STUDI PEMIKIRAN ISLAM : FIQH

Posted: 03/05/2010 in Fiqh
Tag:, , , ,

STUDI PEMIKIRAN ISLAM :  FIQH

I.  LATAR BELAKANG MASALAH

Puji syukur ke hadirat Allah SWT, karena penulis telah menyelesaikan makalah ini. Dan tak lupa Shalawat beserta Salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada Junjunan Alam Nabi Muhammad SAW, kepada keluarga, Sahabat dan semoga pula sampai kepada kita semua selaku umat-Nya.

Ulama sependapat bahwa di dalam syariat Islam telah terdapat segala hukum yang mengatur semua tindak-tanduk manusia, baik perkataan maupun perbuatan. Hukum-hukum itu adakalanya disebutkan secara jelas serta tegas dan adakalanya pula hanya dikemukakan dalam bentuk dalil-dalil dan kaidah-kaidah secara umum. Untuk memahami hukum Islam dalam bentuk yang disebut pertama tidak diperlukan ijtihad, tetapi cukup diambil begitu saja dan diamalkan apa adanya, karena memang sudah jelas dan tegas disebut oleh Allah. Hukum Islam dalam bentuk ini disebut wahyu murni. Adapun untuk mengetahui hukum Islam dalam bentuk kedua diperlukan upaya yang sungguh-sungguh oleh para mujtahid untuk menggali hukum yang terdapat di dalam nash melalui pengkajian dan pemahaman yang menda;am. Keseluruhan hukum yang ditetapkan melalui cara seperti disebut terakhir ini disebut fiqih.[1]

Oleh karena itu, kami sebagai penulis mencoba menjelaskan bagaimana studi pemikiran islam mengenai fiqh. Yang selanjutnya akan dijelaskan dalam makalah berikut ini.

II.  PERUMUSAN MASALAH

Dengan melihat latar belakang yang telah dikemukakan, maka beberapa pokok masalah yang dapat penulis rumuskan dan akan dibahas dalam karya tulis ilmiah ini adalah

  1. Bagaimana pengertian fiqh?
  2. Bagaimana sejarah perkembangan ilmu fiqh?
  3. Apa saja yang menjadi objek kajian ilmu fiqh?
  4. DariMana Hukum-hukum Syar’i (Fiqh) Digali?
  5. Bagaimana Macam-macam hukum syar’i ?

III.  ANALISIS

  1. A. Pengertian Ilmu Fiqih

Dilihat dari sudut bahasa, fiqih berasal dari kata “faqaha” yang berarti “memahami” dan “mengerti”. Dalam peristilahan syar’I, ilmu fiqih dimaksudkan sebagai ilmu yang berbicara tentang hukum-hukum syar’I amali (praktis) yang penetapannya diupayakan melalui pemahaman yang mendalam terhadap dalil-dalilnya yang terperinci (baca: al-tafshili) dalam nash (Al-qur’an dan hadis).[2]

Fiqh menurut bahasa Arab ialah paham atau pengertian. Menurut istilah ialah ilmu untuk mengetahui hukum-hukum syara’ yang pada perbuatan anggota, diambil dari dalil-dalilnya yang tafsili (terinci).[3]

Fiqih atau fiqh (bahasa Arab:ﻓﻘﻪ) adalah salah satu bidang ilmu dalam syariat Islam yang secara khusus membahas persoalan hukum yang mengatur berbagai aspek kehidupan manusia, baik kehidupan pribadi, bermasyarakat maupun kehidupan manusia dengan Tuhannya[4]

Hukum syar’I yang dimaksud dalam definisi di atas adalah segala perbuatan yang diberi hukumnya itu sendiri dan diambil dari syariat yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Adapun kata ‘amali dalam definisi itu dimaksudkan sebagai penjelasan bahwa yang menjadi lapangan pengkajian ilmu ini hanya yang berkaitan dengan perbuatan (‘amaliyah) mukallaf dan tidak termasuk keyakinan atau itikad (‘aqidah) dari mukallaf itu. Sedangkan dalil-dalil terperinci (al-tafshili) maksudnya adalah dalil-dalil yang terdapat dan terpapar dalam nash dimana satu persatunya menunjuk pada satu hukum tertentu.[5]

Dalam versi lain, fiqih juga disebut sebagai koleksi (majmu’) hukum-hukum syariat yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf dan diambil dari dalil-dalilnya yang tafshili.[6] Dengan sendirinya, ilmu fiqih dapat dikatakan sebagai ilmu yang bicara tentang hukum-hukum sebagaimana disebutkan itu.

