasulullah SAW yang diridlai oleh Rasulullah.” (HR. Abu Daud).

Sebagai contoh ijtihad yang dilakukan oleh sahabat, yakni ijtihad yang dilakukan oleh ‘Amar bin Yasir, sebagai berikut :

“Saya telah berjunub dan tidak mendapatkan air. Maka saya berguling-guling pada debu kemudian saya mengerjakan shalat. Lalu hal itu, saya sampaikan kepada Nabi SAW. Maka beliau bersabda : Sesungguhnya cukup kamu melakukan begini : Nabi menepuk tanah dengan dua telapak tangannya kemudian meniupnya, lalu menyapukannya ke wajahnya dan dua telapak tanganya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Pada hadits di atas, ‘Ammar bin Yasir mengqiyaskan debu dan air untuk mandi dalam menghilangkan junubnya, sehingga ia dalam menghilangkan junub karena tidak mendapatkan air itu, dilakukan dengan berguling-guling di atas debu. Namun hasil ijtihadnya ini tidak dibenarkan oleh Rasulullah SAW.

Hasil ijtihad para sahabat tidak dapat dijadikan sumber hukum atau tidak mempunyai kekuatan hukum yang dapat dipedomani oleh kaum muslimin, kecuali jika hasil ijtihadnya telah mendapat pengesahan atau pengakuan dari Rasulullah SAW dan tidak diturunkan wahyu yang tidak membenarkannya.

Dari uraian di atas dapat dipetik arti bahwa ijtihad baik yang dilakukan oleh Rasulullah SAW maupun oleh para sahabatnya pada masa ini tidak merupakan sumber hukum, karena keberadaan atau berlakunya hasil ijtihad kembali kepada wahyu.

Akan tetapi dengan adanya kegiatan ijtihad yang terjadi pada masa ini, mempunyai hikmah yang besar, karena hal itu merupakan petunjuk bagi para sahabat dan para ulama dari generasi selanjutnya untuk berijtihad pada masa-masanya dalam menghadapi berbagai persoalan baru yang tidak terjadi pada masa Rasulullah SAW atau yang tidak didapati ketetapan hukumnya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Memang, semenjak masa sahabat telah timbul persoalan-persoalan baru yang menuntut ketetapan hukumnya. Untuk itu para sahabat berijtihad, mencari ketetapan hukumnya. Setelah wafat Rasulullah SAW sudah barang tentu berlakunya hasil ijtihad para sahabat pada masa ini, tidak lagi disahkan oleh Rasulullah SAW, sehingga dengan demikian semenjak masa sahabat ijtihad sudah merupakan sumber hukum.

Sebagai contoh hasil ijtihad para sahabat, yaitu : Umar bin Khattab RA tidak menjatuhkan hukuman potong tangan kepada seseorang yang mencuri karena kelaparan (darurat/terpaksa). Dan Ali bin Abi Thalib berpendapat bahwa wanita yang suaminya meninggal dunia dan belum dicampuri serta belum ditentukan maharnya, hanya berhak mendapatkan mut’ah. Ali menyamakan kedudukan wanita tersebut dengan wanita yang telah dicerai oleh suaminya dan belum dicampuri serta belum ditentukan maharnya, yang oleh syara’ ditetapkan hak mut’ah baginya, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah :

žw yy$uZã_ ö/ä3ø‹n=tæ bÎ) ãLäêø)¯=sÛ uä!$|¡ÏiY9$# $tB öNs9 £`èdq¡yJs? ÷rr& (#qàÊ̍øÿs? £`ßgs9 ZpŸÒƒÌsù 4 £`èdqãèÏnFtBur ’n?tã ÆìřqçRùQ$# ¼çnâ‘y‰s% ’n?tãur ΎÏIø)ßJø9$# ¼çnâ‘y‰s% $Jè»tGtB Å$râ÷êyJø9$$Î/ ( $ˆ)ym ’n?tã tûüÏZÅ¡ósçRùQ$# ÇËÌÏÈ

Artinya : “Tidak ada sesuatupun (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu memberikan mut’ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Al-Baqarah : 236).

Dari contoh-contoh ijtihad yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, demikian pula oleh para sahabatnya baik di kala Rasulullah SAW masih hidup atau setelah beliau wafat, tampak adanya cara-cara yang digunakannya, sekalipun tidak dikemukakan dan tidak disusun kaidah-kaidah (aturan-aturan)nya ; sebagaimana yang kita kenal dalam Ilmu Ushul Fiqh ; karena pada masa Rasulullah SAW, demikian pula pada masa sahabatnya, tidak dibutuhkan adanya kaidah-kaidah dalam berijtihad dengan kata lain pada masa Rasulullah SAW dan pada masa sahabat telah terjadi praktek berijtihad, hanya saja pada waktu-waktu itu tidak disusun sebagai suatu ilmu yang kelak disebut dengan Ilmu Ushul Fiqh karena pada waktu-waktu itu tidak dibutuhkan adanya. Yang demikian itu, karena Rasulullah SAW mengetahui cara-cara nash dalam menunjukkan hukum baik secara langsung atau tidak langsung, sehingga beliau tidak membutuhkan adanya kaidah-kaidah dalam berijtihad, karena mereka mengetahui sebab-sebab turun (asbabun nuzul) ayat-ayat Al-Qur’an, sebab-sebab datang (asbabul wurud) Al- Hadits, mempunyai ketajaman dalam memahami rahasia-rahasia, tujuan dan dasar-dasar syara’ dalam menetapkan hukum yang mereka peroleh karena mereka mempunyai pengetahuan yang luas dan mendalam terhadap bahasa mereka sendiri (Arab) yang juga bahasa Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dengan pengetahuan yang mereka miliki itu, mereka mampu berijtihad tanpa membutuhkan adanya kaidah-kaidah.

Pada masa tabi’in, tabi’it-tabi’in dan para imam mujtahid, di sekitar abad II dan III Hijriyah wilayah kekuasaan Islam telah menjadi semakin luas, sampai ke daerah-daerah yang dihuni oleh orang-orang yang bukan bangsa Arab atau tidak berbahasa Arab dan beragam pula situasi dan kondisinya serta adat istiadatnya. Banyak diantara para ulama yang bertebaran di daerah-daerah tersebut dan tidak sedikit penduduk daerah-daerah itu yang memeluk agama Islam. Dengan semakin tersebarnya agama Islam di kalangan penduduk dari berbagai daerah tersebut, menjadikan semakin banyak persoalan-persoalan hukum yang timbul. Yang tidak didapati ketetapan hukumnya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Untuk itu para ulama yang tinggal di berbagai daerah itu berijtihad mencari ketetapan hukumnya.

Karena banyaknya persoalan-persoalan hukum yang timbul dan karena pengaruh kemajuan ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang yang berkembang dengan pesat yang terjadi pada masa ini, kegiatan ijtihad juga mencapai kemajuan yang besar dan lebih bersemarak.

Dalam pada itu, pada masa ini juga semakin banyak terjadi perbedaan dan perdebatan antara para ulama mengenai hasil ijtihad, dalil dan jalan-jalan yang ditempuhnya. Perbedaan dan perdebatan tersebut, bukan saja antara ulama satu daerah dengan daerah yang lain, tetapi juga antara para ulama yang sama-sama tinggal dalam satu daerah.

Kenyataan-kenyataan di atas mendorong para ulama untuk menyusun kaidah-kaidah syari’ah yakni kaidah-kaidah yang bertalian dengan tujuan dan dasar-dasar syara’ dalam menetapkan hukum dalam berijtihad.

Demikian pula dengan semakin luasnya daerah kekuasan Islam dan banyaknya penduduk yang bukan bangsa Arab memeluk agama Islam. Maka terjadilah pergaulan antara orang-orang Arab dengan mereka. Dari pergaulan antara orang-orang Arab dengan mereka itu membawa akibat terjadinya penyusupan bahasa-bahasa mereka ke dalam bahasa Arab, baik berupa ejaan, kata-kata maupun dalam susunan kalimat, baik dalam ucapan maupun dalam tulisan. Keadaan yang demikian itu, tidak sedikit menimbulkan keraguan dan kemungkinan-kemungkinan dalam memahami nash-nash syara’. Hal ini mendorong para ulama untuk menyusun kaidah-kaidah lughawiyah (bahasa), agar dapat memahami nash-nash syara’ sebagaimana dipahami oleh orang-orang Arab sewaktu turun atau datangnya nash-nash tersebut.

Dengan disusunnya kaidah-kaidah syar’iyah dan kaidah-kaidah lughawiyah dalam berijtihad pada abad II Hijriyah, maka telah terwujudlah Ilmu Ushul Fiqh.

Dikatakan oleh Ibnu Nadim bahwa ulama yang pertama kali menyusun kitab Ilmu Ushul Fiqh ialah Imam Abu Yusuf -murid Imam Abu Hanifah- akan tetapi kitab tersebut tidak sampai kepada kita.

Diterangkan oleh Abdul Wahhab Khallaf, bahwa ulama yang pertama kali membukukan kaidah-kaidah Ilmu Ushul Fiqh dengan disertai alasan-alasannya adalah Muhammad bin Idris asy-Syafi’iy (150-204 H) dalam sebuah kitab yang diberi nama Ar-Risalah. Dan kitab tersebut adalah kitab dalam bidang Ilmu Ushul Fiqh yang pertama sampai kepada kita. Oleh karena itu terkenal di kalangan para ulama, bahwa beliau adalah pencipta Ilmu Ushul Fiqh.

Pembahasan tentang Ilmu Ushul Fiqh ini, kemudian dilanjutkan oleh para ulama generasi selanjutnya.

 

Objek Pembahasan Ilmu Ushul Fiqh

Objek pembahasan dari Ushul fiqh meliputi tentang dalil, hukum, kaidah dan ijtihad Sesuai dengan keterangan tentang pengertian Ilmu Ushul Fiqh di depan, maka yang menjadi obyek pembahasannya, meliputi :

1.    Pembahasan tentang dalil.
Pembahasan tentang dalil dalam ilmu Ushul Fiqh adalah secara global. Di sini dibahas tentang macam-macamnya, rukun atau syarat masing-masing dari macam-macam dalil itu, kekuatan dan tingkatan-tingkatannya. Jadi di dalam Ilmu Ushul Fiqh tidak dibahas satu persatu dalil bagi setiap perbuatan.

2.    Pembahasan tentang hukum
Pembahasan tentang hukum dalam Ilmu Ushul Fiqh adalah secara umum, tidak dibahas secara terperinci hukum bagi setiap perbuatan. Pembahasan tentang hukum ini, meliputi pembahasan tentang macam-macam hukum dan syarat-syaratnya. Yang menetapkan hukum (al-hakim), orang yang dibebani hukum (al-mahkum ‘alaih) dan syarat-syaratnya, ketetapan hukum (al-mahkum bih) dan macam-macamnya dan perbuatan-perbuatan yang ditetapi hukum (al-mahkum fih) serta syarat-syaratnya.

3.    Pembahasan tentang kaidah.
Pembahasan tentang kaidah yang digunakan sebagai jalan untuk memperoleh hukum dari dalil-dalilnya antara lain mengenai macam-macamnya, kehujjahannya dan hukum-hukum dalam mengamalkannya.

4.    Pembahasan tentang ijtihad
Dalam pembahasan ini, dibicarakan tentang macam-macamnya, syarat-syarat bagi orang yang boleh melakukan ijtihad, tingkatan-tingkatan orang dilihat dari kaca mata ijtihad dan hukum melakukan ijtihad.

 

 

 

C.  Kegunaan mempelajari ilmu Ushul Fiqh

Dimaksudkan dengan adanya kaidah-kaidah dalam Ilmu Ushul Fiqh, yaitu untuk diterapkan pada dalil-dalil syara’ yang terperinci dan sebagai rujukan bagi hukum-hukum furu’ hasil ijtihad para ulama.

Dengan menerapkan kaidah-kaidah pada dalil-dalil syara’ yang terperinci, maka dapat dipahami kandungan nash-nash syara’ dan diketahui hukum-hukum yang ditunjukinya, sehingga dengan demikian dapat diperoleh hukum perbuatan atau perbuatan- perbuatan dari nash tersebut. Dengan menerapkan kaidah-kaidah itu dapat juga ditentukan jalan keluar (sikap) yang diambil dikala menghadapi nash-nash yang saling bertentangan, sehingga dapat ditentukan pula hukum perbuatan dari nash atau nash-nash sesuai dengan jalan keluar yang diambil. Demikian pula dengar menerapkan kaidah-kaidah pada dalil-dalil seperti : qiyas, istihsan, istishlah, istishab dan lain sebagainya, dapat diperoleh hukum perbuatan-perbuatan yang tidak didapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Dari sisi ini jelaslah bahwa kegunaan Ilmu Ushul Fiqh ialah untuk memperoleh hukum-hukum syara’ tentang perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci, sebagaimana yang tertuang dalan pengertian Ilmu Ushul Fiqh yang telah dipaparkan di depan. Kegunaan ilmu Ushul Fiqh yang demikian itu, masih sangat diperlukan bahkan dapat dikatakan inilah kegunaan yang pokok, karena meskipun para ulama terdahulu telah berusaha untuk mengeluarkan hukum dalam berbagai persoalan, namun dengan perubahan dan perkembangan zaman yang terus berjalan, demikian pula dengan bervariasinya lingkungan alam dan kondisi sosial pada berbagai daerah, adalah faktor-faktor yang sangat memungkinkan sebagai penyebab timbulnya persoalan-persoalan hukum yang baru; yang tidak didapati ketetapan hukumnya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah dan belum pernah terpikirkan oleh para ulama terdahulu. Untuk dapat mengeluarkan ketetapan hukum persoalan-persoalan tersebut, seseorang harus mengetahui kaidah-kaidah dan mampu menerapkannya pada dalil-dalilnya.

