ILMU FARAIDH: SEJARAH, DASAR HUKUM, DAN URGENSINYA

Posted: 05/05/2010 in Fiqh
Tag:, ,

ILMU FARAIDH: SEJARAH, DASAR HUKUM, DAN URGENSINYA

I.  PENDAHULUAN

“Pelajarilah Al-Qur’an dan ajarkan kepada orang-orang, dan pelajarilah ilmu faraidh dan ajarkan kepada orang-orang. Karena aku adalah orang yang bakal direnggut (mati), sedang ilmu itu bakal diangkat (hilang). Hampir-hampir saja ada dua orang yang bertengkar tentang pembagian harta warisan, tetapi mereka tidak menemukan seorang pun yang mampu memberitahukan kepada mereka.”
(H.R. Ahmad, An-Nasa’i, dan Ad-Daruquthni)

Tulisan ini merupakan pengantar untuk memahami seluk-beluk ilmu faraidh. Dalam tulisan ini, pembahasan hanya sampai pada pengertian ilmu faraidh, sejarah perkembangan, dasar hukum, dan kepentingannya. Harapan penulis, ilmu ini tidak (lagi) dijadikan momok yang menakutkan dengan alasan sulit mempelajarinya (seperti halnya pelajaran matematika), bahkan hendaknya mulai sekarang juga, umat Islam menetapkan niat yang ikhlas untuk mempelajarinya, dan untuk kemudian mengamalkannya dan mengajarkannya kepada orang lain.

II. PEMBAHASAN

A.  Pengertian Ilmu Faraidh

Kata faraidh adalah bentuk jamak dari faridhah. Faridhah diambil dari kata fardh yang artinya taqdir (ketentuan). Fardh secara syar’i adalah bagian yang telah ditentukan bagi ahli waris. Ilmu mengenai hal itu dinamakan “ilmu waris” atau “ilmu miirats” atau “ilmu mawaris” atau “ilmu faraidh”. Dalam tulisan ini, penulis menggunakan istilah “ilmu faraidh”.

Prof. Dr. Amir Syarifuddin menggunakan istilah “hukum kewarisan Islam” berkaitan dengan ilmu faraidh, dan mendefinisikannya sebagai berikut: “seperangkat peraturan tertulis berdasarkan wahyu Allah SWT dan sunnah Nabi SAW tentang hal ihwal peralihan harta atau berwujud harta dari yang telah mati kepada yang masih hidup, yang diakui dan diyakini berlaku dan mengikat untuk semua yang beragama Islam.”

B.  Sejarah Faraidh

Pada masa Arab jahiliyah sebelum kedatangan Nabi Muhammad SAW, waris-mewarisi terjadi karena tiga sebab, yaitu karena adanya pertalian kerabat (hubungan darah, qarabah), pengakuan atau sumpah-setia (muhalafah), dan pengangkatan anak (adopsi, tabanniy). Sebab-sebab itu masih belum mencukupi sebelum ditambah lagi dengan dua syarat, yaitu sudah dewasa dan orang laki-laki.

Anak-anak pada masa itu tidak mungkin menjadi ahli waris karena dianggap tidak mampu berjuang, memacu kuda, memainkan pedang untuk memancung leher lawan dalam membela suku dan marga, di samping status hukumnya yang masih berada di bawah perlindungan walinya. Sementara itu, kaum perempuan tersisih dari kelompok ahli waris karena fisiknya yang tidak memungkinkan untuk memanggul senjata dan bergulat di medan laga serta jiwanya yang sangat lemah melihat darah tertumpah. Dengan demikian, para ahli waris jahiliyah dari golongan kerabat semuanya terdiri dari laki-laki, yaitu anak laki-laki, saudara laki-laki, paman, dan anak paman yang semuanya harus sudah dewasa.

Pengakuan yang berupa ucapan atau sumpah-setia antara dua orang yang mengikatkan keduanya sehingga dapat saling mewarisi juga dibenarkan sebagai sebab mewarisi. Ucapan itu misalnya seseorang mengatakan kepada orang lain, “Darahku darahmu, pertumpahan darahku pertumpahan darahmu, perjuanganku perjuanganmu, perangku perangmu, damaiku damaimu, kamu mewarisi hartaku aku pun mewarisi hartamu ….” Kemudian jika orang lain itu menyetujuinya, maka kedua orang itu berhak saling mewarisi. Hal ini sampai masa awal-awal Islam masih berlaku, dan masih dibenarkan menurut Surat An-Nisa’: 33.