B. Sejarah Perkembangan Fiqh Islam[7]

1. Di Masa Rasulullah saw.

Rasulullah saw. semasa hidupnya menjadi referensi setiap muslim untuk mengetahui hukum agamanya. Baik hukum itu diambil dari Al-Qur’an maupun dari Sunnahnya; yang mencakup perbuatan, ucapan, dan ketetapannya. Hukum yang Rasulullah perintahkan adalah hukum Allah yang bersifat qath’iy meskipun berbentuk pemahaman terhadap ayat Al-Qur’an atau tafsirnya. Karena peran Rasulullah adalah menjelaskan Al-Qur’an. Firman Allah, “Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” (QS. An-Nahl: 44).

Namun para sahabat tidak selalu dekat dengan Rasulullah –karena di antara para sahabat ada yang musafir atau mukim di negeri yang jauh– sehingga tidak setiap saat bisa bertanya tentang hukum agama yang muncul. Lantas, apa yang bisa mereka lakukan jika ada masalah? Para sahabat berijtihad sebatas kemampuan dan pengetahuan mereka tentang hukum-hukum Islam dari prinsip-prinsip Islam yang bersifat umum. Sehingga ketika berjumpa dengan Rasulullah saw, mereka bertanya tentang apa yang dihadapi. Kemungkinan Rasulullah mengiyakan ijtihad mereka, atau meluruskan jika ada kesalahan. Tetapi Rasulullah tidak pernah sekalipun menolak prinsip ijtihad mereka.

Contohnya seperti yang dialami oleh Ammar bin Yasir. Ammar bin Yasir r.a. berkata, “Rasulullah mengutusku melaksanakan satu tugas, lalu saya junub dan tidak menemukan air. Kemudian aku berguling-guling di tanah seperti hewan. Kemudian aku menemui Nabi dan aku ceritakan hal ini, lalu Nabi bersabda: Sesungguhnya sudah cukup bagimu dengan kedua tanganmu. Lalu Nabi memukulkan tangannya ke tanah dengan sekali tepukan, kemudian mengusapkan yang kiri pada tangan kanan, punggung tangan dan wajahnya.” (HR. Asy-Syaikhani dengan redaksi Muslim).

Kadang sekelompok sahabat berbeda ijtihadnya sehinggga ketika masalah itu disampaikan kepada Rasulullah saw., Beliau menetapkan ijtihad yang benar dan menjelaskan kesalahan yang salah. Pernah juga Rasulullah saw. menerima dua ijtihad yang bertentangan, yaitu ketika Nabi memerintahkan kaum muslimin untuk berangkat ke Bani Quraidhah dengan sabda, “Janganlah ada seseorang yang shalat ashar kecuali di Bani Quraidhah.” (Selengkapnya hadits ini diriwayatkan oleh Al Bukhariy dalam Kitabul Maghaziy).

Kaum muslimin segera berangkat, dan waktu ashar hampir habis sebelum mereka sampai di Bani Quraidhah. Ada sebagian yang berijtihad dan shalat di jalan sehingga tidak ketinggalan waktu ashar. Mereka mengatakan bahwa Rasulullah saw. tidak menghendaki kita untuk mengakhirkan shalat ashar lewat waktunya. Dan yang lainnya berijtihad dengan tidak shalat ashar sehingga sampai di Bani Quraidhah sesuai dengan perintah Nabi, sehingga mereka shalat ashar setelah isya’. Maka ketika hal ini sampai kepada Nabi, Nabi tidak mengingkari kedua kelompok ini. Ini menunjukkan kemungkinan multi kebenaran hukum syar’i untuk satu masalah hukum.