Sedangkan dengan menjadikan kaidah-kaidah sebagai rujukan bagi hukum-hukum furu’ hasil ijtihad para ulama, maka dari sini dapat diketahui dalil-dalil yang digunakan dan cara-cara yang ditempuh dalam memperoleh atau mengeluarkan hukum-hukum furu’ tersebut, karena tidak jarang dijumpai dalam sebagian kitab-kitab fiqh yang menyebutkan hukum-hukum furu’ hasil ijtihad seorang ulama atau sekelompok ulama, tanpa disebutkan dalil-dalil dan cara-cara pengambilan hukum itu. Begitu juga dapat diketahui sebab-sebab terjadinya perbedaan pendapat diantara para ulama, sebab terjadinya perbedaan pendapat para ulama tersebut pada hakekatnya berpangkal dari perbedaan dalil atau dari perbedaan cara yang ditempuh untuk sampai kepada hukum furu’ yang diambilnya. Bahkan dapat pula untuk menyeleksi pendapat-pendapat yang berbeda dari seorang ulama, dengan memilih pendapat yang sejalan dengan kaidah-kaidah yang digunakan oleh ulama tersebut dalam menetapkan hukum.

Dengan singkat dapat dikatakan bahwa dari sisi ini, Ilmu Ushul Fiqh dapat digunakan untuk mengetahui alasan-alasan pendapat para ulama. Kegunaan ini juga mempunyai arti yang penting, karena jika mungkin seseorang akan dapat memilih pendapat yang dipandang lebih kuat atau setidak-tidaknya seseorang dalam mengikuti pendapat ulama harus mengetahui alasan-alasannya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III.  KESIMPULAN

  1. Ushul Fiqh adalah Ilmu tentang kaidah-kaidah yang menggariskan jalan-jalan utuk memperoleh hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan dan dalil-dalilnya yang terperinci.
  2. Objek pembahasan dari Ushul fiqh meliputi tentang dalil, hukum, kaidah dan ijtihad
  3. kegunaan Ilmu Ushul Fiqh ialah untuk memperoleh hukum-hukum syara’ tentang perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci.

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

  1. Bakry, Nazar, Fiqh dan Ushul Fiqh, 1996, PT. Raja Grafindo Persada.

2.      Habafie, Ushul Fiqh, 1961, Penerbit Wijaya, Jakarta.

  1. Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya,

4.      Abd. Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, 1972, DDII Pusat, Jakarta.

5.      Haki, Abdul Hamid, Al Bayan, 1955, Bukittinggi, Sumatera

 

Ijma

Posted: 24/01/2011 in Ushul Fiqh
Tag:, ,

I.  PENDAHULUAN

Segala puji bagi Allah SWT yang Maha Pengasih tanpa pernah pilih kasih dan Yang Maha Penyayang yang menyayangi tanpa pernah meminta imbalan dari mahluk-Nya, yang atas berkat rahmat, inayah serta hidayah-Nya lah saya sebagai penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Tak lupa shalawat serta salam semoga selalu trcurahkan kepada Nabi besar Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat, serta, umatnya yang membela risalahnya sampai akhir jaman.

ijma’, ialah kesepakatan mujtahid ummat Islam tentang hukum syara’ dari peristiwa yang terjadi setelah Rasulullah SAW meninggal duni Obyek ijma’ ialah semua peristiwa atau kejadian yang tidak ada dasarnya dalarn al-Qur’an dan al-Hadits, peristiwa atau kejadian yang berhubungan dengan ibadat ghairu mahdhah (ibadat yanng tidak langsung ditujukan kepada Allah SWT) bidang mu’amalat, bidang kemasyarakatan atau semua hal-hal yang berhubungan dengan urusan duniawi tetapi tidak ada dasarnya dalam al-Qur’an dan al-Hadits

pada kesempatan kali ini saya mencoba memaparkan tentang konsep ijma dilihat dari pengertian ijma, dasar hukum ijma, rukun-rukun ijma, kemungkinan terjadinya ijma, macam-macam ijma, dan objek ijma. Dan saya berharap akalah yang saya buat ini bisa bermanfaat bagi diri saya pribadi, rekan-rekan mahasiswa, dan dosen.

 

 

 

 

 

 

II.  IJMA

1. Pengertian ijma’

Ijma’ menurut bahasa Arab berarti kesepakatan atau sependapat tentang sesuatu hal, seperti perkataan seseorang yang berati “kaum itu telah sepakat (sependapat) tentang yang demikian itu.”

Menurut istilah ijma’, ialah kesepakatan mujtahid ummat Islam tentang hukum syara’ dari peristiwa yang terjadi setelah Rasulullah SAW meninggal dunia. Sebagai contoh ialah setelah Rasulullah SAW meninggal dunia diperlukan pengangkatan seorang pengganti beliau yang dinamakan khalifah. Maka kaum muslimin yang ada pada waktu itu sepakat untuk mengangkat seorang khalifah dan atas kesepakatan bersama pula diangkatlah Abu Bakar RA sebagai khalifah pertama. Sekalipun pada permulaannya ada yang kurang menyetujui pengangkatan Abu Bakar RA itu, namun kemudian semua kaum muslimin menyetujuinya. Kesepakatan yang seperti ini dapat dikatakan ijma’.

 

2. Dasar hukum ijma’

Dasar hukum ijma’ berupa aI-Qur’an, al-Hadits dan akal pikiran.

a. Al-Qur’an

Allah SWT berfirman:

 

$pkš‰r’¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãè‹ÏÛr& ©!$# (#qãè‹ÏÛr&ur tAqߙ§9$# ’Í<‘ré&ur ͐öDF{$# óOä3ZÏB (  ÇÎÒÈ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan ulil amri diantara kamu.” (an-Nisâ’: 59)

Perkataan amri yang terdapat pada ayat di atas berarti hal, keadaan atau urusan yang bersifat umum meliputi urusan dunia dan urusan agama. Ulil amri dalam urusan dunia ialah raja, kepala negara, pemimpin atau penguasa, sedang ulil amri dalam urusan agama ialah para mujtahid.

Dari ayat di atas dipahami bahwa jika para ulil amri itu telah sepakat tentang sesuatu ketentuan atau hukum dari suatu peristiwa, maka kesepakatan itu hendaklah dilaksanakan dan dipatuhi oleh kaum muslimin.

Firman AIlah SWT:

(#qßJÅÁtGôã$#ur È@ö7pt¿2 «!$# $Yè‹ÏJy_ Ÿwur (#qè%§xÿs? 4 ÇÊÉÌÈ

Artinya:

“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah dan janganlah kamu bercerai-berai.” (Ali Imran: 103)

Ayat ini memerintahkan kaum muslimin bersatu padu, jangan sekali-kali bercerai-berai. Termasuk dalam pengertian bersatu itu ialah berijma’ (bersepakat) dan dilarang bercerai-berai, yaitu dengan menyalahi ketentuan-ketentuan yang telah disepakati oleh para mujtahid.

Firman Allah SWT:

`tBur È,Ï%$t±ç„ tAqߙ§9$# .`ÏB ω÷èt/ $tB tû¨üt6s? ã&s! 3“y‰ßgø9$# ôìÎ6­Ftƒur uŽöxî È@‹Î6y™ tûüÏZÏB÷sßJø9$# ¾Ï&Îk!uqçR $tB 4’¯<uqs? ¾Ï&Î#óÁçRur zN¨Yygy_ ( ôNuä!$y™ur #·ŽÅÁtB ÇÊÊÎÈ  

Artinya: “Dan barangsiapa yang menantang Rasul setelah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang yang beriman, Kami biarkan ia berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukan ia ke dalam jahannam dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (an-Nisâ’: 115)

Pada ayat di atas terdapat perkataan sabîlil mu’minîna yang berarti jalan orang-orang yang beriman. Jalan yang disepakati orang-orang beriman dapat diartikan dengan ijma’, sehingga maksud ayat ialah: “barangsiapa yang tidak mengikuti ijma’ para mujtahidin, mereka akan sesat dan dimasukkan ke dalam neraka.”

 

b. AI-Hadits

Bila para mujtahid telah melakukan ijma’ tentang hukum syara’ dari suatu peristiwa atau kejadian, maka ijma’ itu hendaklah diikuti, karena mereka tidak mungkin melakukan kesepakatan untuk melakukan kesalahan apalagi kemaksiatan dan dusta, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:  “umatku tidak akan bersepakat untuk melakukan kesalahan.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi)

c. Akal pikiran

Setiap ijma’ yang dilakukan atas hukum syara’, hendaklah dilakukan dan dibina atas asas-asas pokok ajaran Islam. Karena itu setiap mujtahid dalam berijtihad hendaklah mengetahui dasar-dasar pokok ajaran Islam, batas-batas yang telah ditetapkan dalam berijtihad serta hukum-hukum yang telah ditetapkan. Bila ia berijtihad dan dalam berijtihad itu ia menggunakan nash, maka ijtihadnya tidak boleh melampaui batas maksimum dari yang mungkin dipahami dari nash itu. Sebaliknya jika dalam berijtihad, ia tidak menemukan satu nashpun yang dapat dijadikan dasar ijtihadnya, maka dalam berijtihad ia tidak boleh melampaui kaidah-kaidah umum agama Islam, karena itu ia boleh menggunakan dalil-dalil yang bukan nash, seperti qiyas, istihsan dan sebagainya. Jika semua mujtahid telah melakukan seperti yang demikian itu, maka hasil ijtihad yang telah dilakukannya tidak akan jauh menyimpang atau menyalahi al-Qur’an dan al-Hadits, karena semuanya dilakukan berdasar petunjuk kedua dalil ltu. Jika seorang mujtahid boleh melakukan seperti ketentuan di atas, kemudian pendapatnya boleh diamalkan, tentulah hasil pendapat mujtahid yang banyak yang sama tentang hukum suatu peristiwa lebih utama diamalkan.

 

3. Rukun-rukun ijma’

Dari definisi dan dasar hukum ijma’ di atas, maka ulama ushul fiqh menetapkan rukun-rukun ijma’ sebagai berikut:

1.    Harus ada beberapa orang mujtahid dikala terjadinya peristiwa dan para mujtahid itulah yang melakukan kesepakatan (menetapkan hukum peristiwa itu. Seandainya tidak ada beberapa orang mujtahid di waktu terjadinya suatu peristiwa tentulah tidak akan terjadi ijma’, karena ijma’ itu harus dilakukan oleh beberapa orang.

2.    Yang melakukan kesepakatan itu hendaklah seluruh mujtahid yang ada dalam dunia Islam. Jika kesepakatan itu hanya dilakukan oleh para mujtahid yang ada pada suatu negara saja, maka kesepakatan yang demikian belum dapat dikatakan suatu ijma’.

3.    Kesepakatan itu harus dinyatakan secara tegas oleh setiap mujtahid bahwa ia sependapat dengan mujtahid-mujtahid yang lain tentang hukum (syara’) dari suatu peristiwa yang terjadi pada masa itu. Jangan sekali-kali tersirat dalam kesepakatan itu unsur-unsur paksaan, atau para mujtahid yang diharapkan kepada suatu keadaan, sehingga ia harus menerima suatu keputusan. Kesepakatan itu dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti dengan pernyataan lisan, dengan perbuatan atau dengan suatu sikap yang menyatakan bahwa ia setuju atas suatu keputusan hukum yang telah disetujui oleh para mujtahid yang lain. Tentu saja keputusan yang terbaik ialah keputusan sebagai hasil suatu musyawarah yang dilakukan para mujtahid.

4.    Kesepakatan itu hendaklah merupakan kesepakatan yang bulat dari seluruh mujtahid. Seandainya terjadi suatu kesepakatan oleh sebahagian besar mujtahid yang ada, maka keputusan yang demikian belum pasti ke taraf ijma’. Ijma’ yang demikian belum dapat dijadikan sebagai hujjah syari’ah.

 

4. Kemungkinan terjadinya ijma’

Jika diperhatikan sejarah kaum muslimin sejak zaman Rasulullah SAW sampai sekarang, dihubungkan dengan kemungkinan terjadinya ijma’, maka ijma’ dapat dibagi atas tiga periode, yaitu:

1.    Periode Rasulullah SAW;

2.    Periode Khalifah Abu Bakar Shiddiq dan Khalifah Umar bin Khattab; dan

3.    Periode sesudahnya.

Pada masa Rasulullah SAW, beliau merupakan sumber hukum. Setiap ada peristiwa atau kejadian, kaum muslimin mencari hukumnya pada al-Qur’an yang telah diturunkan dan hadits yang telah disabdakan oleh Rasulullah SAW. Jika mereka tidak menemukannya dalam kedua sumber itu, mereka langsung menanyakannya kepada Rasulullah. Rasululah adakalanya langsung menjawabnya, adakalanya menunggu ayat al-Qur’an turunkan Allah SWT. Karena itu kaum muslimin masih satu, belum nampak perbedaan pendapat yang menetapkan hukum suatu peristiwa atau kejadian yang mereka alami.

Setelah Rasulullah SAW meninggal dunia, kaum muslimin kehilangan tempat bertanya, namun mereka telah mempunyai pegangan yang lengkap, yaitu al-Qur’an dan al-Hadits. Jika ada kejadian atau peristiwa yang memerlukan penetapan hukum, mereka berijtihad, tetapi belum ada bukti yang nyata bahwa mereka telah berijma’. Seandainya ada ijma’ itu, kemungkinan terjadi pada masa khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar atau sedikit kemungkinan pada masa enam tahun pertama Khalifah Utsman. Hal ini adalah karena pada masa itu kaum muslimin masih satu, belum ada perbedaan pendapat yang tajam diantara kaum muslimin, disamping daerah Islam belum begitu luas, masih mungkin mengumpulkan para sahabat atau orang yang dipandang sebagai mujtahid.

Setelah enam tahun bahagian kedua kekhalifahan Utsman, mulailah nampak gejala-gejala perpecahan di kalangan kaum muslimin. Hal ini dimulai dengan tindakan Utsman mengangkat anggota keluarganya sebagai penjabat jabatan-jabatan penting dalam pemerintahan (nepotisme). Setelah Khalifah Utsman terbunuh, perpecahan di kalangan kaum muslimin semakin terjadi, seperti peperangan antara Ali bin Abi Thalib dengan Mu’awiyah bin Abu Sofyan, peperangan antara Ali bin Abi Thalib dengan Aisyah yang terkenal dengan perang Jamal, timbul golongan Khawarij, golongan Syi’ah golongan Mu’awiyah dan sebagainya. Demikianlah perselisihan dan perpecahan itu terjadi pula semasa dinasti Amawiyah, semasa dinasti Abbasiyah, semasa dinasti Fathimiyah dan sebagainya, sehingga dana dan tenaga umat Islam terkuras dan habis karenanya.

