BAB I
PENDAHULUAN
Al-Qur’an diturunkan dari sisi Yang Maha Pandai dan Maha Bijaksana. Dalam berita-beritanya tidak ada kecuali yang sesuai dengan kenyataan. Apabila orang-orang terhormat di kalangan masyarakat enggan berkata dusta dan menganggapnya sebagai perbuatan hina paling buruk yang dapat merendahkan martabat kemanusiaan. Maka bagaimana seseorang yang bakal dapat menghubungkan kedustaan kepada kalam yang paling Mulia dan Maha Agung?
’’Dan apa yang telah kami wahyukan kepada kamu yaitu Kitab (Al-Qur’an) itulah yang benar (hak) “ (Fatir [35] : 31)
’’Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah (Tuhan) yang hak dan sesungguhnya apa saja yang merekaseru selain Dia. Itulah yang bathil.” (Al-Hajj [22] : 62)
Dalam kisah-kisah Qur’ani terdapat lahan subur yang dapat membantu kesuksesan para pendidik dalam melaksanakan tugasnya dan membekali mereka dengan bekal kependidikan berupa peri hidup para Nabi, berita-berita tentang umat dahulu, sunnatullah dalam kehidupan masyarakat dan hal ihwal bangsa-bangsa.
Esensi Al-Qur’an sangatlah maha kaya dan holistik yang di dalamnya terdapat aturan-aturan dan tata cara dalam berbagai aspek kehidupan agar manusia dapat menjalankan fase kehidupan sesuai dengan perintah Allah SWT dan syari’at ajaran Islam. Selain itu juga Al-Qur;an diturunkan kepada Rasulullah SAW dengan bahasa arab yang jelas. Fenomena ini merupakan tuntutan sosial bagi keberhasilan risalah Islam. Dan pada saat itu bahasa arab menjadi satu bagian dari eksistensi Islam dan asas komunikasi penyampaian dakwahnya.
Akan tetapi banyak kendala yang dihadapi umat Islam di dunia pada waktu itu. Bahasa merupakan salah satu alasannya. Umat Islam yang tersebar di belahan negara-negara di dunia sulit untuk memahami wahana yang terkandung dalam setiap ayat-ayat Al-Qur’an.
Adapun salah satu cara untuk memecahkan problema tersebut yaitu dengan mempelajari dan memahami ilmu Tafsir, Ta’wil dan Terjemah. Ilmu tersebut merupakan jalan keluar bagi umat Islam agar dapat memahami dan mengerti isis dari kandungan Al-Qur’an.
BAB II
TAFSIR, TA’WIL DAN TERJEMAH
A. Tafsir
Kata tafsir dimabil dari kata fasara-yufasiru-tafsriun yang berarti keterangan atau uraian. Al-Durjani berpendapat bahwa kata tafsir menurut pengertian bahasa adalah al-Kasyif wa al-Ijhar yang artinya menyingkap (membuka) dan melahirkan.
Pada dasranya pengertian tafsir berdasarkan bahasa tidak akan lepas dari kandungan makna al-Idhah (menjelaskan), al-Bayan (menjelaskan), al-Kasyif (mengungkapkan), al-Idzhar (menampakan) dan al-Ibanah (menjelaskan).
Adapun tentang pengertian tafsir berdasarkan istilah, para ulama banyak memberikan komentar antara lain:
a. Menurut al-Kilabi dalam At-Tashil:
Artinya: “Tafsir adalah uraian yang menjelasikan, menerangkan maknanya dan menjelaskan apa yang dikehendaki dengan nash, isyarat dan tujuannya.”
b. Menurut Syaikh al-Jazairi dalam Shahib at-Taujih
Artinya: “Tafsir pada hakekatnya menjelaskan lafadz yang sukar dipahami oleh pendengar dengan mengemukakan lafadz sinonimnya atau makna yang mendekatinya, atau dengan jalan mengemukakan salah satu dilalah lafadz tersebut.”
c. Menurut Abu Hayan
Artinya: “Tafsir adalah ilmu mengenai cara pengucapan lafadz-lafadz Al-Qur’an serta cara mengungkapkan petunjuk, kandungan-kandung hukum, dan makna-makna yang terkandung di dalamnya.”
d. Menurut az-Zarkasyi
Artinya; “Tafsir adalah ilmu yang digunakan untuk memahami dan menejlaskan makna-makan kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi-Nya Muhammad SAW serta menyimpulkan kandunga-kandungan hukum dan hikmahnya.”