2. Sejak Wafat Nabi Sampai Wafatnya Empat Imam Madzhab

Setelah Rasulullah saw. wafat dan wilayah-wilayah baru Islam sangat luas, mulailah kebutuhan ijtihad para sahabat meningkat tajam. Hal ini disebabkan oleh dua hal:

  1. Masuknya Islam ke masyarakat baru membuat Islam berhadapan dengan problema yang tidak pernah terjadi di masa Rasulullah saw., tidak ada wahyu yang turun, dan terdapat keharusan untuk mengetahui hukum agama dan penjelasannya.
  2. Seorang sahabat Nabi tidak mengetahui keseluruhan sunnah Nabi. Karena Rasulullah saw. menyampaikan atau mempraktekkan satu hukum syar’i di hadapan sebagian sahabat, atau bahkan di hadapan satu orang sahabat saja, tidak diliput oleh keseluruhan sahabat. Hal ini mendorong sebagian sahabat berijtihad dalam masalah yang tidak diketahuinya dari Rasulullah saw., pada saat yang sama mungkin sahabat lain menerima langsung hukum syar’i itu dari Rasulullah saw.

Jarak antara para sahabat yang berjauhan setelah wafatnya Umar bin Al Khaththab r.a., terbukalah ruang tampilnya dua madrasah (sekolah) yang berbeda dalam menggali fiqh:

  1. Madrasatul Hadits di Hijaz, disebut demikian karena kebanyakan mereka berpegang kepada riwayat hadits. Hijaz adalah lahan Islam pertama. Setiap penduduknya kadang memiliki satu hadits atau lebih. Sebagaimana tabiat dan problem masyarakat yang tidak mengalami banyak perubahan, sehingga tidak memerlukan ijtihad.
  2. Madrasatur-ra’yi di Kufah. Disebut demikian karena banyak menggunakan akal dalam mengenali hukum-hukum syar’i. Hal ini terpulang kepada sedikitnya hadits akibat sedikitnya sahabat di sana, dan karena banyaknya problema baru dalam masyarakat baru yang tidak ada dasarnya sama sekali.

Pada awalnya perbedaan antara dua madrasah itu sangat tajam. Hanya saja kemudian semakin menyempit bersamaan dengan perkembangan waktu, khususnya setelah hadits-hadits ditulis dan terbitkan dalam bentuk buku (pembukuan buku-buku hadits). Ditambah oleh keseriusan para ulama untuk menyaring dan menjelaskan mana yang shahih, dhaif (lemah), dan palsu, sehingga tidak banyak membutuhkan pendapat kecuali ketika tidak ada nash untuk satu masalah yang timbul. Adapun berijtihad dalam alur nash itu sendiri sudah ada di Madrasatul Hadits sebagaimana terdapat di Madrasatur-ra’yi.

Pada fase inilah terjadi perkembangan fiqh yang sangat besar dan menjadi satu ilmu tersendiri dengan menampilkan ulama-ulama besar yang terkenal. Mereka adalah ulama empat madzhab, yaitu:

  1. Abu Hanifah, An-Nu’man bin Tsabit (80-150 H) dikenal dengan sebutan Al-Imam Al-A’zham (ulama besar), berasal dari Persia. Pemegang kepemimpinan ahlur-ra’yi, pencetus pemikiran istihsan (menganggap baik sesuatu), dan menjadikannya sebagai salah satu sumber hukum Islam. Kepadanyalah Madzhab Hanafi dinisbatkan.
  2. Malik bin Anas Al-Ashbahi (93-179 H). Dialah Imam Ahli Madinah yang menggabungkan antara hadits dan pemikiran dalam fiqihnya. Dialah pencetus istilah al-mashalih al-mursalah (kebaikan yang tidak disebutkan dalam teks) dan menjadikannya sebagai sumber hukum Islam. Kepadanyalah Madzhab Maliki dinisbatkan.
  3. Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i Al-Qurasyi (150-204 H). Madzhabnya lebih dekat kepada ahlul hadits, meskipun ia banyak mengambil ilmu dari pengikut Abu Hanifah dan Malik bin Anas. Kepadanyalah Madzhab Syafi’iy dinisbatkan.
  4. Ahmad bin Hanbal Asy-Syaibaniy (164-241 H). Dia adalah murid Imam Syafi’i, dan madzhabnya lebih dekat kepada ahlul hadits.