Disamping itu daerah Islam semakin luas, sejak dari Asia Tengah (Rusia Selatan sekarang) sampai kebagian tengah benua Afrika, sejak ujung Afrika Barat sampai Indonesia, Tiongkok Selatan, Semenanjung Balkan dan Asia Kecil. Karena itu amat sukar melakukan ijma’ dalam keadaan dan luas daerah yang demikian.

Dari keterangan di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1.    Ijma’ tidak diperlukan pada masa Nabi Muhammad SAW;

2.    Ijma’ mungkin terjadi pada masa Khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar bin Khattab, dan enam tahun pertama Khalifah Utsman; dan c. Setelah masa enam tahun kedua pemerintahan Khalifah Utsman sampai saat ini tidak mungkin terjadi ijma’ sesuai dengan rukun-rukun yang telah ditetapkan di atas, mengingat keadaan kaum muslim yang tidak bersatu serta luasnya daerah yang berpenduduk Islam.

Pada masa sekarang telah banyak berdiri negara-negara Islam yang berdaulat atau suatu negara yang bukan negara Islam tetapi penduduknya mayoritas beragama Islam atau minoritas penduduknya beragama Islam. Pada negara-negara tersebut sekalipun penduduknya minoritas beragama Islam, tetapi ada peraturan atau undang-undang yang khusus bagi umat Islam. Misalnya India, mayoritas penduduknya beragama Hindu, hanya sebagian kecil yang beragama Islam. Tetapi diberlakukan undang-undang perkawinan khusus bagi umat Islam. Undang-undang itu ditetapkan oleh pemerintah dan parlemen India setelah musyawarah dengan para mujtahid kaum muslimin yang ada di India. Jika persepakatan para mujtahid India itu dapat dikatakan sebagai ijma’, maka ada kemungkinan terjadinya ijma’ pada masa setelah Khalifah Utsman sampai sekarang sekalipun ijma’ itu hanya dapat dikatakan sebagai ijma’ lokal.

Jika demikian dapat ditetapkan definisi ijma’, yaitu keputusan hukum yang diambil oleh wakil-wakil umat Islam atau para mujtahid yang mewakili segala lapisan masyarakat umat Islam. Karena dapat dikatakan sebagai ulil amri sebagaimana yang tersebut pada ayat 59 surat an-Nisâ’ atau sebagai ahlul halli wal ‘aqdi. Mereka diberi hak oleh agama Islam untuk membuat undang-undang atau peraturan-peraturan yang mengatur kepentingan-kepentingan rakyat mereka.

Hal yang demikian dibolehkan dalam agam Islam. Jika agama Islam membolehkan seorang yang memenuhi syarat-syarat mujtahid untuk berijtihad, tentu saja beberapa orang mujtahid dalam suatu negara boleh pula bersama-sama memecahkan permasalahan kaum muslimin kemudian menetapkan suatu hukum atau peraturan. Pendapat sebagai hasil usaha yang dilakukan orang banyak tentu lebih tinggi nilainya dari pendapat yang dilakukan oleh orang seorang.

5. Macam-macam ijma’

Sekalipun sukar membuktikan apakah ijma’ benar-benar terjadi, namun dalam kitab-kitab fiqh dan ushul fiqh diterangkan macam-macam ijma’. Diterangkan bahwa ijma’ itu dapat ditinjau dari beberapa segi dan tiap-tiap segi terdiri atas beberapa macam.

Ditinjau dari segi cara terjadinya, maka ijma’ terdiri atas:

1.    ljma’ bayani, yaitu para mujtahid menyatakan pendapatnya dengan jelas dan tegas, baik berupa ucapan atau tulisan. Ijma’ bayani disebut juga ijma’ shahih, ijma’ qauli atau ijma’ haqiqi;

2.    Ijma’ sukuti, yaitu para mujtahid seluruh atau sebahagian mereka tidak menyatakan pendapat dengan jelas dan tegas, tetapi mereka berdiam diri saja atau tidak memberikan reaksi terhadap suatu ketentuan hukum yang telah dikemukakan mujtahid lain yang hidup di masanya. Ijma’ seperti ini disebut juga ijma’ ‘itibari.

Ditinjau dari segi yakin atau tidaknya terjadi suatu ijma’, dapat dibagi kepada:

1.    ljma’ qath’i, yaitu hukum yang dihasilkan ijma’ itu adalah qath’i diyakini benar terjadinya, tidak ada kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil ijma’ yang dilakukan pada waktu yang lain;

2.    ljma’ dhanni, yaitu hukum yang dihasilkan ijma’ itu dhanni, masih ada kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil ijtihad orang lain atau dengan hasil ijma’ yang dilakukan pada waktu yang lain.

 

Dalam kitab-kitab fiqh terdapat pula beberapa macam ijma’ yang dihubungkan dengan masa terjadi, tempat terjadi atau orang yang melaksanakannya. Ijma’-ijma’ itu ialah:

1.    Ijma’ sahabat, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh para sahabat Rasulullah SAW;

2.    Ijma’ khulafaurrasyidin, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali bin Abi Thalib. Tentu saja hal ini hanya dapat dilakukan pada masa ke-empat orang itu hidup, yaitu pada masa Khalifah Abu Bakar. Setelah Abu Bakar meninggal dunia ijma’ tersebut tidak dapat dilakukan lagi;

3.    Ijma’ shaikhan, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh Abu Bakar dan Umar bin Khattab;

4.    Ijma’ ahli Madinah, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh ulama-ulama Madinah. Ijma’ ahli Madinah merupakan salah satu sumber hukum Islam menurut Madzhab Maliki, tetapi Madzhab Syafi’i tidak mengakuinya sebagai salah satu sumber hukum Islam;

5.    Ijma’ ulama Kufah, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh ulama-ulama Kufah. Madzhab Hanafi menjadikan ijma’ ulama Kufah sebagai salah satu sumber hukum Islam.

6. Obyek ijma’

Obyek ijma’ ialah semua peristiwa atau kejadian yang tidak ada dasarnya dalarn al-Qur’an dan al-Hadits, peristiwa atau kejadian yang berhubungan dengan ibadat ghairu mahdhah (ibadat yanng tidak langsung ditujukan kepada Allah SWT) bidang mu’amalat, bidang kemasyarakatan atau semua hal-hal yang berhubungan dengan urusan duniawi tetapi tidak ada dasarnya dalam al-Qur’an dan al-Hadits.

 

 

 

 

 

 

 

 

III.  KESIMPULAN

 

1.    istilah ijma’, ialah kesepakatan mujtahid ummat Islam tentang hukum syara’ dari peristiwa yang terjadi setelah Rasulullah SAW meninggal dunia.

2.    Dasar hukum ijma adalah al Qur’an , Hadits, dan akal pikiran.

3.    ijma’ dapat dibagi atas tiga periode, yaitu:

a.  Periode Rasulullah SAW;

b.  Periode Khalifah Abu Bakar Shiddiq dan Khalifah Umar bin Khattab; dan

c.  Periode sesudahnya.

4.    beberapa macam ijma’ yang dihubungkan dengan masa terjadi, tempat terjadi atau orang yang melaksanakannya. Ijma’-ijma’ itu ialah:

a.  Ijma’ sahabat,

b.  Ijma’ khulafaurrasyidin,

c.  Ijma’ shaikhan

d.  Ijma’ ahli Madinah,

e.  Ijma’ ulama Kufah,

5.    Obyek ijma’ ialah semua peristiwa atau kejadian yang tidak ada dasarnya dalarn al-Qur’an dan al-Hadits, peristiwa atau kejadian yang berhubungan dengan ibadat ghairu mahdhah (ibadat yanng tidak langsung ditujukan kepada Allah SWT) bidang mu’amalat, bidang kemasyarakatan atau semua hal-hal yang berhubungan dengan urusan duniawi tetapi tidak ada dasarnya dalam al-Qur’an dan al-Hadits.

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

1.      Al Qur’anul Karim

2.      Khallaf, Abdul Wahab. 1977. Ilmu Ushul Fiqih. Kuwait : An-Nashie

3.      Bakry, Nazar, Fiqh dan Ushul Fiqh, 1996, PT. Raja Grafindo Persada.

4.      Habafie, Ushul Fiqh, 1961, Penerbit Wijaya, Jakarta. Bakry, Nazar, Fiqh dan Ushul Fiqh, 1996, PT. Raja Grafindo Persada.

5.      Habafie, Ushul Fiqh, 1961, Penerbit Wijaya, Jakarta.

6.      Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya,

7.      Abd. Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, 1972, DDII Pusat, Jakarta

 

 

 

I.  PENDAHULUAN

 

Sebagaimana maklum, Al Quran adalah sumber perundangan pertama, diikuti oleh As Sunnah (Al hadis). Sehubung dengan itu, Ijma’ ulama’ dan Al Qias juga diterima sebagai sumber perundangan yang tidak disepakati. Disamping itu, terdapat beberapa sumber lain yang bersifat dalil zanni. Diantaranya adalah kaedah istihsan. Ulama’ berselisih pendapat dengan ta’rifan istihsan ini iaitu,

 

a)      Al Hilwani dan Al Hanafi mengatakan istihsan ialah menukar perkara yang berasal dari Qias kepada Qias yang lebih kuat. Hal ini disebut Qias khafi yang tersembunyi illat nya.

b)      Menurut Imam Abu Hasan Al Karkhi Al Hanafi pula, ia merupakan penetapan hukum oleh mujtahid terhadap sesuatu masalah yang menyimpang daripada ketetapan hukum yang diterapkan pada masalah-masalah yng sama disebabkan alas an yang lebih kukuh.

c)      Jumhur ulama’ Usul menyatakan istihsan adalah menukarkan sesuatu hukum kulli kepada huklum juziyy (pengecualian)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

II.  DASAR ISTIHSAN SEBAGAI SUATU SUMBER HUKUM

 

1. TAKRIF ISTIHSAN

Dari segi bahasa bermakna memandang baik sesuatu atau mencari yang lebih baik untuk diikuti. (Az-Zumar : 17)

Istihsan dari segi istilah menurut ahli hukum dibahagikan kepada dua makna iaitu:

1)      menggunakan  ijtihad dan segala buah fikiran dalam menentukan sesuatu hukum berdasarkan syara’. Contohnya hukum mut’ah yang terdapat dalam firman Allah taala (Al-Baqarah:236). Mut’ah dalam ayat ini diukur mengikut keadaan suami, kaya atau miskin menurut makruf.

2)      Dalil yang menyaingi qias atau meninggalkan qias dan menetapkan apa yang lebih manfaat bagi manusia

Para ulama hukum sependapat pada makna istihsan yang pertama. Imam Syafie menolak sumber istihsan telah berkata:

 

 

“ saya memandang sebaiknya mut’ah itu tiga puluh dirham”.

 

Mengenai istihsan pada pengertian yang kedua, ulama hukum berselisih pendapat tentang boleh atau tidak menggunakannya karena wujud pelbagai pendapat dalam mendefinisikannya. Perselisihan pendapat dalam mendefinisi istihsan wujud karena pentakrifan ini muncul sesudah terjadi perdebatan yang hangat antara yang menggunakan istihsan dan yang menolaknya. Mereka yang menolak istihsan mengatakan bahwa istihsan itu ialah menetapkan suatu hukum berdasarkan hawa nafsu (syari’u bil hawa). Pihak yang menggunakan istihsan tidak langsung mengemukakan dalil-dalil yang membuktikan bahwasanya istihsan itu adalah suatu hujjah, tetapi mereka berusaha menerangkan hakikat istihsan yang sebenar,  menyebabkan golongan yang menolaknya mengakui bahwa tidak ada istihsan yang diperselisihkan kecuali dalam beberapa masalah.

 

2.  SEJARAH PERKEMBANGAN SUMBER ISTIHSAN

Sebelum Abu Hanifah menggunakan istilah istihsan, ulama-ulama sebelumnya telah menggunakan istilah ini. Iyas ibn Mu’awiyah seorang hakim dalam pemerintahan Umaiyah  pernah berkata:

 

“tidaklah saya menemukan qadhi, melainkan apa yang dipandang baik manusia”.

 

Sesudah Abu Hanifah menjadi seorang mujtahid dan ahli falsafah dalam bidang hukum, istilah istihsan sering digunakan sehingga menyaingi qias. Umpamanya Abu Hanifah berkata:

 

“qias memutuskan bgini, sedang istihsan memutuskan begitu. Kami mengambil istihsan. Qias memutuskan begini, akan tetapi kami beristisan, andaikata tidak ada riwayat tentulah saya menggunakan qias. Kami menetapkan demikian dengan jalan istihsan, tidak bersesuaian dengan qias”.

 

Imam Abu Hanifah terkenal sebagai seorang ahli hukum yang amat pandai menggunakan sumber istihsan dan banyak merujuk masalah-masalah berdasarkan sumber istihsan. Imam Abu Hanifah hampir-hampir digelar ‘imam Istihsan’ sebagaimana beliau digelar imam ahlul ra’yi.

 

Muhammad Ibnul Hasan, salah seorang murid Imam Ab Hanifah telah berkata:

 

“adalah Abu Hnifah telah berdiskusi dengan sahabat-sahabatnya tentang qias. Mereka dapat membantahnya. Tetapi apabila Abu Hanifah mengatakan: saya beristihsan, tidak ada lagi orang yang menandinginya karena banyak dalil-dalil yang dikemukakan tentang istihsan dalam pelbagai masalah”.

 

Kemudian murid-muridnya yang mencapai darjat ijtihad mengikut jejak Abu Hanifah. Maka telah timbul banyak masalah berdasarkan istihsan sehingga mereka memberi pengertian bahwa istihsan itu merupakan satu dalil hukum dan  para mujtahid harus mengetahuinya. Muhammad Ibnul Hasan berpendapat bahwa mengetahui masalah-masalah istihsan adalah syarat untuk berijtihad.