Berdasarkan beberapa rumuasan tafsir yang dikemukakan beberapa ulama tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa tafsir adalah suatu hasil usahan tanggapan, penalaran, dan ijtihad manusia untuk menyingkap nilai-nilai samawi yang terdapat dalam Al-Qur’an.
Model Penelitian Tafsir
1. Model Quraish Shihab
H.M. Quraish Shihab (lahir tahun 1944) pakar di bidang tafsir dan hadits se-Asia Tenggara telah banyak melakukan penelitian terhadap berbagai karya ulama terdahulu di bidang tafsir. Ia, misalnya telah meneliti tafsir karangan Muhammad Abduh dan H. Rasyid Ridla, dengan judul Studi Kritis Tafsir Al-Manar karya Muhammad Abduh dan Rasyid Ridla. Model Penelitian Tafsir yang dikembangkan oleh H. M. Quraish Shihab banyak bersifat Eksploratif, Deskriftif, Analitis dan perbandingan. Yaitu model penelitian yang berupaya menggali sejauh mungkin produk tafsir yang dilakukan ulama-ulama tafsir terdahulu berdasarkan berbagai literatur tafsir baik yang bersifat primer, yakni yang ditulis oleh ulama tafsir yang bersangkutan, maupun ulama lainnya. Data-data yang dihasilkan dari berbagai literatur tersebut kemudian dideskripsikan secara lengkap serta dianalisis dengan menggunakan pendekatan kategorisasi dan perbandingan.
2. Model Ahamd Al-Syarbashi
Pada tahun 1985 Ahmad Al-Syarbashi melakukan penelitian tentang Tafsir dengn menggunakan metode Deskriptif, eksploratif dan analisis sebagaimana halnya yang dilakukan Quraish Shihab. Sedangkan sumber yang digunakan adalah bahan-bahan bacaan atau perpustakaan yagn ditulis para ulama tafsir, seperti Ibn Jarir at-Tabari, al-Jamakhsari, Jalaludin As-Suyuthi, Ar-Raghib Al-Asyhafani, Al-Syatibi, H. Khalifah. Hasil penelitiannya itu mencakup tiga bidang. Pertama, mengenai sejarah penafsiran Al-Qur’an yang dibagi ke dalam tafsir pada masa Sahabat Nabi. Kedua, mengenai corak Tafsir, yaitu Tafsir Ilmiah, Tafsir Sufi dan Tafsir Politik. Ketiga, mengenai gerakan pembaruan di bidang Tafsir.
3. Model Syaikh Muhammad Al-Ghazali
Syaikh Muhammad Al-Ghazali dikenal sebagai pemikir Islam abad modern yang produktif. Salah satu hasil penelitian yang dilakukan oeleh Muhammad Al-Ghazali adlah berjudul Berdialog dengan Al-Qur’an. Tentang macam-macam metode memahami Al-Qur’an, Al-Ghazali membaginya ke dalam metode klasik dan metode modern dalam memahami Al-Qur’an. Selanjutnya, Muhammad Al-Ghazali mengemukakan ada juga tafsir yang bercorak dialogis seperti yang pernah dilakukan oleh Al-Razi dalam Tafsirnya Al-Tafsir Al-Kabir.
Klasifikasi Tafsir: Bi al-Ma’tsur dan Bi ar-Ra’yi
- Tafsir Bi al-Ma’tsur
Sebagaimana dijelaskan ats-Tsarmawi, tafsir bi al-Ma’tsur (disebut pula bi al-Riwayah dan an-Naql) adalah penafsiran al-Qur’an yang menjelaskan pada penjelasan Al-Qur’an Rasul, para Sahabat melalui Ijtihadnya, dan Aqwal Tabi’in. Jadi bila merujuk pada ayat di atas ada empat otoritas yang menjadi sumber penafsiran Bi al-Ma’tsur.
Pertama, AL-Qur’an sendiri yagn dipandang sebagai penafsir terbaik terhadap Al-Qur’an. Kedua, Otoritas hadits Nabi yang berfungsi sebagai penjelas (Mubayyin Al-Qur’an). Ketiga, penjelasan Sahabat yang dipandang sebagai orang yang banyak mengetahui Al-Qur’an. Keempat, otoritas penjelasan Tabi’in yang dianggap sebagai orang yang berpengaruh langsung dengan sahabat.
Bila Ibn Aqli dan Sya’bah mempersoalkan otoritas Nabi dan Sahabat, Quraish Shihab mencoba lebih dalam lagi mempersoalkan otoritas Nabi dan Sahabat. Menurutnya, penafsiran Nabi dan Sahabat dapat dibagi dalam dua kategori:
a. La Majal Li al-‘Aql Fihi (masalah yang diungkapkan bukan dalam wilayah nalar) seperti masalah metafisikan dan perincian ibadah.
b. Fi Majal al-‘Aql (dalam wilayah Nalar), seperti masalah kemasyarakatan.