Dan kenyataannya sebelum munculnya para imam ini, bersama dan sesudah mereka itu, terdapat ulama-ulama besar yang tidak kalah perannya, terutama ulama di kalangan sahabat, seperti Abdullah ibn Mas’ud, Abdullah ibn Abbas, Abdullah ibn Umar, dan Zaid bin Tsabit. Demikian juga ulama di masa tabi’in seperti Said bin Musayyib, Atha’ bin Abi Rabah, Ibrahim an-Nakha’iy, Al-Hasan Al-Bashriy, Mak-hul, dan Thawus. Kemudian para gurunya empat imam madzhab itu, dan ulama semasanya seperti Imam Ja’far Ash-Shadiq, Al-Auza’iy, Ibnu Syubrumah, Al-Laits bin Sa’d, dan lain-lain.

Akan tetapi empat Imam Madzhab itu memiliki para pengikut yang merangkum pendapatnya, merapikannya, menjelaskannya, atau meringkasnya untuk disajikan dengan mudah kepada kaum muslimin. Sehingga, kaum muslimin dapat memperoleh apa saja yang membantunya memahami hukum Islam dengan tersusun rapi. Kemudian diajarkan di masjid-masjid beberapa tahun. Demikianlah sehingga menjadi pondasi bagi kehidupan kaum muslimin, membuatnya sudah cukup sehingga mereka tidak perlu merujuk kepada buku-buku tafsir, atau hadits untuk mengetahui hukum Islam karena telah disajikan dengan methode madzhab fiqh yang instant.

3. Sejak Wafatnya Empat Imam Madzhab Sampai Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah

Kaum muslimin menerima empat madzhab dengan talaqqi, dan menjadikannya sebagai pegangan fiqh Islam. Para ulama mempelajari dan mengajarkannya. Mulailah fiqh menyebar luas dari terapi masalah sampai pada analisis kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. Kajian-kajian fiqh tersebar luas, dan mulai muncul fanatik madzhab yang menjadikan pengikut suatu madzhab menganggap dirinyalah yang Islam, dari yang semula hanya merupakan hukum dan pendapat yang berkembang dalam batas-batas ajaran Islam yang luas. Kemudian para ulama empat madzhab itu mengeluarkan fatwa tentang tertutupnya pintu ijtihad, sehingga orang-orang yang tidak berkompeten tidak masuk ke wilayah ini, lalu diikuti oleh orang-orang awam sehingga umat Islam berada dalam gelombang ketidakpastian yang menghapus apa yang sudah dibangun oleh para ulama besar sebelumnya.

Demikianlah sehingga berubah kepada taqlid. Para ulama mengarahkan usahanya untuk mencari dalil atas pendapat-pendapat madzhab, berijtihad di dalam madzhab, mentarjih antara pendapat yang berbeda-beda dalam satu madzhab. Jadilah fiqh berputar dalam dirinya sendiri. Seorang ulama fiqh mensyarah (menjelaskan) kitab fiqh imam sebelumnya dengan penjelasan rinci berjilid-jilid besar, lalu datang ulama berikutnya yang meringkasnya, kemudian ada yang memberikan ta’liq (catatan) atas ringkasan itu untuk menguraikan sebagian ketidakjelasan, lalu ada yang menulis hasyiyah (catatan pinggir)-nya, kemudian ada yang kembali menguraikannya dengan detail.

Demikianlah fiqh mengalami kejumudan untuk menguraikan realitas yang ada. Terjadi pembengkakan kajian masalah ibadah sementara masalah-masalah politik Islam, masalah mu’amalat. Sehingga ketika terjadi serangan Barat terhadap negeri Islam pada akhir abad sembilan belas ditemukan banyak sekali orang-orang yang sudah kalah jiwanya, lalu menerima banyak sekali pikiran Barat yang bertentangan dengan syari’at Islam dan menanggalkan atribut ke-Islam-an. Sehingga ada seorang tokoh yang berfatwa memperbolehkan uang riba untuk memberi makan anak-anak yatim, mengesahkan aturan yang menyamakan hak laki-laki dan wanita dalam memperoleh harta warisan.

Buah dari fanatik madzhab adalah kejumudan fiqh yang melatarbelakangi runtuhnya Khilafah Utsmaniyah. Pada masa itu memang ada ulama yang menyerukan untuk menolak taqlid. Banyak juga di antara ulama madzhab yang berijtihad dan berbeda dengan pendapat madzhabnya, dengan mentarjih pendapat madzhab lainnya. Tetapi terpaku dengan satu madzhab fiqh menjadi cirri menonjol mayoritas umat Islam saat itu, terutama ketika ada suara dari sebagian pengikut madzhab yang fanatik melarang pindah ke madzhab lain.