 

#Muhammad Ibnul Hasan berkata:

 

“mengetahui masalah-masalah istihsan menurut para fuqaha adalah salah satu syarat ijtihad, sama dengan mengetahui dalil-dalil yang lain”.

 

#Imam Abu Hanifah sendiri berkata:

 

“barang siapa mengetahui Al-kitab dan As-sunnah, pendapat para sahabat Rasulullah dan apa yang diistihsankan oleh para para fuqaha, dapatlah dia berijtihad terhadap hal-hal yang dihadapinya dan dia menjalankan yang demikian itu terhadap solatnya, puasanya, hajinya dan segala yang disuruh dan yang dilarang. Maka apabila dia berijtihad dan berqias kepada yang menyerupainya dapatlah dia beramal dengan yang demikian walaupun dia salah dalam ijtihadnya”.

Abu Hanifah sendiri tidak menegaskan definisi istihsan itu, dari pendapatnya, istihsan digunakan sebagai dalil-dalil hukum yang digunakan untuk menentang qias dan menguatkan istihsan itu bila ia bertentangan dengan qias. Maksud istihsan adalah tidak terang, terkecuali pada beberapa masalah yang merupakan hadits atau atsar.

 

Dia sering berkata:

 

“Andaikata tidak ada atsar, tentulah saya berpegang pada qias. Andaikata tidak ada riwayat, tentulah saya berpegang pada qias.”

 

Apa yang ditulis oleh Abu Hanifah adalah sama sepeti yang dtulis oleh Imam Malik dan murid-muridnya. Malik pernah berkata:

 

 

“Istihsan ialah sembilan persepuluh ilmu.”

 

Asbagh, seorang murid Malik pula berkata:

 

“Istihsan dalam bidang ilmu terkadang-kadang lebih menang dari qias”

 

Kita tidak boleh mengatakan bahwa Abu Hanifah, Malik, dan sahabat-sahabat beristihsan tanpa menggunakan dalil-dalil yang syara’, tetapi sebenarnya mereka tidak menerangkan dalil-dalil yang telah mereka maksudkan, dan apa yang sebenarnya mereka kehendaki dengan pendapat itu. Hal ini tidaklah begitu mengherankan, karena masa itu belum lagi terjadi masa pentakrifan istilah-istilah baru. Masa itu adalah masa ijtihad dan mereka itu diakui oleh masyarakat sebagai ahli-ahli ijtihad. Imam Syafie menyerang dengan amat tajam bila beliau mendengar pengikut-pengikut Imam Abu Hanifah menggunakan istihsan ketika berdiskusi dengan beliau tanpa menerangkan apa yang dimaksudkan dengan istilah itu. Mungkin pendebat-pendebat Imam Abu Hanifah menggunakan istilah istihsan tanpa mengetahui sesuatu dalil karena mereka bertaklid kepada imam-imam mereka. Apabila Imam Syafie bertanya kepada mereka apa hakikat istihsan, mereka tidak dapat menjawabnya. Imam Syafie membantah orang-orang yang sering  menggunakan kata-kata ijma untuk dijadikan dalil mereka tanpa mereka menyebut dasar pegangan mereka itu. Pendapat-pendapat Imam Syafie, baik dalam Ar Risalah mahupun Al Umm tegas mengatakan bahwa istihsan tanpa dalil tidak dapat diterima bahkan haram dilakukan.

 

Dalam Ar Risalah Imam Syafie berkata:

 

“sesungguhnya haram atas seseorang menetapkan sesuatu dengan jalan istihsan, apabila istihsan itu menyalahi hadis. Dan tidak boleh lagi seseorang mengatakan: ‘saya beristihsan tidak menggunakan qias’. Andaikata kita boleh mengenepikan qias, bolehlah bagi ahli-ahli akal dari orang yang tidak mempunyai ilmu mengatakan sesuatu yang tidak ada hadis terhadapnya dengan menggunakan dasar istihsan. Istihsan itu sebenarnya hanya mencari enak saja”.

Dalam kitab Ibthalul Istihsan, Imam Syafie menerangkan dalil-dalil yang menegaskan bahwa para mufti tidak boleh berfatwa dengan istihsan, karena kalu berfatwa dengan istihsan bererti dia telah menyimpang dari Al-Quran dan Sunnah, al-ijma dan qias. Dan bererti dia mengikuti pendapatnya sendiri.

Dalam masalah ini Daud Ibn Ali menyetujui pendapat Imam Syafie, sebagaimana ulama-ulama Hanbaliyah menyetujui fahaman Imam Abu Hanifah dan Imam Malik.

Dalam kitab Risalah Al Ushul, Daud berkata:

 

“Sesungguhnya menetapkan sesuatu dengan qias tidak wajib, dan menggunakan istihsan tidak boleh”.

Shafiyuddin Al Baghdadi dalam kitabnya Qawa’idul Ushul dan Ibnu Qadamah Al Maqdisi dalam kitabnya Raudhatun Nazhir menyatakan bahwa Imam Ahmad ibn Hanbal bersetuju dengan pandangan Imam Abu Hanifah dalam masalah ini.

Demikianlah perkembangan dalam fasa pertama tentang kedudukan istihsan. Satu pihak menggunakan istihsan untuk sesuatu hukum yang mereka kehendaki walaupun mereka belum dapat menernagkan hakikat sebenar istihsan dan satu pihak yang lain menolak dari menggunakan istihsan dengan alasan bahwa istihsan adalah menurut fikiran semata-mata.

Sesudah masa membuat dalil bagi dasar-dasar yang digunakan selepas zaman Imam Syafie, barulah tokoh-tokoh fiqh mazhab Hanafi membuat pentakrifan istihsan dan menerangkan hakikat yang sebenarnya yang mereka ungkapkan dari cabang-cabang hukum yang dinukilkan daripada imam. Namun demikian, pentakrifan yang telah dibuat masih tidak dapat melepaskan istihsan dari arena perselisihan. Setelah lama masa berjalan, barulah sebagian ulama Hanafiyah berupaya menggambarkan istihsan bersesuaian dengan pandangan para imam dalam menanggapi hukum-hukum furu’ (cabang) yang dinukilkan dari mereka.

Mereka berkata: istihsan itu diithlaqkan kepada dua pengertian – ithlaq khas dan ithlaq am.

 

Ithlaq khas ialah:

 

“Qias khafi yang mengimbangi qias jali”.

 

Qias jali ialah:

 

“Qias yang mudah difahami”.

Sedang qias khafi ialah:

 

 

“ Qias yang susah difahami, perlu difikirkan secara mendalam”.

 

Istihsan yang am ialah:

 

“ Segala dalil yang mengimbangi qias dan mengharuskan kita berpindah dari qias pada yang mengimbanginya lantaran ada sesuatu nas atau atsar atau ijma atau darurat”.

 

Apabila kita teliti benar-benar ternyata bahwa qias yang mengimbangi istihsan bukanlah qias menurut ulama usul, tetapi dimaksudkan dengan qias di sini adalah kaedah umum atau dalil umum. Maka menggunakan istihsan di sini bererti mengecualikan sesuatu dari umum dalil. Oleh itu seseorang tidak boleh menolak istihsan selagi dalil yang digunakan untuk mengecualikan itu adalah dalil yang benar. Mengenai istihsan yang bermakna khas itu, ia bererti suatu bentuk pertentangan dan ketika terjadi pertentangan antara dua dalil, maka dalil yang terkuat dipilih.

 

 

3.   ISTIHSAN SEBAGAI SUMBER TASYRI YANG DISEPAKATI

Dengan pengertian yang terakhir ini istihsan menjadi suatu sumber yang disepakati karena istihsan adalah suatu pengecualian dari suatu dalil dan pertentangan dua qias lalu, diambil yang terkuat daripadanya walaupun dia khafi. Hal ini dibenarkan al-quran, assunnah dan amal fuqaha sahabat.

Para ulama malikiah dengan tegas mentakrifkan istihsan dengan maksud pengecualian

Ibnu Arabi berpendapat

 

“Istihsan ialah meninggalkan sesuatu yang dikehendaki dalil dengan jaan pengecualian, karena ada sesuatu yang mengetahui di sebagian juziyyahnya”

 

Ibnu Rusyd berpendapat:

 

 

“Dan menggunakan qias mengakibatkan berlebih-lebihan dalam hukum, maka dia berpaling pada sebagian tempat tertentu karena ada sesuatu pengertian yang memberi bebas kepada hukum yang tertentu dari tempat itu saja.”

 

As Syatibi berpendapat:

 

 

“ Kaedah istihsan menurut Imam Malik ialah menggunakan maslahat juziyyah dalammenghadapi dalil yang kulli.”

 

Para sahabat banyak menggunakan prinsip ini dan merekalah menjadi ikutan kita sesudah Rasulullah s.a.w, iaitu mengecualikan sesuatu dari nas yang umum karena ada kemaslahatannya.

 

Golongan syariah sendiri mengakui adanya pengecualian dari kaedah-kaedah syariyyah dan mereka menggunakan pengecualian itu walaupun Imam Syafie menentang istihsan.

 

Di antara masalah itu, ialah membolehkan kita mengambil tumbuhan di tanah haram untuk mengumpan binatang untuk menhindarkan kesukaran bagi para haji. Ini merupakan suatu pengecualian dari umum nas padahal Rasulullah hanya membenarkan idzar saja, sebagaimana mereka membenarkan ayah ataupun abang menggadaikan harta mereka kepada mauli mereka apabila wali itu  memberi hutang kepada mereka. Demikian pula sebaliknya. Dan mereka membenarkan abang mereka mengahwinkan cucu perempuannya dengan cucu lelakinya apabila dipandang ada maslahat. Inipun merupakan suatu pengecualian dari dasar yang mereka gunakan iaitu akad itu dilakukan oleh dua orang.

 

“Tak dapat tidak sesuatu akad dari dua ibarat dari dua orang ( penjual dan pembeli.”

 

Izuddin Ibnu Abdis Salam berkata:

 

 

 

“ Apabila seseorang menjual buah kurma yang telah nyata baiknya maka wajiblah dibiarkan buah itu tinggal di batang sehingga datang waktu memetiknya dan memungkinkan si pembeli menyirami batang kurma itu dengan airnya, karena kedua syarat itu telah menjadi syarat pada uruf masyarakat. Maka menjadilah dia sebagai yang telah disyaratkan oleh kedua belah pihak. Dan hanyanya berlaku syarat ini di sini adalah karena adanya keperluan masyarakat dan keadaan itu mendorong masyarakat kepada syarat ini, maka menjadilah dia hal-hal dikecualikan dari kaedah untuk memperbolehkan kemaslahatan akad.”

 

Sesungguhnya perbedaan pendaat antara Imam As Syafie dengan pihak yang menerima istihsan bukanlah dari segi penggunaan istilah istihsan. Karena As Syafie sendiri menggunakan istilah-istilah itu seperti yang diterangkan oleh Al- Amidi dalam kitabnya Al-Ihkam.

Kalau demikian, perbedaan itu adalah karena menurut pendapat  As-Syafie bahwa istihsan yang dikehendaki golongan Hanafiah ialah menetapkan sesuatu berdasarkan akal biasa tanpa dalil, sebagai yang sering beliau dengar di masanya dari pengikut-pengikut Abu hanifah seperti Basyar Al- Miribi. Jika As-Syafie menolak istihsan dalam erti memendang baik sesuatu tanpa dalil, maka Imam Ahmad pun menolak suatu pernyataan ijmak tanpa ada dalil.

 

4.   JENIS ISTIHSAN UMUM

Istihsan umum ada beberapa jenis menurut dalil yang menetapkannya:

 

4.1     ISTIHSAN DENGAN NAS: iaitu pada tiap-tipa masalah yang ada nas sendiri yang menimbulkan suatu hukum yang berlainan dengan hukum umum yang diterapkan oleh suatu nas yang umum atau kaedah yang umum. Dan ia melengkapi segala bentuk masalah yang dikecualikan oleh syarak sendiri dari hukum-hukum yang sebandingnya iaitu seperti khiar syarak. Imam Abu Hanifah mengatakan terhadap orang yang berkuasa makan atau minum karena lupa:            “Andaikata tiada nas yang tidak membatalkan puasa lantaran makan dan minum karena lupa, tentulah saya memandang bata puasa itu karena sudah rosak satu rukun iaitu menahan diri dari segala yang merosakkan puasa”.

 

4.2  ISTIHSAN BERDASARKAN IJMAK: iaitu apabila para mujtahid berfatwa terhadap suatu masalah yang berlawanan dengan Qiyas atau dengan kehendak dari sesuatu   dalil yang umum, atau mereka berdiam diri tidak membantah sesutau uruf masyarakat yang berlawanan dengan hukum qiyas.

 

 

4.3  ISTIHSAN DALAM HAL DARURAT DAN UNTUK MENGHINDARI KESULITAN: apabila kita mnggunakan dalil yang umum menimbulkan kesulitan, maka dari dalil yang umum itu dikcualikan. Seperti apabila saksi-saksi yang telah meninggal atau yang jauh dari tempat atau karena tidak sanggup menghadiri sidang majlis, padahal menurut asal hukum kesaksian itu harus yang melihat dengan mata kepala sendiri, dibolehkan menggunakan kesaksian orang lain.

 

4.4  ISTIHSAN BERDASARKAN KEMASLAHATAN YANG BELUM SAMPAI KE BATAS DARURAT: sesuatu hukum yang dicakup oleh sesuatu nas yang umum tetapi jika dilaksanakan hukum itu, timbul kerosakan atau terhapus kemaslahatan, maka ditetapkan hukum berdasarkan kemaslahatan, seperti memberikan pusaka kepada suami yang isterinya murtad dalam keadaan sakit yang membawa kepada kematian. Ini juga merupakan suatu pengecualian dari kaedah umum, iaitu tidak ada lagi hak pusaka karena hubungan mereka suami isteri putus di waktu isteri murtad. Jalan istihsan di sini ialah melayani si wanita yang murtad itu dengan yang bertentangan dengan maksudnya. Dia memurtadkan dirinya dalam keadaan sakit yang membawa maut supaya suaminya tidak dapat menerima pusaka daripadanya.