Dalam pertumbuhannya, Tafsir bi Al-Ma’tsur menempuh tiga periode yaitu:
a. Periode I, yaitu pada masa Nabi, Sahabat dan permualan masa Tabi’in ketika tafsir belum ditulis dan secara umum periwayatannya masih secara lisan (Musyafahah).
b. Periode II, yaitu bermula dengan permodifikasian hadits secara resmi pada masa pemerintahan Umar bin Abd al-Aziz. Tafsir bi al-Ma’tsur ketika itu ditulis bergabung dengan penulisan hadits dan dihimpun dalam salah satu bab-bab hadits.
c. Periode III, dimulai dengan penyusunan kitab Tafsir bi al-Ma’tsur yang berdiri sendiri.
Diantara kitab yang dipandang menempuh corak bi al-Ma’tsur adalah:
a. Jami’ Al-Bayan Fit Tafsir Al-Qur’an, karya Ibn Jarir Ath-Thabari (wafat 310/923).
b. Anwar At-Tafsir, Karya Al-Badawi (wafat 685/1286).
c. Ad-Dur al-Mantsur fi At-Tafsir bi al-Ma’tsur, karya Jalal Ad-Diin As-Suyuthi (wafat 911/1505).
d. Tanwir al-Mikbas fit Tafsir Ibn Abbas, karya Fairuz Zabadi (wafat 817/1414).
e. Tafsir Al-Qur’an al-Adzim, karya Ibn Katsir (wafat 744/1373)
- Tafsir Bi Ar-Ra’yi
Berdasarkan pengertian etimologi Ra’yi berarti keyakinan (i’tiqad), analogi (qiyash) dan Ijtihad. Dan Ra’yi dalam terminologi Tafsir adalah Ijtihad. Dengan demrkian, tafsir bi ar-ra’yi (disebut juga tafsir bi ad-dirayah)-sebagaimana didefinisikan Hussein Adz-dzahabi adalah tafsir yang penjelasannya diambil berdasarkan ijtihad dan pemikiran Mufasir yang telah mengetahui bahasa Arab dan metodenya, dalil hukum yang ditunjukan ,serta problema penafsiran, seperti asbab an-nujul, nasikh mansukh, dan sebagainya. Farmawi mendefinisikan tafsir bi ar-ra’yi sebagai penafsiran Al-Qur’an dengan ijtihad setelah mufasir yang bersangkutan mengetahui metode yang digunakan orang-orang Arab ketika berbicara dan dia pun mengetahui kosakata Arab beserta muatan artinya
Mengenai keabsahan tafsir bi ar-ra’yi, para ulama berbeda pendapat, yang secara garis besar terbagi kedalam dua kelompok, yaitu:
a. Kelompok yang melarangnya.
Ulama yang menolak penggunaan corak tafsir ini mengemukakan argumentasi, seperti berikut ini:
-
- Menafsirkan Al-Qur’an berdasarkan ra’yi berarti membicarakan firman Allah tanpa pengetahuan. Dengan demikian, hasil penafsirannya hannya bersifat perkiraan semata.
- Yang berhak menjelaskan Al-Qur’an hanyalah Nabi, berdasarkan Firman Allah:
Artinya:
“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang trlah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” (Q.S An-Nahl [16] : 44)
-
- Rasulullah SAW berdabda:
Artinya:
“Siapa saja menafsirkan Al-Qur’an atas dasar pemikirannya semata,atau atas dasar sesuatu yang belum diketahuinya maka bersiap-siaplah mengambil tempat di neraka.
-
- Adanya tradisi dikalangan sahabat dan tabi’in untuk berhati-hati ketika berbicara tentang penafsiran Al-Qur’an .
b. Kelompok yang mengijinkannya.
Mereka mengemukakan argumentasi,sebagai berikut:
1. Dalam Al-Qr’an banyak ditemukan ayat-ayat yang menyerukan untuk mendalami Al-Qur’an. Firman Allah:
Artinya:
”Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an Ataukah hati mereka terkunci?” (Q.S. Muhammad [47]:24)
2. Seandainya tafsir bi ar-ra’yi itu dilarang, lalu mengapa ijtihad itu diperbolehkan?Nabi tidak menjelaskan setiap ayat Al-Qur’an Ini menunjukan bahwa umatnya diperbolehkan berijtihad terhadap ayat-ayat yang belum dijelaskan Nabi.