Pada masa jahiliyah, pengangkatan anak menyebabkan anak itu dijadikan dan berstatus sebagai anak kandung bagi orang yang mengangkatnya dan dinasabkan kepada bapak angkatnya, bukan kepada bapak kandungnya. Ini berarti, seorang anak laki-laki yang menjadi anak angkat, jika telah dewasa dapat menjadi ahli waris dari bapak angkatnya.

Pada masa awal-awal Islam ada lagi sebab untuk mewarisi, yaitu karena ikut hijrah dari Mekkah ke Madinah, dan karena persaudaraan (muakhkhah) antara kaum Muhajirin dan Anshar. Pada masa itu, Rasulullah SAW mempersaudarakan sesama kaum Muhajirin dan antara kaum Muhajirin dan Anshar, dan menjadikan persaudaraan ini sebagai salah satu sebab untuk saling mewarisi harta peninggalan. Hijrah dan muakhkhah pada masa itu dibenarkan oleh Allah SWT menurut Surat Al-Anfal: 72.

Setelah penaklukan kota Mekkah (futuh Makkah) pada tahun ke-8 hijriyah, seiring kondisi umat Islam yang sudah mulai kuat dan stabil, maka kewajiban hijrah dicabut sesuai dengan hadits Nabi SAW, “Tidak ada kewajiban berhijrah lagi setelah penaklukan kota Mekkah.” Demikian pula, sebab mewarisi karena muakhkhah dihapuskan oleh Allah melalui Surat Al-Ahzab: 6.

ÓÉ<¨Z9$# 4’n<÷rr& šúüÏZÏB÷sßJø9$$Î/ ô`ÏB öNÍkŦàÿRr& ( ÿ¼çmã_ºurø—r&ur öNåkçJ»yg¨Bé& 3 (#qä9’ré&ur ÏQ%tnö‘F{$# öNåkÝÕ÷èt/ 4†n<÷rr& <Ù÷èt7Î/ ’Îû É=»tFÅ2 «!$# z`ÏB šúüÏZÏB÷sßJø9$# tûï̍Éf»ygßJø9$#ur HwÎ) br& (#þqè=yèøÿs? #’n<Î) Nä3ͬ!$uŠÏ9÷rr& $]ùrã÷è¨B 4 šc%Ÿ2 y7Ï9ºsŒ ’Îû É=»tGÅ6ø9$# #Y‘qäÜó¡tB ÇÏÈ

Artinya : ”Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri[1] dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka. dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris-mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmim dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu berbuat baik[2] kepada saudara-saudaramu (seagama). adalah yang demikian itu Telah tertulis di dalam Kitab (Allah).” (Q.S. Al-Ahzab : 6)

Selanjutnya, Allah membatalkan aturan yang menyatakan bahwa hanya laki-laki dewasa yang dapat menjadi ahli waris, tidak termasuk wanita dan anak-anak, melalui Surat An-Nisa’: 7, 11, 12, 127, dan 176.

ÞOä3ŠÏ¹qムª!$# þ’Îû öNà2ω»s9÷rr& ( ̍x.©%#Ï9 ã@÷VÏB Åeáym Èû÷üu‹sVRW{$# 4 bÎ*sù £`ä. [ä!$|¡ÎS s-öqsù Èû÷ütGt^øO$# £`ßgn=sù $sVè=èO $tB x8ts? ( bÎ)ur ôMtR%x. Zoy‰Ïmºur $ygn=sù ß#óÁÏiZ9$# 4 Ïm÷ƒuqt/L{ur Èe@ä3Ï9 7‰Ïnºur $yJåk÷]ÏiB â¨ß‰¡9$# $£JÏB x8ts? bÎ) tb%x. ¼çms9 Ó$s!ur 4 bÎ*sù óO©9 `ä3tƒ ¼ã&©! Ó$s!ur ÿ¼çmrO͑urur çn#uqt/r& ÏmÏiBT|sù ß]è=›W9$# 4 bÎ*sù tb%x. ÿ¼ã&s! ×ouq÷zÎ) ÏmÏiBT|sù â¨ß‰¡9$# 4 .`ÏB ω÷èt/ 7p§‹Ï¹ur ÓÅ»qム!$pkÍ5 ÷rr& AûøïyŠ 3 öNä.ät!$t/#uä öNä.ät!$oYö/r&ur Ÿw tbrâ‘ô‰s? öNßg•ƒr& Ü>tø%r& ö/ä3s9 $YèøÿtR 4 ZpŸÒƒÌsù šÆÏiB «!$# 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $¸JŠÎ=tã $VJŠÅ3ym ÇÊÊÈ

Artinya : ”Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan[3]; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua[4], Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. An-Nisa : 11)

Sebab mewarisi atas dasar sumpah-setia pun kemudian dihapuskan Allah melalui Surat Al-Anfal: 75. Dan terakhir, kewarisan karena adopsi dibatalkan oleh Allah berdasarkan Surat Al-Ahzab: 4, 5, dan 40.