 

 

4.5  ISTIHSAN DENGAN DASAR URUF: Muhammad ibn Al Hasan membolehkan kita mewakafkan barang bergerak. Menurut kaedah, wakaf itu harus benda yang tidak bergerak karena benda yang bergerak mudah hilang dan rosak. Seperti boleh kita menjual buah-buahan dengan syarat tetap di batangnya sampai matang padahal syarat itu tidak dikehendaki oleh akad, bahkan berlawanan dengan sabda Rasulullah yang melarang penjualan dengan memakai syarat. Tetapi karena uruf telah berlaku demikian, maka dibolehkan untuk menghindari prtengkaran. Sebab itulah Hanafiyah membenarkan segala syarat yang diterima uruf asal saja tidak membatalkan sesuatu nas syara.

 

5.   KEPENTINGAN SUMBER ISTIHSAN

Walaupun istihsan bukan suatu dalil yang berdiri sendiri, namun ia menyingkapkan jalan yang ditempuh sebagian ulama mujtahidin dalam menetapkan dalil-dalil syara dan kaedah-kaedahnya ketika dalil-dalil itu bertentangan dengan kenyataan yang berkembang dalam masyarakat. Hal ini untuk mengelakkan kesulitan dan kemudaratan serta menghasilkan kemanfaatan dengan cara menetapkan dasar-dasar syariat dan sunber-sumbernya.

Istihsan adalah suatu dalil yang terkuat menunjukkan bahwa hukum-hukum Islam adalah suatu hukum yang berkembang dalam masyarakat yang diistilahkan sebagai fiqh waq’i bukan suatu fiqh khayali yang merupakan fiqh bayangan sebagai yang digambarkan oleh sebagian oarang yang tidak mengetahui hakikat fiqh Islam atau ingin menjauhkan manusia daripadanya.

Dengan menggunakan dasar istihsan, kita dapat menghadapi masalah perbankan yang telah menjadi masalah yang sangat penting dalam masalah ekonomi.

Oleh karena dalam kebanyakan bentuknya merupakan pengecualian dari umum, maka bolehlah kita qiaskan kepadanya sesuatu yang lain apabila cukup syarat-syarat qias.

 

Para ulama ada yang tidak membenarkan sama sekali kita melakukan qias, karena tempat-tempat yang mengecualikan atas dasar darurat, atau maslahat tertentu dan harus kita ukur mudarat itu sekadar yang darurat saja. Oleh karenanya, timbullah suatu istilah dalam kalangan mereka:

 

#

“ Sesuatu yang tetap berlawanan dengan qias maka tidak boleh diqiaskan yang lain kepadanya”.

 

Ada yang membedakan antara yang diistihsankan dengan nas atau ijmak dengan yang diistihsankan dengn qias khafi. Mereka tidak membolehkan pada yang pertama, membolehkan pada yang kedua. Asy Syarakhasi dalam kitab usulnya berkata:

 

 

 

Sesungguhnya yang mustahsan dan  qias dapat melampaui hukumnya pada yang lain, dalam arti dapat diqiaskan yang lain padanya. Karena qias baik lahir maupun batin ialah  mengenakan sesuatu hukum kepada yang lain. Adapun yang diistihsankan dengan nash atau ijma’ maka hukumnya tidak melampaui pada yang lain, karena dia dipalingkan dari qias dan tidak dapat dikenakan kepada yang lain.”

Seperti pendapat sebelum ini, iaitu tidak boleh mengqiaskan sesuatu kepada yang dikecualikan itu. Kedua-dua pendapat ini tidak dapat kita pendapat ini tidak dapat kita terima. Pendapat yang dapat kita terima, ialah boleh kita qiaskan sesuatu kepada yang dikecualikan apabila cukup syarat-syaratnya, karena qias itu berkisar sekitar adanya sesuatu makna yang mngumpulkan antara yang dikecualikan itu dengan yang lainnya.

 

Jika ada makna tersebut, berlakulah qias. Jika tidak ada makna tersebut, nescaya qias tidak dapat dikecualikan, baik pengecualian itu dengan nash ataupun dengan qias. Inilah pendapat sebagian ahli tahqiq yang dipelopori oleh Al-Ghazali. Di dalam Al=Mustashfa beliau berkata:

 

” Bagian yang  kedua ialah suatu yang dikecualikan dari kaedah yang telah lalu dan datang dari pengecualian itu dari suatu makna. Ini dapat diqiaskan kepada setiap masalah yang berlaku antara yang dikecualikan dengan yang dikecualikan dan bersekutu yang dikecualikan dan bersekutu yang dikecualikan pada illat. Pengecualian umpamanya, pengecualian ‘ariyah maka dia tidak merupakan nasakh bagi kaedah riba dan tidak megubah kaedah itu. Akan tetapi ia dikecualikan karenanya kita dapat mengqiyaskan buah anggur pada kurma putih karena kita berpendapat bahwa anggur itu membawa makna kurma putih”.

 

 

” demikian pula mewajibkan segantang kurma terhadap susu binatang yang diikat tempat susunya tidak datang untuk menghapuskan pembayaran yang ada imbangannya dengan mitsilnya ( sejenisnya) akan tetap tatkala bercampur susu yang baru dengan susu yang sedia ada di dalam buah dada jika terjadi jual beli dan tidak ada jalan untuk membedakan satu sama lain, tidak ada jalan mengetahui ukurannya sedang dia berpautan dengan makanan, syara’ melepaskan orang yang berjual beli kesulitan mengetahui jumlah susu dengan jalan memberi ukuran sebatang kurma. Karena tidak salah kita mengatakan: andaikata dikembalikan binatang yang diikat pentil susu dengan cacat yang lain, bukan cacat mengikat pentil susu, nescaya dibayar susu pula dengan segantang kurma itu. Dan ini seperti penemuan pada makna pokok. Andaikata kita tidak memahami makna tersebut, tentulah kita tidak berani menghubungkan itu ( mengadakan qias)”.

Pendapat inilah yang kiranya harus kita tampung, karena  mewujudkan maksud syara’ dari pengecualian.

 

 

 

Allah swt. Dengan tegas mengatakan:

 

 

 

” Dan tidaklah Allah menjadikan kamu kesukaran dalam agama”. ( Q.S. Al- Hajj/22:78)

Pendapat Al- Ghazali sesuai dengan pendapat Ibnu Taimiyah dalam kitab Ushul Fiqhnya iaitu:

 

 

 

” Boleh qias kepada pokok yang tertentu dari antara jumlah qias, dan itulah yang dinamakan oleh golongan Hanafiah tempat istihsan, berbeda terhadap perkataan mereka tidak boleh qias kecuali qias itu ada illatnya atau ijma’ qias itu, atau ada suatu pokok yang lain yang sesuai maka bolehlah qias kepadanya. Pendapat golongan Syafi’iyah dan segolongan Hanafiah sama dengan pendapat kami. Dan pendapat golongan Malikiyah sama dengan jumlah qias dapat diqiaskan kepadanya dan dapat diqiaskan pada yang lainnya”.

Ibnu Qudamah Aln Maqdisi dal;am kitab Raudhatun Nadzir berkata:

 

 

 

” Yang dikecualikan dari kaedah qias terbahagi kepada yang dapat difahamkan  maknanya dan yang tidak dapat difahamkan maknanya. Makna yang pertama sah diqiaskan selama diperoleh illat. Di antara yang demikian ialah pengecualian ‘aliyah karena ada keperluan. Tidaklah jauh kita mengqiaskan buah anggur pada kurma putih yang telah nyata bahwa buah anggur mengandungi kurma putih. Demikianlah pula mewajibkan segantang kurma pada susu binatang yang diikat pentilnya sikecualikan dari kaedah sama semestinya kita qiaskan kepadanya apa bayng dikembalikan karena cacat yang lain. Dan itu seperti perhubungan, adapun yang tidak dapat difahamkan maknanya maka adalah seperti ditentukan Abu Burdah dengan boleh menyembelih kambing yang berbulu yang setahun umurnya untuk korban dan seperti Nabi menetapkan Khuzaimah dengan menerima kesaksiannya seorang diri. Dan hal serupa itu tidak boleh diqiaskan kepadanya”.

 

Mengikut apa yang diterangkan, maka istihsan dalam kebanyakann bentuknya, adalah pengecualian dari hal-hal yang diharamkan dengan menghalalkan sesuatu dan pengecualian dari hal-hal yang mewajiban dengan menghilangkan kewajibannya, karena pengecualian itu tidaklah terbatas dalam daerahnya saja, tetapi melampaui daerah lain.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

III.  KESIMPULAN

  1. Dari segi bahasa bermakna memandang baik sesuatu atau mencari yang lebih baik untuk diikuti. (Az-Zumar : 17)Istihsan dari segi istilah menurut ahli hukum  iaitu:menggunakan  ijtihad dan segala buah fikiran dalam menentukan sesuatu hukum berdasarkan syara’.
  2. Dari apa yang dikemukakan diatas maka saya sebagai penulis mengambil kesimpulan bahwa  Kita tidak boleh mengatakan bahwa Abu Hanifah, Malik, dan sahabat-sahabat beristihsan tanpa menggunakan dalil-dalil yang syara’, tetapi sebenarnya mereka tidak menerangkan dalil-dalil yang telah mereka maksudkan, dan apa yang sebenarnya mereka kehendaki dengan pendapat itu. Hal ini tidaklah begitu mengherankan, karena masa itu belum lagi terjadi masa pentakrifan istilah-istilah baru. Masa itu adalah masa ijtihad dan mereka itu diakui oleh masyarakat sebagai ahli-ahli ijtihad. Imam Syafie menyerang dengan amat tajam bila beliau mendengar pengikut-pengikut Imam Abu Hanifah menggunakan istihsan ketika berdiskusi dengan beliau tanpa menerangkan apa yang dimaksudkan dengan istilah itu.. Apabila Imam Syafie bertanya kepada mereka apa hakikat istihsan, mereka tidak dapat menjawabnya. Imam Syafie membantah orang-orang yang sering  menggunakan kata-kata ijma untuk dijadikan dalil mereka tanpa mereka menyebut dasar pegangan mereka itu. Pendapat-pendapat Imam Syafie, baik dalam Ar Risalah mahupun Al Umm tegas mengatakan bahwa istihsan tanpa dalil tidak dapat diterima bahkan haram dilakukan.

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

1.  Hasbi, Tengku Muhammad, Falsafah Hukum Islam, 1987,

PT. Pustaka Rizki Putra

2.  Muda, Abd. Latif, Ustazah Rosmawati Ali, Perbahasan Usul Fiqh; 2001,

Ilham Abati Enterprise

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

I.  PENDAHULUAN

Puji syukur ke hadirat Allah SWT, karena kami sebagai penulis telah menyelesaikan makalah mengenai “ Ijtihad“. Dan tak lupa Shalawat beserta Salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada Junjungan kita Nabi besar  Muhammad SAW, kepada keluarga, Sahabat dan semoga pula sampai kepada kita semua selaku umat-Nya yang tetap menjalankan Syariat-Nya sampai akhir jaman.

Bagi sebagian mahasiswa Muamalat Ekonomi Perbankan Islam (MEPI) mungkin istilah ijtihad itu sendiri masih belum populer atau dalam artian masih belum banyak mahasiswa yang mengetahui istilah tersebut ? hal itu disadari karena memang istilah tersebut banyak dipakai dalam pelajaran Fiqh dan Ulumul Qur’an.

Untuk itu kami sebagai penulis ingin mencoba menjelaskan mengenai ijtihad ini baik dari segi pengertian ijtihad, Cara berijtihad, orang yang layak melakukan ijtihad sendiri sehingga diharapkan mahasiswa bisa memahami ilmu ijtihad itu sendiri. Dan harapan kami sebagai penulis semoga makalah yang kami susun ini bisa bermanfaat bagi rekan-rekan mahasiswa, dosen, dan terutama bagi kami sendiri sebagai penulis pada tentunya.

II.  IJTIHAD

A.  Pengertian Ijtihad

Menurut bahasa, ijtihad berarti (bahasa Arab اجتهاد) Al-jahd atau al-juhd yang berarti la-masyaqat (kesulitan dan kesusahan) dan akth-thaqat (kesanggupan dan kemampuan). Dalam al-quran disebutkan:

“..walladzi lam yajidu illa juhdahum..” (at-taubah:79)

artinya: “… Dan (mencela) orang yang tidak memperoleh (sesuatu untuk disedekahkan) selain kesanggupan”(at-taubah:79)

Kata al-jahd beserta serluruh turunan katanya menunjukkan pekerjaan yang dilakukan lebih dari biasa dan sulit untuk dilaksanakan atau disenangi.

Dalam pengertian inila Nabi mengungkapkan kata-kata:

“Shallu ‘alayya wajtahiduu fiddua’”

artinya:”Bacalah salawat kepadaku dan bersungguh-sungguhlah dalam dua”

Demikian dengan kata Ijtihad “pengerahan segala kemampuan untuk mengerjakan sesuatu yang sulit.” Atas dasar ini maka tidak tepat apabila kata “ijtihad” dipergunakan untuk melakukan sesuatu yang mudah/ringan.

Pengertian ijtihad menurut bahasa ini ada relevansinya dengan pengertian ijtihad menurut istilah, dimana untuk melakukannya diperlukan beberapa persyaratan yang karenanya tidak mungkin pekerjaan itu (ijtihad) dilakukan sembarang orang.

Dan di sisi lain ada pengertian ijthad yang telah digunakan para sahabat Nabi. Mereka memberikan batasan bahwa ijtihad adalah “penelitian dan pemikiran untuk mendapatkan sesuatu yang terdekat pada Kitab-u ‘l-Lah dan Sunnah Rasul, baik yang terdekat itu diperoleh dari nash -yang terkenal dengan qiyas (ma’qul nash), atau yang terdekat itu diperoleh dari maksud dan tujuan umum dari hikmah syari’ah- yang terkenal dengan “mashlahat.”