3. Para sahabat sering berselisih pendapat mengenai penafsiran suatu ayat. Ini menunjukan bahwa merekapun menafsirkan Al-Qur’an dengan ra’yi nya.
4. Rasulullah pernah berdo’a untuk ibn ‘Abbas. Do’a tersebut berbunyi:
“Ya Allah, berilah pemahaman kepada ibn ‘Abbas dan ajarilah ia takwil”
Keutamaan Tafsir
Tafsir adalah ilmu syari’at paling agung dan paling tinggi kedudukannya. Ia merupakan ilmu yang paling mulia obyek penbahasan dan tujuannya serta dibutuhkan.Obyek pembahasannya adalah Kalamullah yang merupakan sumber segala hikmah dan ‘tambang’ segala keutamaan.Tujuan utanmanya ubtuk dapat berpegang pada tali yang kokoh dan mencapai kebahagiaan yang hakiki. Dan kebutuhan terhadapnya sangat mendesak karena segala kesempurnaan agamawi dan duniawi haruslah sejalan dengan syara’ sedang kesejalanan ini sangat bergantung pada pengetahuan tentang kkitab Allah.
B. Takwil
Arti takwil menurut lughat berarti menerangkan, menjelaskan. Kata takwil diambil dari kata awwala-yu’awwilu-takwilan. Al-qhathan dan al-jurjani berpendapat bahwa arti takwil menueut llughat adalah aru-ruju’ ila al-ashl (kembali pada pokoknya).
Adapun mengenai arti arti takwil menurut istilah, banyak para ulama memberikan pendapatnya, antara lain:
a. Menurut al-Jurjani
“Memalingkan suatu lafaz dari makna dzahirnya terhadap makna yang dikandungnya apabila makna alternatif yang dipandangnya sesuai dengan ketentuan al-kitab dan as-sunah.
b. Menurut definisi lain
“Takwil adalah mengambalikan sesuatu kepada ghayahnya (tujuannya), Yakni menerangkan apa yang dimaksud.
c. Menurut Ulama salaf:
1. Menafsirkan dan menjelaskan makna suatu ungkapan, baik yang bersesuaian dengan lahirnya ataupun bertentangan. Definisi takwil seperti ini sama dengan definisi tafsir. Dalam pengartian ini, ath-thabari menggunakan istilah takwil didalam kitab tafsirnya.
2. Hakekat sebenarnya yang dikehendaki suatu ungkapan.
d. Menurut Ulama khalaf
“Mengalihkan suatu lafazh dari maknanya yang rajih kepada makna yang merajuh karena ada indikasi untuk itu”
Ringkasannya, pengartian takwil menurut istilah adalah suatu usaha untuk memahami lafazh-lafazh (ayat –ayat Al-Qur’an melalui pendekatan pemahaman arti yang dikandung oleh lafazh itu. Dengan kata lain, takwil berarti mengartikan lafazh dengan beberapa alternatif kandungan makna yang bukan merupakan makna lahirnya.
Perbedaan tafsir dan Takwil
Perbedaan Tafsir dan takwil disatu pihak dan terjemah dilain pihak adalah tafdir dan takwil berupaya menjelaskan makna setiap kata didalam Al-Qur’an,sedangkan terjemah hanya mengalihkan bahasa Al-Qur’an yang berasal dari bahasa Arab kedalam bahasa non Arab
Adapun perbedaan tafsir dan takwil itu sendiri dapat dijelaskan sebagai berikut :
Tafsir | Takwil |
1. Ar-raghif al-ashfahani :
Lebih umum dan lebih banyak digunakan untuk lafazh dan kosa kata dalam kitab-kitab yang diturunkan Allah dan kitab-kitab lainnya. 2. Menerangjkan makna lafazh yang tak menerima selain dari satu arti.
3. Al-Matiridi: Menetapkan apa yang dikehendaki ayat dan menetapkan seperti yang dikehendaki Allah.
4. Abu Thalib Ats-Tsa’labi: Menerangkan makna lafazh, baik berupa hakikat maupun majaz. |
1. Ar-raghif al-ashfahani:
Lebih banyak dipergunakan makna dan kalimat dalam kitab-kitab yang di turunkan Allah saja.
2. Menetapkan makna yang dikehendaki suatu lafazh yang dapat menerima banyak makna karena didukung oleh dalil. 3. Menyeleksi satu makna yang mungkin diterima oleh suatu ayat tanpa meyakinkan bahwa itulah yang dikehendaki Allah. 4. Abu Thalib Ats-Tsa’labi: Menafsirkan batin lafazh. 5. |