4. Sejak Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah Sampai Hari Ini

Fase ini ditandai dengan semakin luasnya perbedaan antara dua madrasah fiqh:

Al-Madrasah Al-Madzhabiyyah, yaitu madrasah pengikut empat madzhab yang menganggap telah tertutupnya pintu ijtihad, dan keharusan seorang muslim untuk konsisten dengan salah satu dari empat madzhab.

Al-Madrasah As-Salafiyah, yaitu madrasah yang menghendaki kembali langsung kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, melarang seorang muslim taqlid dalam masalah furu’, mewajibkannya berijtihad, mengkaji, dan mengambil langsung dari teks Al-Qur’an dan Sunnah.

Memang pertarungan ini sudak ada sejak fase sebelumnya, namun pada fase ini pertarungan itu semakin tajam dan meluas; dan menjadi tema penting dalam diskusi-diskusi antara para ulama dan pencari ilmu, bahkan di kalangan awam. Pendukung masing-masing madrasah menulis buku, menyebarkan artikel untuk mendukung pandangannya.

C.  Dari Mana Hukum-hukum Syar’i (Fiqh) Digali?

Kaum muslimin telah bersepakat bahwa referensi dasar setiap muslim untuk menggali hukum-hukum Islam adalah Kitabullah dan Sunnah Rasul. Perbedaan pendapat terjadi pada sumber-sumber hukum lainnya, yaitu ijam’, qiyas, istihsan, maslahah mursalah, dan al-urf (adab kebiasaan).

Kenyataannya sumber-sumber yang berbeda-beda ini tetap merujuk kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul juga. Dari itulah dapat dikatakan bahwa Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah dua referensi setiap muslim untuk mengetahui hukum Islam. Hal ini tidak berarti kita menolak sumber hukum lainnya, karena sumber-sumber hukum yang lain itu pun merujuk kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah.[8]

D. Kajian Objek Ilmu Fiqih

Pada pokoknya, yang menjadi objek pembahasan dalam ilmu fiqih adalah perbuatan mukallaf dilihat dari sudut hukum syara’.[9] Perbuatan tersebut dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok besar: ibadah, mu’amalah, dan ‘uqubah.

Pada bagian ibadah tercakup segala persoalan yang pada pokoknya berkaitan dengan urusan akhirat. Artinya, segala perbuatan yang dikerjakan dengan maksud mendekatkan diri kepada Allah, seperti shalat, puasa, haji, dan lain sebagainya.

Bagian mu’amalah mencakup hal-hal yang berhubungan dengan harta, seperti jual-beli, sewa-menyewa, pinjam-meminjam, amanah, dan harta peninggalan. Pada bagian ini juga dimasukkan persoalan munakahat dan siyasah.

Bagian ‘uqubah mencakup segala persoalan yang menyangkut tindak pidana, seperti pembunuhan, pencurian, perampokkan, pemberontakan, dan lain-lain. Bagian ini juga membicarakan hukuman-hukuman, seperti gisas, had, diyat, dan ta’zir.

Kemudian, bila diperhatikan secara cermat, objek pembahasan fiqih dapat diperinci lagi kepada delapan bagian berikut ini :

  1. Kumpulan hukum yang digolongkan ke dalam ibadah, yaitu shalat, puasa, zakat, haji, jjihad, dan nazar.
  2. Kumpulan hukum yang berkaitan dengan masalah keluarga, seperti perkawinan, talak, nafkah, wasiat, dan pusaka. Hukum seperti ini sering disebut al-ahwal al-syakhshiyah.
  3. Kumpulan hukum mengenai mu’amalah madiyah (kebendaan), seperti hukum-hukum jual-beli, sewa-menyewa, utang-piutang, gadai, syufa’ah, hiwalah, mudharabah, memenuhi akad atau transaksi, dan menunaikan amanah.
  4. Kumpulan hukum yang berkaitan dengan harta Negara, yaitu kekayaan yang menjadi urusan baitul mal, penghasilannya, macam-macam harta yang ditempatkan dan di baitul mal, dan atempat-tempat pembelanjaannya. Hukum ini termasuk ke dalam al-Siyasah.
  5. Kumpulan hukum yang dinamai ‘uqubat, yaitu hukum-hukum yang disyariatkan untuk memelihara jiwa, kehormatan, dan akal manusia, seperti hukum qiyas, had, dan ta’zir.
  6. Kumpulan hukum yang termasuk ke dalam hukum acara, yaitu hukum-hukum mengenai peradilan, gugatan, pembuktian dan lain sebagainya.
  7. Kumpulan hukum yang tergolong kepada hukum tatanegara seperti syarat-syarat menjadi kepala Negara, hak-hak penguasa dalam lingkup al-Siyasah.
  8. Kumpulan hukum yang sekarang disebut sebagai hukum internasional. Termasuk ke dalamnya hukum perang, tawanan, perampasan perang, perdamaian, perjanjian tebusan, cara menggauli ahl-zimmah dan lain sebagainya.[10] Ini juga termasuk dalam lingkup al-Siyasah.