$¨B Ÿ@yèy_ ª!$# 9@ã_tÏ9 `ÏiB Éú÷üt7ù=s% ’Îû ¾ÏmÏùöqy_ 4 $tBur Ÿ@yèy_ ãNä3y_ºurø—r& ‘Ï«¯»©9$# tbrãÎg»sàè? £`åk÷]ÏB ö/ä3ÏG»yg¨Bé& 4 $tBur Ÿ@yèy_ öNä.uä!$uŠÏã÷Šr& öNä.uä!$oYö/r& 4 öNä3Ï9ºsŒ Nä3ä9öqs% öNä3Ïdºuqøùr’Î/ ( ª!$#ur ãAqà)tƒ ¨,ysø9$# uqèdur “ωôgtƒ Ÿ@‹Î6¡¡9$# ÇÍÈ

Artinya : ”Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar[5] itu sebagai ibumu, dan dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. dan Allah mengatakan yang Sebenarnya dan dia menunjukkan jalan (yang benar).” (Q.S. Al-Ahzab : 4)

Hukum waris Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW telah mengubah hukum waris Arab pra-Islam dan sekaligus merombak struktur hubungan kekerabatannya, bahkan merombak sistem pemilikan masyarakat tersebut atas harta benda, khususnya harta pusaka. Sebelumnya, dalam masyarakat Arab ketika itu, wanita tidak diperkenankan memiliki harta benda – kecuali wanita dari kalangan elite – bahkan wanita menjadi sesuatu yang diwariskan (lihat tafsir dan asbabun nuzul Surat An-Nisa’: 19).

Melalui Al-Qur’an, Allah merinci dan menjelaskan bagian tiap-tiap ahli waris dengan tujuan mewujudkan keadilan di dalam masyarakat. Meskipun demikian, sampai kini persoalan pembagian harta waris masih menjadi penyebab timbulnya keretakan hubungan keluarga. Ternyata, di samping karena keserakahan dan ketamakan manusianya, kericuhan itu sering disebabkan oleh kekurangtahuan ahli waris akan hakikat waris dan cara pembagiannya. Kekurangpedulian umat Islam terhadap disiplin ilmu ini memang tidak dapat dimungkiri, bahkan Imam Qurtubi telah mengisyaratkannya: “Betapa banyak manusia sekarang mengabaikan ilmu faraidh.”

C.  Hukum Dasar Faraidh

Ayat Al-Qur’an yang menjadi dasar hukum waris Islam, yaitu Surat An-Nisa’: 11, 12, dan 176 berisi ketentuan pembagian waris secara lengkap.