Dalam kaitan pengertan ijtihad menurut istilah, ada dua kelompok ahli ushul flqh (ushuliyyin) -kelompok mayoritas dan kelompok minoritas- yang mengemukakan rumusan definisi. Dalam tulisan ini hanya akan diungkapkan pengertian ijtihad menurut rumusan ushuliyyin dari kelompok mayoritas.

Menurut mereka, ijtihad adalah pengerahan segenap kesanggupan dari seorang ahli fxqih atau mujtahid untuk memperoleh pengertian tingkat dhann terhadap sesuatu hukum syara’ (hukum Islam).

Dari definisi tersebut dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Pelaku utihad adalah seorang ahli fiqih/hukum Islam (faqih), bukan yang lain.

2. Yang ingin dicapai oleh ijtihad adalah hukum syar’i, yaitu hukum Islam yang berhubungan dengan tingkah laku dan perbuatan orang-orang dewasa, bukan hukum i’tiqadi atau hukum khuluqi,

3. Status hukum syar’i yang dihasilkan oleh ijtihad adalah dhanni.

Jadi apabila kita konsisten dengan definisi ijtihad diatas maka dapat kita tegaskan bahwa ijtihad sepanjang pengertian istilah hanyalah monopoli dunia hukum. Dalam hubungan ini komentator Jam’u ‘l-Jawami’ (Jalaluddin al-Mahally) menegaskan, “yang dimaksud ijtihad adalah bila dimutlakkan maka ijtihad itu bidang hukum fiqih/hukum furu’. (Jam’u ‘l-Jawami’, Juz II, hal. 379).

Atas dasar itu ada kekeliruan pendapat sementara pihak yang mengatakan bahwa ijtihad juga berlaku di bidang aqidah. Pendapat yang nyeleneh atau syadz ini dipelopori al-Jahidh, salah seorang tokoh mu’tazilah. Dia mengatakan bahwa ijtihad

juga berlaku di bidang aqidah. Pendapat ini bukan saja menunjukkan inkonsistensi terhadap suatu disiplin ilmu (ushul fiqh), tetapi juga akan membawa konsekuensi pembenaran terhadap aqidah non Islam yang dlalal. Lantaran itulah Jumhur ‘ulama’ telah bersepakat bahwa ijtihad hanya berlaku di bidang hukum (hukum Islam) dengan

B. Cara ber-Ijtihad

Dalam melaksanakan ijtihad, para ulama telah membuat methode-methode antara lain sebagai berikut :

a. Qiyas = reasoning by analogy. Yaitu menetapkan sesuatu hukum terhadap sesuatu hal yang belum diterangkan oleh al-Qur’an dan as-Sunnah, dengan dianalogikan kepada hukum sesuatu yang sudah diterangkan hukumnya oleh al-Qur’an / as-Sunnah, karena ada sebab yang sama. Contoh : Menurut al-Qur’an surat al-Jum’ah 9; seseorang dilarang jual beli pada saat mendengar adzan Jum’at. Bagaimana hukumnya perbuatan-perbuatan lain ( selain jual beli ) yang dilakukan pada saat mendengar adzan Jum’at ?  Dalam al-Qur’an maupun al-Hadits tidak dijelaskan. Maka hendaknya kita berijtihad dengan jalan analogi. Yaitu : kalau jual beli karena dapat mengganggu shalat Jum’at dilarang, maka demikian pula halnya perbuatan-perbuatan lain, yang dapat mengganggu shalat Jum’at, juga dilarang. Contoh lain : Menurut surat al-Isra’ 23; seseorang tidak boleh berkata uf ( cis ) kepada orang tua. Maka hukum memukul, menyakiti dan lain-lain terhadap orang tua juga dilarang, atas dasar analogi terhadap hukum cis tadi. Karena sama-sama menyakiti orang tua. Pada zaman Rasulullah saw pernah diberikan contoh dalam menentukan hukum dengan dasar Qiyas tersebut. Yaitu ketika ‘ Umar bin Khathabb berkata kepada Rasulullah saw : Hari ini saya telah melakukan suatu pelanggaran, saya telah mencium istri, padahal saya sedang dalam keadaan berpuasa. Tanya Rasul : Bagaimana kalau kamu berkumur pada waktu sedang berpuasa ? Jawab ‘Umar : tidak apa-apa. Sabda Rasul : Kalau begitu teruskanlah puasamu.

b. Ijma’ = konsensus = ijtihad kolektif. Yaitu persepakatan ulama-ulama Islam dalam menentukan sesuatu masalah ijtihadiyah. Ketika ‘Ali bin Abi Thalib mengemukakan kepada Rasulullah tentang kemungkinan adanya sesuatu masalah yang tidak dibicarakan oleh al-Qur’an dan as-Sunnah, maka Rasulullah mengatakan : ” Kumpulkan orang-orang yang berilmu kemudian jadikan persoalan itu sebagai bahan musyawarah “. Yang menjadi persoalan untuk saat sekarang ini adalah tentang kemungkinan dapat dicapai atau tidaknya ijma tersebut, karena ummat Islam sudah begitu besar dan berada diseluruh pelosok bumi termasuk para ulamanya.

c. Istihsan = preference. Yaitu menetapkan sesuatu hukum terhadap sesuatu persoalan ijtihadiyah atas dasar prinsip-prinsip umum ajaran Islam seperti keadilan, kasih sayang dan lain-lain. Oleh para ulama istihsan disebut sebagai Qiyas Khofi ( analogi samar-samar ) atau disebut sebagai pengalihan hukum yang diperoleh dengan Qiyas kepada hukum lain atas pertimbangan kemaslahatan umum. Apabila kita dihadapkan dengan keharusan memilih salah satu diantara dua persoalan yang sama-sama jelek maka kita harus mengambil yang lebih ringan kejelekannya. Dasar istihsan antara lain surat az-Sumar 18.

d.      Mashalihul Mursalah = utility, yaitu menetapkan hukum terhadap sesuatu persoalan ijtihadiyah atas pertimbangan kegunaan dan kemanfaatan yang sesuai dengan tujuan syari’at. Perbedaan antara istihsan dan mashalihul mursalah ialah : istihsan mempertimbangkan dasar kemaslahan ( kebaikan ) itu dengan disertai dalil al-Qur’an / al-Hadits yang umum, sedang mashalihul mursalah mempertimbangkan dasar kepentingan dan kegunaan dengan tanpa adanya dalil yang secara tertulis exsplisit dalam al-Qur’an / al-Hadits.

 

C.  Syarat Orang Yang Ijtihad

Orang yang melakukan iitihad dipersyaratkan beberapa hal, di antaranya:
1. Mengetahui dalil-dalil syar’i yang dibutuhkan dalam berijtihad seperti ayat-ayat hukum dan hadits-haditsnya.

2. Mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan keshahihan hadits dan kedhaifannya, seperti mengetahui sanad dan para periwayat hadits dan lain-lain.

3. Mengetahui nasikh-mansukh dan perkara-perkara yang telah menjadi ijma’ (kesepakatan ulama), sehingga dia tidak berhukum dengan apa yang telah mansukh (dihapus nya) atau menyelisihi ijma’.

4. Mengetahui dalil-dalil yang sifatnya takhsis, taqyid atau yang semisalnya, lalu bisa menyelaraskannya dengan ketentuan asal yang menjadi pokok permasalahan.
5. Mengetahui ilmu bahasa, ushul fikih, dalil-dalil yang mempunyai hubungan umum-khusus, mutlak-muqayyad, mujmal-mubayyan, dan yang semisalnya sehingga akurat dalam menetapkan hukum.

6. Mempunyai kemampuan beristimbat (mengambil kesimpulan) hukum-hukum dari dalil-dalilnya.

Ijtihad terus berlaku sampai kapan pun dan keberadaannya termasuk dalam bagian ilmu atau pembahasan masalah ilmiah. Perlu dicatat bahwa seorang mujtahid harus berusaha mengerahkan kesungguhannya dalam mencari kebenaran untuk kemudian berhukum dengannya. Seseorang yang berijtihad kalau benar mendapatkan dua pahala; pahala karena dia telah berijtihad dan pahala atas kebenaran ijtihadnya, karena ketika dia benar ijtihadnya berarti telah memperlihatkan kebenaran itu dan memungkinkan orang mengamalkannya, dan kalau dia salah, maka dia mendapat satu pahala dan kesalahan ijtihadnya itu diampuni, karena sabda Nabi: Apabila seorang hakim menetapkan hukum dengan cara berijitihad dan temyata benar, maka dia mendapat dua pahala dan apabila dia ternyata salah, maka dia mendapat satu pahala. (HR. Bukhari dan Muslim)

III.   KESIMPULAN

1.      ijtihad adalah pengerahan segenap kesanggupan dari seorang ahli fIqih atau mujtahid untuk memperoleh pengertian tingkat dhann terhadap sesuatu hukum syara’ (hukum Islam).

2.      Dalam melaksanakan ijtihad, para ulama telah membuat methode-methode antara lain sebagai berikut :

a.  ijma

b.  qiyas

c.  istihsan

d.  maslahat al murasalah

3.      seorang mujtahid harus berusaha mengerahkan kesungguhannya dalam mencari kebenaran untuk kemudian berhukum dengannya. Seseorang yang berijtihad kalau benar mendapatkan dua pahala; pahala karena dia telah berijtihad dan pahala atas kebenaran ijtihadnya, karena ketika dia benar ijtihadnya berarti telah memperlihatkan kebenaran itu dan memungkinkan orang mengamalkannya, dan kalau dia salah, maka dia mendapat satu pahala dan kesalahan ijtihadnya itu diampuni

 

DAFTAR PUSTAKA

1.      Al Qur’anul Karim

2.      Khallaf, Abdul Wahab. 1977. Ilmu Ushul Fiqih. Kuwait : An-Nashie

3.      Bakry, Nazar, Fiqh dan Ushul Fiqh, 1996, PT. Raja Grafindo Persada.

4.      Habafie, Ushul Fiqh, 1961, Penerbit Wijaya, Jakarta. Bakry, Nazar, Fiqh dan Ushul Fiqh, 1996, PT. Raja Grafindo Persada.

5.      Habafie, Ushul Fiqh, 1961, Penerbit Wijaya, Jakarta.

6.      Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya,

7.      Abd. Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, 1972, DDII Pusat, Jakarta

 

 

Ijtihad

Posted: 24/01/2011 in Ushul Fiqh
Tag:, ,

BAB I.  PENDAHULUAN

 

Nash/teks Al-Qur’an dan Hadits dalam teori terbagi dua, qoth’i (pasti) dan dhonni (dugaan). Itu dipandang dari segi dalalah dan wurud (penunjukan makna dan datangnya) nash. Sedang nash qoth’i itu sendiri bisa digolongkan menjadi tiga: Kalamiyyah, Ushuliyyah, dan Fiqhiyyah.

Yang dimaksud kalamiyyah ialah naqliyah semata, dan dalam hal ini yang benar hanya satu. Maka barangsiapa yang melakukan kesalahan terhadap hal ini, ia berdosa. Nash jenis ini di antaranya tentang kejadian alam dan penetapan wajib adanya Allah dan sifat-sifatNya, diutusnya para rasul, mempercayai mereka dan mu’jizat-mu’jizatnya dan sebagainya. Kemudian apabila kesalahan seseorang itu mengenai keimanan kepada Allah dan rasul-Nya maka yang bersalah itu kafir, kalau tidak maka ia berdosa dari segi bahwa ia menyimpang dari kebenaran dan tersesat.

Adapun ushuliyyah adalah seperti keadaan ijma’ dan qiyas serta khabar ahad sebagai hujjah, maka masalah-masalah ini dalil-dalilnya adalah qoth’iyyah. Orang yang menyalahinya adalah berdosa.

Mengenai masalah fiqhiyyah yang termasuk qoth’i yaitu shalat 5 waktu, zakat, puasa, pengharaman zina, pembunuhan, pencurian, minun khamar/ arak dan semua yang diketahui secara pasti dari agama Allah. Maka yang benar dari masalah-masalah itu adalah satu, dan itulah yang diketahui. Sedang orang yang menyalahinya adalah berdosa.

Setelah kita mengetahui yang qoth’i seperti tersebut, maka bisa ditarik garis sebagai berikut:

– Apabila seseorang menyelisihi hal-hal yang diketahui secara dhoruri dari maksud al-Syari’ (hal-hal yang setiap Muslim wajib tahu), maka ia adalah kafir, karena pengingkarannya tidak timbul kecuali dari orang yang mendustakan syara’. (Misalnya orang mengingkari keesaan Allah, mengingkari wajibnya shalat 5 waktu, wajib puasa Ramadhan dsb, maka pengingkarnya itu adalah kafir).

– Apabila masalahnya mengenai hal yang diketahui secara pasti, dengan jalan penyelidikan, seperti hukum-hukum yang dikenal dengan ijma’, maka pengingkarnya bukan kafir, tetapi ia bersalah dan berdosa. (Contohnya, mengingkari tidak bolehnya perempuan mengimami shalat lelaki, maka pengingkarnya adalah berdosa).

– Adapun masalah fiqhiyyah yang dhonni, yang tidak mempunyai dalil pasti, maka masalah ini jadi tempat ijtihad dan tidak ada dosa atas mujtahid dalam masalah itu menurut orang yang berpendapat bahwa yang tepat adalah satu, dan tidak (berdosa) pula menurut orang yang mengatakan setiap mujtahid adalah tepat.

Dalam masalah terakhir ini Syekh Hudhori Biek berpendapat bahwa pendapat yang rajih/ kuat adalah bahwa Allah mempunyai hukum tertentu dalam setiap perkara dan terdapat dalil atasnya. Maka barangsiapa berhasil mendapatkannya, ia pun telah bertindak tepat. Dan barangsiapa yang melakukan kesalahan sesudah mencurahkan tenaga, maka iapun dianggap salah, hanya saja ia diberi pahala untuk ijtihadnya, dan dibebaskan darinya dosa dan kesalahannya (itu).