Oleh karena itu, ulama fiqih dalam membicarakan perbuatan-perbuatan orang mukallaf seperti di atas bertujuan untuk mengetahui apa hukum (syar’i)nya bagi masing-masing perbuatan tersebut.[11]

Al-Fiqh adalah sekumpulan hukum syar’i yang wajib dipegangi oleh setiap muslim dalam kehidupan praktisnya. Hukum-hukum ini mencakup urusan pribadi maupun sosial, meliputi:

  1. Al-Ibadah, yaitu hukum yang berkaitan dengan shalat, haji dan zakat.
  2. Al-Ahwal asy-Syahsiyyah, yaitu hukum yang berkaitan dengan keluarga sejak awal sampai akhir.
  3. Al-Mu’amalat, yaitu hukum yang berkaitan dengan hubungan antar manusia satu dengan yang lain seperti hukum akad, hak kepemilikan, dan lain-lain.
  4. Al-Ahkam as-Sulthaniyah, yaitu hukum yang berkaitan dengan hubungan negara dan rakyat.
  5. Ahakmus silmi wal harbi, yaitu yang mengatur hubungan antar negara.

Sesungguhnya kompleksitas fiqh Islam terhadap masalah-masalah ini dan sejenisnya menegaskan bahwa Islam adalah jalan hidup yang tidak hanya mengatur agama, tetapi juga mengatur negara.

E.  Macam-macam Hukum Syar’i

Hukum Syar’i ada dua macam, yaitu:[12]

1. Qath’iy, yaitu sekumpulan hukum yang ditunjukkan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan kesimpulan yang qath’iy (pasti), seperti:

• Kewajiban shalat, dari firman Allah.: وأقيموا الصلاة

• Kewajiban puasa, dari firman Allah: فمن شهد منكم الشهر فليصمه

• Kewajiban zakat, dari firman Allah: وآتوا الزكاة

• Kewajiban haji, dari firman Allah: ولله على الناس حج البيت

• Larangan riba, dari firman Allah: وذروا ما بقي من الربا

• Larangan zina dari firman Allah: ولا تقربوا الزنا

• Larangan khamr, dari firman Allah: فاجتنبوه لعلكم تفلحون

• Kedudukan niat, karena sabda Nabi: إنما الأعمال بالنيات

Hukum syar’i yang bersifat qath’iy ini tidak ada peluang khilaf (beda pendapat) di antara kaum muslimin di level ulama, madzhab, dan umat secara umum. Sebab, semua itu adalah hukum-hukum agama yang secara aksiomatis diterima sebagai dharuriyyat (kepastian). Dan jumlahnya relatif lebih kecil dibandingkan dengan hukum syar’i yang zhanniy.

2. Zhanny, meliputi, pertama, sekumpulan hukum yang ditunjukkan oleh Al-Qur’an dan as-Sunnah dengan kesimpulan zhanniy (hipotesa); dan kedua, sekumpulan hukum yang digali oleh para ulama dari sumber-sumber syar’i yang lain dengan berijtihad.