ÞOä3ŠÏ¹qムª!$# þ’Îû öNà2ω»s9÷rr& ( ̍x.©%#Ï9 ã@÷VÏB Åeáym Èû÷üu‹sVRW{$# 4 bÎ*sù £`ä. [ä!$|¡ÎS s-öqsù Èû÷ütGt^øO$# £`ßgn=sù $sVè=èO $tB x8ts? ( bÎ)ur ôMtR%x. Zoy‰Ïmºur $ygn=sù ß#óÁÏiZ9$# 4 Ïm÷ƒuqt/L{ur Èe@ä3Ï9 7‰Ïnºur $yJåk÷]ÏiB â¨ß‰¡9$# $£JÏB x8ts? bÎ) tb%x. ¼çms9 Ó$s!ur 4 bÎ*sù óO©9 `ä3tƒ ¼ã&©! Ó$s!ur ÿ¼çmrO͑urur çn#uqt/r& ÏmÏiBT|sù ß]è=›W9$# 4 bÎ*sù tb%x. ÿ¼ã&s! ×ouq÷zÎ) ÏmÏiBT|sù â¨ß‰¡9$# 4 .`ÏB ω÷èt/ 7p§‹Ï¹ur ÓÅ»qム!$pkÍ5 ÷rr& AûøïyŠ 3 öNä.ät!$t/#uä öNä.ät!$oYö/r&ur Ÿw tbrâ‘ô‰s? öNßg•ƒr& Ü>tø%r& ö/ä3s9 $YèøÿtR 4 ZpŸÒƒÌsù šÆÏiB «!$# 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $¸JŠÎ=tã $VJŠÅ3ym ÇÊÊÈ * öNà6s9ur ß#óÁÏR $tB x8ts? öNà6ã_ºurø—r& bÎ) óO©9 `ä3tƒ £`ßg©9 Ó$s!ur 4 bÎ*sù tb$Ÿ2  Æßgs9 Ó$s!ur ãNà6n=sù ßìç/”9$# $£JÏB z`ò2ts? 4 .`ÏB ω÷èt/ 7p§‹Ï¹ur šúüϹqム!$ygÎ/ ÷rr& &úøïyŠ 4  Æßgs9ur ßìç/”9$# $£JÏB óOçFø.ts? bÎ) öN©9 `à6tƒ öNä3©9 Ӊs9ur 4 bÎ*sù tb$Ÿ2 öNà6s9 Ó$s!ur £`ßgn=sù ß`ßJ›V9$# $£JÏB Läêò2ts? 4 .`ÏiB ω÷èt/ 7p§‹Ï¹ur šcqß¹qè? !$ygÎ/ ÷rr& &ûøïyŠ 3 bÎ)ur šc%x. ×@ã_u‘ ß^u‘qム»’s#»n=Ÿ2 Írr& ×or&tøB$# ÿ¼ã&s!ur îˆr& ÷rr& ×M÷zé& Èe@ä3Î=sù 7‰Ïnºur $yJßg÷YÏiB â¨ß‰¡9$# 4 bÎ*sù (#þqçR%Ÿ2 uŽsYò2r& `ÏB y7Ï9ºsŒ ôMßgsù âä!%Ÿ2uŽà° ’Îû Ï]è=›W9$# 4 .`ÏB ω÷èt/ 7p§‹Ï¹ur 4Ó|»qム!$pkÍ5 ÷rr& AûøïyŠ uŽöxî 9h‘!$ŸÒãB 4 Zp§‹Ï¹ur z`ÏiB «!$# 3 ª!$#ur íOŠÎ=tæ ÒOŠÎ=ym ÇÊËÈ

Artinya : ”Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan[272]; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua[273], Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika Isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika Saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari’at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun.”

y7tRqçFøÿtGó¡o„ È@è% ª!$# öNà6‹ÏFøÿム’Îû Ï’s#»n=s3ø9$# 4 ÈbÎ) (#îtâöD$# y7n=yd }§øŠs9 ¼çms9 Ó$s!ur ÿ¼ã&s!ur ×M÷zé& $ygn=sù ß#óÁÏR $tB x8ts? 4 uqèdur !$ygèO̍tƒ bÎ) öN©9 `ä3tƒ $ol°; Ó$s!ur 4 bÎ*sù $tFtR%x. Èû÷ütFuZøO$# $yJßgn=sù Èb$sVè=›V9$# $®ÿÊE x8ts? 4 bÎ)ur (#þqçR%x. Zouq÷zÎ) Zw%y`Íh‘ [ä!$|¡ÎSur ̍x.©%#Î=sù ã@÷WÏB Åeáym Èû÷üu‹s[RW{$# 3 ßûÎiüt6ムª!$# öNà6s9 br& (#q=ÅÒs? 3 ª!$#ur Èe@ä3Î/ >äóÓx« 7OŠÎ=tæ ÇÊÐÏÈ

Artinya : ”Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah)[6]. Katakanlah: “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, Maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, Maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) Saudara-saudara laki dan perempuan, Maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (Q.S. An-Nisa : 176)

Pada ketiga ayat ini dapat diketahui enam macam bagian untuk para ahli waris, yaitu 1/2 (setengah), 1/4 (seperempat), 1/8 (seperdelapan), 1/3 (sepertiga), 1/6 (seperenam), dan 2/3 (dua pertiga). Rincian dan penjelasan ayat-ayat ini, insyaallah, akan diberikan pada tulisan-tulisan selanjutnya. Selain ketiga ayat ini, ayat-ayat lain yang berkaitan seperti yang telah disebutkan di atas, merupakan ayat-ayat pelengkap hukum waris. Di samping itu, terdapat beberapa hadits tentang mawaris, antara lain yang menetapkan bagian untuk kakek, nenek, anak perempuan, cucu perempuan, saudara perempuan, paman, dan orang yang (pernah) memerdekakan mayit (pada saat mayit berstatus budak).