Oleh karena itu mujtahid yang tepat dalam syari’at adalah satu, dan hal itu karena dalil-dalil syari’at bisa berupa nash-nash dan bisa berupa qiyas yang berasal dari nash-nash itu; dan perbedaan yang terjadi adalah karena pentakwilannya.

Adapun pentakwilan dan perbedaan di dalamnya, maka kita mengetahui dengan spontan bahwa As-Syari’ (Allah) tidak menetapkan suatu nash/ teks kecuali Ia menginginkan suatu makna tertentu. Hal ini kadang-kadang berhasil didapatkan oleh sebagian mujtahidin, maka ia dianggap tepat. Sedang yang menyimpang berarti ia berbuat kesalahan.

 

BAB II.  IJTIHAD

 

A.  Pengertian Ijtihad

Ijtihad menurut bahasa adalah berasal dari kata jahada (ÌåÏ) yang artinya: mencurahkan segala kemampuan, atau menanggung beban kesulitan. Jadi arti ijtihad menurut bahasa adalah mencurahkan semua kemampuan dalam segala perbuatan.

Kata ijtihad ini tidak dipergunakan kecuali pada hal-hal yang mengandung kesulitan dan memerlukan banyak tenaga. Seperti dalam kalimat:

“Dia bersungguh-sungguh mencurahkan tenaga untuk mengangkat batu penggilingan.”

Kata ijtihad ini tidak boleh dipergunakan seperti pada kalimat:

“Dia mencurahkan tenaga untuk mengangkat sebuah biji sawi.”

Ijtihad menurut istilah ushul fiqh sebagaimana dikemukakan Imam As-Syaukani adalah:

“Mencurahkan kemampuan untuk memperoleh hukum syara’ yang bersifat ‘amali/ praktis dengan jalan istinbath (mengeluarkan/ menyimpulkan hukum).”

Definisi itu kemudian dijelaskan oleh As-Syaukani:

1. Badzlul wus’i (mencurahkan kemampuan), ini mengecualikan hukum-hukum yang didapat tanpa pencurahan kemampuan. Sedangkan arti badzlul wus’i adalah sampai dirinya merasa sudah tidak mampu lagi untuk menambah usahanya.

2. Hukum syara’ itu mengecualikan hukum bahasa, akal, dan hukum indera. Oleh karenanya orang yang mencurahkan kemampuannya dalam bidang hukum (bahasa, akal, dan indera) tadi tidak disebut mujtahid menurut istilah ushul fiqh.

3. Demikian pula pencurahan kemampuan untuk mendapatkan hukum ilmiah tidak disebut ijtihad menurut fuqoha’, walaupun menurut mutakallimin dinamakan ijtihad.

4. Dengan jalan istinbath itu mengecualikan pengambilan hukum dari nash yang dhahir atau menghafal masalah-masalah, atau menanyakan kepada mufti atau dengan cara menyingkap masalah-masalahnya dari buku-buku ilmu. Karena hal-hal tersebut walaupun benar mencurahkan kemampuan menurut segi bahasa, namun tidak benar berijtihad menurut istilah.

Sebagian ahli ushul menambah definisi itu dengan kata-kata faqih (seorang ahli fiqh), maka jadinya “pencurahan kemampuan oleh seorang faqih”. Itu mesti dalam hal ini, karena pencurahan kemampuan oleh yang bukan faqih (ahli fiqh) itu bukan dinamakan ijtihad menurut istilah.

 

B.  Ijtihad Istinbahi dan Ijtihad Tathbiqi

Al-Imam Abu Zuhroh mengemukakan bahwa sebagian ulama menta’rifkan: Ijtihad dalam istilah ushuliyyin (ahli ushul fiqh) adalah mencurahkan upaya keras (juhd) dan mengorbankan kemampuan maksimal, baik dalam istinbath (mengeluarkan/ menyimpulkan) hukum-hukum syar’i maupun tathbiq/ penerapannya.

Ijtihad dengan ta’rif ini maka terbagi dua:

1. Khusus istinbath hukum dan menjelaskannya.

2. Khusus tathbiq/ penerapannya.

Bagian pertama, Ijtihad Istinbathi yaitu ijtihad yang sempurna, dan itu khusus bagi golongan ulama’ yang mengarah pada pengenalan hukum-hukum furu’ (cabang) yang ‘amali (praktis/ operasional) dari dalil-dalilnya yang terinci. Sebagian ulama mengatakan, ijtihad (isthinbathi) ini termasuk ijtihad khusus, kadang terputus pada suatu masa. Hal itu menurut pendapat Jumhur (mayoritas ulama), atau paling kurang sebagian banyak dari ulama. Sedangkan ulama Hanabilah (ulama Hanbali) berpendapat bahwa jenis ini (Ijtihad Isthinbathi) harus tidak pernah lowong pada setiap masa, mesti harus ada mujtahid yang mencapai tingkatan ini.

Bagian kedua, (Ijtihad Tathbiqi), para ulama bersepakat bahwa tidak boleh kosong suatu masa pun dari adanya (mujtahid tathbiqi). Mereka itu adalah ulama takhrij dan taathbiq (mengeluarkan dan menerapkan) ‘illat-illat yang diistinbatkan atas perbuatan-perbuatan juz’iyah. Maka pelaksanaan mereka atas hal ini adalah penerapan apa yang telah diistinbatkan para ulama yang dulu. Dan dengan tathbiq/ penerapan ini terjelaskanlah hukum-hukum permasalahan yang belum dikenalkan oleh ulama-ulama terdahulu yang memiliki derajat ijtihad mengenai hal itu. Dan sesungguhnya upaya yang dilakukan pemilik derajat kedua (mujtahid tathbiqi) adalah apa yang dinamakan tahqiqul manath (mengeluarkan ‘illat-illat, sebab-sebab terjadinya hukum).

C.  Lapangan Ijtihad

Secara ringkas lapangan ijtihad ada dua:

1. Perkara syari’ah yang tidak ada nashnya sama sekali.

2. Perkara syari’ah yang ada nashnya tetapi tidak qath’i wurud ataupun dalalahnya (tidak pasti penunjukan maknanya).

Kalau di dalam lapangan ijtihad itu kemudian ada ijtihad dalam suatu perkara, lantas hasil ijtihad itu menjadi undang-undang, kalau dikaitkan dengan wewenang qodhi/ hakim, maka wewenang hakim hanya terbatas pada pemberian keputusan berdasarkan undang-undang, bukan untuk mengadili undang-undang itu sendiri.

Qodhi tidak berhak menghakimi undang-undang, karena wewenangnya hanya menerapkan undang-undang atau memutuskan perkara berdasarkan undang-undang. Hal itu sebagaimana mujtahid pun tidak berhak untuk mengijtihadi perkara-perkara yang sudah ada nashnya yang qoth’i (teksnya yang sudah pasti penunjukan maknanya)..

Bila ada yang nekat melakukan “ijtihad” terhadap yang sudah ada nash qoth’inya, dan hasil “ijtihadnya” itu menyelisihi nash, maka bukan sekadar ijtihadnya itu tidak berlaku, tetapi berarti menentang nash. Sebagaimana hakim memutuskan perkara dengan sengaja menyelisihi undang-undang, maka bukan hanya batal keputusannya itu, namun bahkan sengaja melanggar undang-undang.

Ijtihad Terhadap Hukum yang Sudah Ada Nash Qath’inya Itu Dilarang

Contohnya, tidak bolehnya berijtihad tentang kewajiban puasa atas umat Islam, larangan khamr, larangan makan daging babi, larangan makan riba, kewajiban memotong tangan pencuri –bila tidak ada keraguan dan telah memenuhi syarat untuk dipotong–. Juga tentang hukum pembagian harta waris mayit di antara anak-anaknya, di mana bagian seorang laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan, dan hukum-hukum lainnya yang telah ditetapkan dalil Al-Qur’an yang pasti atau dalil hadits yang pasti, yang telah disepakati umat Islam dan telah diketahui dari ajaran agama dengan pasti sehingga telah menjadi sendi pemikiran dan perilaku umat Islam.

Hendaknya kita jangan sampai terbawa arus orang-orang yang hendak mempermainkan agama, yang ingin mengubah nash-nash muhkamat menjadi mutasyabihat dan hukum-hukum qath’i dianggap sebagai hukum-hukum yang dzanni, yang bisa digunakan dan bisa juga ditolak atau bisa dilepas atau bisa diikat. Karena pada pokoknya nash yang muhkam merupakan tempat kembalinya nash yang mutasyabihat, dan hukum-hukum yang qath’i merupakan tempat rujukan hukum-hukum yang dzanni. Sehingga hukum qath’ilah yang menjadi pegangan hukum dan ukuran ketika terdapat suatu pertentangan. Maka apabila hukum-hukum qath’i ini dijadikan hukum yang tidak qath’i dan masih dianggap sebagai letak perselisihan dan pertentangan, berarti sudah tidak ada lagi di sana hukum yang dijadikan tempat rujukan dan dijadikan sandaran, serta tidak ada pula ukuran yang dijadikan landasan hukum.

 

D.  Syarat-syarat Ijtihad

Untuk melakukan ijtihad diperlukan syarat-syarat. Syarat kecakapan berijtihad itu menurut Abdul Wahab Khalaf ada 4:

1. Hendaknya seseorang mempunyai pengetahuan bahasa Arab, dari segi sintaksis dan filologinya. Mempunyai rasa bahasa dalam memahami gaya bahasa yang ia peroleh dari upaya mempelajari ilmu bahasa Arab dan cabang-cabangnya. Mempunyai cakrawala luas dalam ilmu sastra dan unsur-unsur yang mempengaruhi kefasihannya, puisi maupun prosanya, dan lain-lainnya. Karena orientasi pertama seorang mujtahid adalah nash-nash dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta berupaya memahaminya. Seperti orang Arab karena kondisi bahasanya yang Arab, maka mereka mampu memahami nash-nash yang datang dengan bahasa mereka. Dan mampu menerapkan kaidah-kaidah pokok bahasa untuk menyimpulkan arti dan ungkapan atau phrase dan sinonim-sinonimnya.

2. Hendaknya seseorang mempunyai pengetahuan tentang Al-Qur’an. Yang dimaksud ialah seseorang itu mengerti hukum-hukum syara’ yang dikandung oleh Al-Qur’an, ayat-ayat yang menjadi nash hukum dan metoda menemukan hukum-hukum itu dari ayat-ayat tertentu. Sekiranya ia dapat, dengan mudah menghadirkan semua ayat hukum Al-Qur’an yang berhubungan dengan topik peristiwa, serta sebab-sebab turun setiap ayat secara benar, juga atsar sebagai tafsir atau ta’wil ayat-ayat itu.Dari pengetahuan semua itu dapat ditemukan hukum suatu peristiwa. Ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an tidaklah banyak. Sebagian ulama tafsir telah mengelompokkan ayat-ayat dalam kitab tafsir yang khusus, sehingga memungkinkan jika ayat-ayat yang berhubungan satu topik, satu dengan yang lainnya dihimpun. Maka seseorang dengan mudah mengecek kembali ayat Al-Qur’an yang mengandung hukum-hukum mengenai thalaq, perkawinan, pewarisan, harta pusaka, pidana, mu’amalah dan macam-macam hukum Al-Qur’an lainnya. Terlebih lagi jika setiap ayat disebutkan keterangan yang benar tentang sebab-sebab turun ayat, hadits-hadits yang menjelaskan keglobalannya, dan hadits-hadits yang menafsirinya. Dengan demikian, himpunan undang-undang dalam Al-Qur’an itu menjadi mudah untuk dikembalikan sebagai reference ketika ada keperluan, dan mudah membandingkan pasal-pasal atau topik yang satu dengan yang lainnya. Setiap pasal dapat dipahami menurut keterangan topok-topiknya, karena Al-Qur’an itu sebagiannya menafsiri kepada sebagian yang lain. Suatu kesalahan jika ayat dari topik itu dipahami bahwa ia adalah kesatuan yang terpisah yang berdiri sendiri.

3. Hendaknya seseorang mempunyai pengetahuan Al-Sunnah. Artinya mengerti hukum-hukum syara’ yang ada dalam Al-Sunnah Nabawiyah, sehingga ia mampu menghadirkan hukum-hukum setiap bagian dari bagian-bagian perbuatan mukallaf yang ada dalam Al-Sunnah, dan mengerti tingkatan sanad sunnah itu dari segi keshahihan atau kelemahan riwayatnya. Para ulama telah mempunyai andil besar dalam penyusunan Sunnah Nabawiyah. Mereka mencurahkan perhatiannya untuk meneliti sanad-sanad dan para rawi setiap hadits Al-Sunnah itu. Sehingga ulama’ sesudah mereka, cukup mengadakan penelitian tentang sanad-sanadnya, sampai setiap hadits itu dikenal sebagai hadits mutawatir, masyhur, shahih, hasan, atau dho’if. Para ulama’ juga menaruh perhatian untuk menghimpun hadits-hadits hukum dan menyusunnya menurut bab-bab fiqh dan perbuatan mukallaf, sehingga manusia mudah kembali kepada keterangan yang ada dalam hadits shahih yang berupa hukum-hukum jual beli, thalaq, perkawinan, pidana dan lain-lainnya. Juga dapat kembali kepada ayat-ayat dan hadits-hadits yang membicarakan satu topik di antara topik-topik hukum. Dari penjelasan ayat-ayat dan hadits-hadits itu, diharapkan dapatlah dipahami hukum syara’. Di antara kitab-kitab yang paling baik untuk dijadikan marja’ (reference) dalam masalah ini, ialah kitab “Nailul Authar” karangan imam Asy Syaukani.

4. Hendaknya ia mengerti segi-segi qiyas. Yaitu mengerti ’illat dan hikmah pembentukan syari’at yang dengan itu disyari’atkan beberapa hukum. Mengerti hikmah syari’ah yang dibuat oleh Syari’ untuk mengetahui ‘illat-’illat hukum, dan memahami peristiwa kemanusiaan mu’amalah, sehingga orang itu mengerti sesuatu yang menjadi realisasi ‘illat hukum yang berupa peristiwa yang tidak ada nash, memahami kepentingan dan kebiasaan manusia, dan hal-hal yang menjadi sarana kebaikan juga kejahatan baginya. Sehingga apabila melalui qias seorang mujtahid tidak menemukan jalan untuk mengetahui hukum suatu peristiwa, dia mampu menempuh jalan lain yang telah dirintis oleh syari’at Islam, supaya dapat menemukan hukum dari peristiwa yang tidak ada nash (dalil ayat atau haditsnya) itu.