III.   KESIMPULAN

  1. Ilmu fiqih adalah ilmu yang berbicara tentang hukum-hukum syar’i amali (praktis) yang penetapannya diupayakan melalui pemahaman yang mendalam terhadap dalil-dalilnya yang terperinci (baca: al-tafshili) dalam nash (Al-qur’an dan hadis).
  2. Sejarah perkembangan ilmu fiqh dibagi menjadi 4 fase, yakni
    1. Di Masa Rasulullah saw.
    2. Sejak Wafat Nabi Sampai Wafatnya Empat Imam Madzhab
    3. Sejak Wafatnya Empat Imam Madzhab Sampai Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah
    4. Sejak Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah Sampai Hari Ini
  1. Objek pembahasan fiqih dapat diperinci lagi kepada delapan bagian berikut ini :
    1. Kumpulan hukum yang digolongkan ke dalam ibadah
    2. Kumpulan hukum yang berkaitan dengan masalah keluarga
    3. Kumpulan hukum mengenai mu’amalah madiyah (kebendaan)
    4. Kumpulan hukum yang berkaitan dengan harta Negara
    5. Kumpulan hukum yang dinamai ‘uqubat,
    6. Kumpulan hukum yang termasuk ke dalam hukum acara,
    7. Kumpulan hukum yang tergolong kepada hukum tatanegara
    8. Kumpulan hukum yang sekarang disebut sebagai hukum internasional.
  2. Kaum muslimin telah bersepakat bahwa referensi dasar setiap muslim untuk menggali hukum-hukum Islam adalah Kitabullah dan Sunnah Rasul. Perbedaan pendapat terjadi pada sumber-sumber hukum lainnya, yaitu ijam’, qiyas, istihsan, maslahah mursalah, dan al-urf (adab kebiasaan).
  3. Hukum Syar’i ada dua macam, yaitu:
    1. Qath’iy, yaitu sekumpulan hukum yang ditunjukkan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan kesimpulan yang qath’iy (pasti).
    2. Zhanny, meliputi, pertama, sekumpulan hukum yang ditunjukkan oleh Al-Qur’an dan as-Sunnah dengan kesimpulan zhanniy (hipotesa); dan kedua, sekumpulan hukum yang digali oleh para ulama dari sumber-sumber syar’i yang lain dengan berijtihad.

DAFTAR PUSTAKA

Khallaf, Abd. Al-Wahab, 1972. Ilmu Ushul Fiqih, Al-Majelis al a’la al Indonesia li Al-Dakwah al-Islamiyah, Jakarta.

Shiddiqy, Hasbi As, 1967, Pengantar Ilmu Fiqih, CV. Mulia, Jakarta.

Karim, A. Syafi’I, 2006, Fiqih dan Ushul Fiqih, CV. Pustaka setia, Bandung.

Rasjid, Sulaiman. 2002. Fiqh Islam. Bandung : Sinar Baru Algesindo

Al Qur’an dan Terjemahan. 2003. Bandung : CV. Diponegoro.

www.dakwatuna.com

http://www.wikipedia.com


[1] Lihad Abd. Al-Wahab Khallaf, Ilmu Ushul fiqih, (Jakarta: Al-Majlis al-A’la al-Indonesia li al-Dakwah al-Islamiyah, 1972) hlm 11, selanjutnya disebut khallaf.

[2] Lihat dan bandingkan, Hasbi Al-Shiddiqy, Pengantar Ilmu Fiqih, (Jakarta: CV. Mulia, 1967) hlm. 17, lihat juga Pengantar Ilmu Fiqih, (Jakarta: Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama/IAIN. 1981) hlm. 10, dan khallaf, Loc.cit

[3] Rasjid, Sulaiman. 2002. Fiqh Islam. Bandung : Sinar Baru Algesindo

[4] http://www.wikipedia.com

[5] Kuliah dengan Dr. Satria Efendi M. Zein dan Dr. M. Agil Munawwar, (Jakarta: Pasca Sarjana IAIN Syahid, masing-masing tahun 1990 dan 1991).

[6] Khallaf, loc, cit.

[7] http://www.dakwatuna.com

[8] http://www.dakwatuna.com

[9] Khallaf, loc. cit

[10] Lihat HAsbi Al-Shiddiqy, Pengantar Hukum Islam I, (Jakarta: Bulan bintang, 1975)hlm. Selanjutnya disebut Al-Shiddiqy, Pengantar.

[11] Khallaf, loc.cit

[12]

Komentar
  1. Alifah berkata:

    Trimakasih makalahnya,sangat bermanfaat buat sy bikin makalah

Tinggalkan Balasan ke Alifah Batalkan balasan