Kenyataan saat ini bahwa perselisihan dalam masalah pembagian harta warisan sudah terjadi di tengah-tengah masyarakat secara umum – bukan hanya yang melanda umat Islam – menjadi salah satu bukti kebenaran hadits Nabi Muhammad SAW yang merisaukan keadaan umat di akhir zaman. Diriwayatkan dari Abdullah bin Amr bin al-Ash RA, beliau berkata bahwa Nabi saw. bersabda, “Ilmu itu ada tiga, selain yang tiga hanya bersifat tambahan (sekunder), yaitu ayat-ayat muhakkamah (yang jelas ketentuannya), sunnah Nabi saw. yang dilaksanakan, dan ilmu faraid.” (HR Ibnu Majah). Juga diriwayatkan, dari Abu Hurairah RA, beliau berkata bahwa Nabi saw. bersabda, “Pelajarilah ilmu faraidh serta ajarkanlah kepada orang lain, karena sesungguhnya, ilmu faraidh separuh ilmu; ia akan dilupakan, dan ia ilmu pertama yang akan diangkat (dicabut, hilang) dari umatku.” (HR Ibnu Majah dan ad-Daruquthni). Hadits-hadits ini merupakan sebagian dari peringatan Nabi SAW tentang pentingnya mempelajari ilmu faraidh.

Allah SWT, melalui Surat An-Nisa’: 13, menjanjikan surga kepada orang-orang yang mengikuti aturan-Nya dalam masalah warisan, “(Hukum-hukum pembagian warisan yang disebutkan) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar.” Sebaliknya, Allah SWT mengancam orang-orang yang tidak melaksanakannya seperti dapat dilihat pada Surat An-Nisa’:14, “Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya (dalam pembagian warisan), niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.”

Akhirnya, masih ada satu lagi hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Muslim dan Abu Daud yang memerintahkan agar kita membagi harta warisan menurut kitab Al-Qur’an, “Bagilah harta warisan di antara para ahli waris menurut Kitabullah (Al-Qur’an).”

III. KESIMPULAN

Sebagai kesimpulan dari tulisan kali ini, ilmu faraidh sangat penting dan memiliki dasar hukum yang kuat, sama kuatnya dengan hukum syariat lainnya seperti shalat, puasa, zakat, dan haji. Sejarah perkembangan ilmu faraidh dengan turunnya ayat-ayat mawaris membawa kemaslahatan bagi semua pihak, dan hal ini memiliki banyak hikmah. Selanjutnya, penulis menghimbau kepada para pembaca umat muslimin dan juga penulis sendiri untuk berusaha menjalankan tuntunan pembagian warisan menurut hukum Islam dengan dimulai dari diri dan keluarga masing-masing sebagai salah satu bukti ketaatan kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW.

Daftar Pustaka

Umam, Dian Khairul, 1999, Fiqih Mawaris, CV. Pustaka Setia, Bandung.

Rasjid, Sulaiman, 2002, Fiqh Islam, Sinar Baru Algesindo, Bandung.

Shiddiqy, Hasbi As, 1967, Pengantar Ilmu Fiqih, CV. Mulia, Jakarta.

As-Shabuni, Muhammad Ali,  1979, Hukum Waris Dalam Syariat Islam,

CV. Diponegoro. Bandung.

Karim, A. Syafi’I, 2006, Fiqih dan Ushul Fiqih, CV. Pustaka setia, Bandung.

http://achmadyanimkom.blogspot.com/2008/12/ilmu-faraidh-sejarah-dasar-hukum-dan.html&#8221;


[1] Maksudnya: orang-orang mukmin itu mencintai nabi mereka lebih dari mencintai diri mereka sendiri dalam segala urusan.

[2] yang dimaksud dengan berbuat baik disini ialah berwasiat yang tidak lebih dari sepertiga harta.

[3] bagian laki-laki dua kali bagian perempuan adalah Karena kewajiban laki-laki lebih berat dari perempuan, seperti kewajiban membayar maskawin dan memberi nafkah. (lihat surat An Nisaa ayat 34).

[4] lebih dari dua maksudnya : dua atau lebih sesuai dengan yang diamalkan nabi.

[5] zhihar ialah perkataan seorang suami kepada istrinya: punggungmu Haram bagiku seperti punggung ibuku atau perkataan lain yang sama maksudnya. adalah menjadi adat kebiasaan bagi orang Arab Jahiliyah bahwa bila dia Berkata demikian kepada Istrinya Maka Istrinya itu haramnya baginya untuk selama-lamanya. tetapi setelah Islam datang, Maka yang Haram untuk selama-lamanya itu dihapuskan dan istri-istri itu kembali halal baginya dengan membayar kaffarat (denda).

[6] kalalah ialah: seseorang mati yang tidak meninggalkan ayah dan anak.

Tinggalkan komentar