 

E.  Jenis-jenis Ijtihad Dilihat dari Tingkatannya

Untuk mengemukakan mana yang ijtihad istinbathi dan mana yang ijtihad tathbiqi, Al-Imam Muhammad Abu Zahroh mengemukakan martabat atau tingkatan mujtahid, sebagai berikut:

 

1. Al-Mujtahidun fis syar’i, yaitu mujtahid mutlak. Ini tingkatan pertama (tertinggi). Mereka itu memenuhi persyaratan-persyaratan ijtihad. Mereka mengeluarkan hukum-hukum dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, menjalani seluruh jalan untuk mencari dalil tanpa mengikut orang lain, dan mereka menentukan manhaj (pola) untuk diri mereka sendiri, dan menentukan furu’nya/ cabang-cabangnya. Mereka itu adalah para fuqoha’ sahabat semuanya, fuqoha’ tabi’in seperti Sa’id bin al-Musayyib, dan Ibrahim An-Nakha’i; para fuqoha’ Mujtahidin seperti: Ja’far Shodiq dan ayahnya (Muhammad Al-Baqir), Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, Ahmad, Al-Auza’i, Al-Laits bin Sa’id, Sufyan Ats-Tsauri, Abu Tsaur dan banyak lagi yang lainnya. Walaupun pendapat-pendapat mereka tidak sampai kepada kita secara kumpulan yang dibukukan, tetapi dalam pujian-pujian kitab-kitab berbagai fuqoha’ terdapat pendapat-pendapat mereka yang dinukil/ dikutip dengan riwayat yang tidak ada bukti kebohongannya dan bisa dipercaya kebenarannya.

2. Mujtahid Muntasib yaitu mujtahid pada tingkatan kedua. Mereka adalah mujtahid yang memilih perkataan-perkataan imamnya mengenai perkara yang pokok-pokok (ushul), dan mereka menyelisihi imamnya dalam perkara yang furu’ (cabang-cabang). Tingkatan yang kedua ini jelas terikat dengan manhaj, dan berijtihad dalam hal yang telah diijtihadi imam, baik menyepakatinya atau menyelisihinya. Yaitu berijtihad terhadap hal-hal (baru) yang belum dikemukakan.

3. Mujtahid dalam Madzhab. Mereka ini pada tingkatan ketiga. Mereka mengikuti imam baik mengenai ushul maupun furu’ dalam keadaan berhenti padanya. Pekerjaan mereka hanyalah dalam mengistinbathkan hukum-hukum masalah-masalah yang tidak ada riwayat (pengeluaran hukumnya) dari imam. Dan mereka itulah yang menurut pengikut Maliki bahwa tidak ada masa yang kosong dari keberadaan mujtahid jenis ini. Yaitu orang-orang yang mengatakan bahwa upaya mereka dalam ijtihad adalah tahqiqul manath, artinya tathbiqul ‘ilal fiqhiyyah (menerapkan illat fiqih) yang telah dikeluarkan oleh (mujtahid) pendahulu-pendahu mereka dalam masalah-masalah yang belum dibentangkan para pendahulu. Dan mereka tidak berijtihad dalam masalah-masalah yang telah dinashkan dalam madzhabnya kecuali dalam skup tertentu. Istinbath pendahulu mereka itu terbina dalam materi-materi ungkapan yang belum mencakup adanya kebiasaan di masa belakangan. Sekiranya para pendahulu itu melihat apa yang dilihat orang sekarang maka mereka pasti mengemukakan apa yang mereka katakan. Upaya mereka pada hakekatnya ada dua unsur: Pertama, mencari kesimpulan kaidah-kaidah yang telah ditetapkan imam-imam terdahulu, dan seluruh penerapan/ ketetapan fiqh umum yang terdiri dari illat-illat yang dikeluarkan oleh para imam yang kenamaan. Kedua, mengistinbathkan hukum-hukum yang belum dinashkan dengan membangunnya di atas kaidah-kaidah. Tingkatan ini adalah yang membebaskan fiqh madzhab, meletakkan dasar-dasar untuk pertumbuhan madzhab-madzhab, mentakhrijnya dan membinanya, dan meletakkan dasar-dasar tarjih, perbandingan antar pendapat-pendapat untuk menshahihkan sebagian dan melemahkan sebagian lainnya. Dan tingkatan inilah yang memberi ciri keberadaan fiqh setiap madzhab.

4. Mujtahidun dan Murjihun. Ini tingkatan keempat yaitu mereka tidak mengistinbathkan hukum furu’ yang belum diijtihadi para pendahulu dan belum diketahui hukumnya. Dan juga mereka tidak mengistinbathkan hukum masalah-masalah yang belum diketahui hukumnya, tetapi mereka mentarjih antara pendapat-pendapat yang diriwayatkan, dengan sarana tarjih yang telah diterapkan oleh para pendahulu terhadap mereka. Maka mereka menetapkan tarjih sebagian pendapat atas sebagian lainnya dengan (berdasarkan) kuatnya dalil atau kemaslahatan, untuk diterapkan sesuai keadaan masa dan semacamnya yang tidak termasuk istinbath baru secara mutlak ataupun mengikuti (yang lalu). Imam Nawawi dalam muqaddimah kitab Majmu’nya menyamakan tingkatan mujtahid keempat ini dengan tingkatan yang ketiga dalam satu tingkat.

5. Tingkatan muhafidhin, mereka tidak mentarjih tetapi mengetahui apa yang rajih/ kuat, dan menyusun derajat tarjih sesuai dengan yang telah ditarjih oleh para pentarjih. Mereka ini berhak berfatwa sebagaimana para pendahulu, tetapi skupnya sempit.

 

Abu Zuhrah mengemukakan, tingkatan satu sampai 4 itu adalah mujtahid, sedang tingkatan selanjutnya adalah muqollid dan tidak bisa naik ke tingkat ijtihad.

Pada tingkatan yang lalu itu, walaupun satu sampai 4 itu adalah tingkatan mujtahid, tetapi penjelasannya sebagai berikut:

Pertama: Tingkatan pertama itu adalah yang memiliki tingkatan ijtihad al-kamil almaufur/ sempurna lagi mumpuni.

Kedua; tingkatan ijtihad dalam masalah furu’ mutlaq (hanya masalah-masalah cabang), tidak ada baginya ijtihad dalam masalah ushul (pokok).

Ketiga: tingkat ketiga dan termasuk pula yang keempat yaitu yang berhak ijtihad dalam hal mengeluarkan Illat (sebab) dan manath hukum, dan menyatakan manath itu dalam masalah-masalah yang timbul padanya.

 

F. Ijtihad Tathbiqi

Setelah diketahui adanya tingkatan-tingkatan mujtahid, maka bisa disimpulkan, ijtihad isthinbathi adalah yang dilakukan oleh mujtahid muthlaq dan mujtahid muntasib. Yaitu memang mereka mengeluarkan hukum dengan istinbath (penyimpulan), tanpa ada yang mengistinbathkannya sebelumnya.

Berbeda dengan itu adalah ijtihad tathbiqi, yaitu mengeluarkan hukum sejenis dari yang telah dikeluarkan oleh para pendahulu, hanya saja kasusnya belum ada di masa pendahulu.

Di samping ijtihad tathbiqi itu bermakna seperti itu, masih pula ada yang berkaitan dengan tugas, misalnya sebagai khalifah ataupun qadhi, maka di antara tugasnya adalah menentukan peraturan perundang-undangan atau memutuskan perkara.

Kita lihat tugas khalifah, dalam hal ini kita jadikan acuan bahwa mereka bertugas menentukan hal-hal yang sifatnya ijtihadi dan mengikat. Ijtihadi dan sifatnya mengikat itulah tathbiqi. Sedang ijtihad istinbathi sifatnya tidak mengikat, boleh dilaksanakan boleh tidak.

Al-Mawardi mengemukakan tugas-tugas khalifah, dan ia menjadikan tugas nomor satu khalifah adalah:

Melindungi keutuhan agama sesuai dengan prinsip-prinsipnya yang telah ditetapkan, dan hal-hal yang disepakati oleh salaful ummah (generasi awal Islam). Apabila muncul pembuat bid’ah, atau orang sesat yang membuat syubhat tentang agama, ia menjelaskan hujjah kepadanya, menerangkan yang benar kepadanya, dan menindaknya sesuai dengan hak-hak dan hukum yang berlaku, agar agama tetap terlindungi dari segala penyimpangan, dan ummat terlindungi dari usaha penyesatan.

Di samping tugas utama seperti itu masih ada 9 tugas lagi bagi imam/ khalifah yaitu:

1. Menerapkan hukum kepada dua pihak yang berperkara.

2. Melindungi wilayah negara dan tempat-tempat suci.

3. Menegakkan hukum.

4. Melindungi daerah-daerah perbatasan.

5. Memerangi orang yang menentang Islam.

6. Mengambil fai’ dan sedekah (termasuk zakat).

7. Menentukan gaji dan keperluan baitul mal.

8. Mengangkat orang-orang terlatih untuk menjalankan tugas-tugas, dan orang-orang yang jujur untuk mengurusi keuangan, agar tugas-tugas dikerjakan oleh orang-orang ahli, sedang keuangan oleh orang-orang yang jujur.

9. Terjun langsung menangani aneka persoalan, memeriksa keadaan, agar ia sendiri yang memimpin umat dan melindungi agama.

Dari 10 tugas itu ada beberapa tugas yang memerlukan ijtihad yang sifatnya adalah tathbiqi (penerapan). Di antaranya menghukum orang yang sesat. Penentuan hukum dari khalifah tidak cukup hanya ditentukan, namun harus diterapkan; maka penerapan itulah namanya tathbiqi. Kalau hukumnya itu belum ada dan kemudian ia berijtihad, maka ijtihad di sini adalah istinbathi. Kemudian hasil ijtihadnya itu diterapkan ataupun jadi undang-undang maka itu tathbiqi.

Menentukan dan menghukumi pendapat orang sebagai pendapat yang sesat itu adalah ijtihad istinbathi bila belum pernah ada mujtahid yang mengistinbathkan sebelumnya. Kalau sudah pernah ada, hanya saja kasusnya berbeda tetapi ‘illatnya sama, lalu dikemukakan ‘illat itu untuk menentukan hukumnya, maka itu adalah ijtihad tathbiqi. Dan juga penerapan hukumnya itu adalah tathbiqi.

Contoh ijtihad istinbathi dan langsung tathbiqi/ diterapkan sebagai berikut:

Ada dua orang yang sedang berselisih. Lalu kedua orang tadi pergi menghadap Rasulullah saw meminta pengadilan. Rasulullah saw pun menyelesaikan perselisihan kedua orang tadi. Namun salah seorang dari mereka merasa kurang puas terhadap keputusan Rasulullah, kemudian ia mengatakan kepada lawannya: “Kalau begitu kita adukan ke Umar.”

Kedua orang tadi menghadap ke Umar dan menceritakan permasalahannya. Seusai mendengarkan masalahnya, Umar bangkit dari tempat duduknya sambil mengatakan:

“Diamlah kalian di tempat.” Umar masuk untuk mengambil pedangnya, kemudian keluar dan langsung mengayunkannya ke arah orang yang tidak puas tadi hingga akhirnya orang itu mati.

Kemudian peristiwa itu diberitahukan kepada Rasulullah saw. Beliau pun bersabda: “Saya kira tidak mungkin Umar memberanikan diri untuk membunuh seorang mukmin.”

Kemudian menurunkan ayat dalam surat An-Nisaa’ ayat 65 sebagai pernyataan untuk mengokohkan kebenaran pendapat Umar:

“Maka demi Tuhanmu mereka pada hakekatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka suatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS An-Nisa’: 65).

Rasulullah pun menghalalkan darah orang yang terbunuh itu dan Umar terbebas dari segala sanksi hukum.

Dalam hal ini Umar beranggapan bahwa perbuatan orang yang dibunuhnya menyebabkannya halal dibunuh.

 

BAB III.  KESIMPULAN

1. Ijtihad Istinbathi adalah ijtihad untuk mengeluarkan hukum mengenai masalah yang tidak ada nashnya atau ada nashnya tetapi dhanni (tidak bermakna pasti), dan hal yang diijtihadi itu belum ada pendahulu yang mengijtihadinya.

2. Ijtihad tathbiqi adalah ijtihad mengenai hal yang sudah tercakup dalam ijtihad pendahulu, namun kasusnya belum disebut oleh pendahulu sebab belum ada. Seandainya ada maka disebut pula. Maka ijtihad tathbiqi itu hanyalah mengeluarkan illat-illat atau tahqiqul manath disesuaikan dengan ijtihad pendahulu.

3. Ijtihad tathbiqi secara bahasa adalah menerapkan hasil ijtihad yang sudah ada, sehingga hasil ijtihad yang sifatnya tidak mengikat kalau dijadikan undang-undang maka sifatnya jadi mengikat. Pembuatan undang-undang ataupun penetapan keputusan untuk diekskusikan itu bisa disebut tathbiq. Dalam hal ini kalau baru berupa fatwa (sifatnya tidak mengikat) maka masih berupa istinbathi, tetapi kalau sudah jadi undang-undang atau dipakai oleh hakim untuk memutuskan perkara maka sifatnya mengikat untuk diterapkan, di sinilah bisa disebut tathbiq

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

  1. Bakry, Nazar, Fiqh dan Ushul Fiqh, 1996, PT. Raja Grafindo Persada.

2.      Habafie, Ushul Fiqh, 1961, Penerbit Wijaya, Jakarta.

  1. Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya,

4.      Abd. Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, 1972, DDII Pusat, Jakarta.

5.      Haki, Abdul Hamid, Al Bayan, 1955, Bukittinggi, Sumatera