Posts Tagged ‘fiqh muamalah’

I. PENDAHULUAN

Bahwa kegiatan-kegiatan investasi bank Islam oleh para teoritisi Perbanklan Islam membayangkan mesti di dasarkan pada dua konsep hukum : Mudharabah dan Musyarakah, atau yang dikenal dengan istilah Profit and Loss Sharing (PLS). Mereka berpendapat bahwa Bank Islam akan menyediakan sumber-sumber pembiayaan yang luas kepada para peminjam dengan prinsip berbagi-risiko, tidak seperti pembiayaan

berbasis bunga dimana peminjamnya menanggung semua risiko.

Namun dalam praktiknya, bank-bank Islam umumnya telah menyadari bahwa PLS, seperti yang dibayangkan para teoritisi, tidak dapat digunakan secara luas dalam Perbankan Islam dikarenakan risiko-risiko yang ditanggungkan kepada Bank. Apakah konsep teoritisi yang ditawarkan dengan sistem Mudharabah dalam literatur fiqih dapat diaplikasikan secara murni pada Perbankan Islam dalam tingkat realitas?. Makalah ini hendak mencermati bagaimana konsep Mudharabah itu dikembangkan dalam fiqih dan dapat digunakan dalam Perbankan Islam.

 

II.  POKOK-POKOK MASALAH

  1. Apa definisi dari mudharabah?
  2. Bagaimana perpektif fiqh mengenai mudhrabah?
  3. Bagaimana perspektif perbankan syariah mengenai mudharabah?

III. ANALISIS

A. Mudharabah dalam literatur fiqih

1.  Pengertian

Mudharabah berasal dari kata dharb, berarti memukul atau berjalan. Pengertian memukul atau berjalan ini lebih tepatnya adalah proses seseorang memukul kakinya dalam menjalankan usaha[1].

Secara terminologi, para Ulama Fiqh mendefinisikan Mudharabah atau Qiradh dengan[2] : “Pemilik modal (investor) menyerahkan modalnya kepada pekerja (pedagang) untuk diperdagangkan, sedangkan keuntungan dagang itu menjadi milik bersama dan dibagi menurut kesepakatan”.

Mudharib menyumbangkan tenaga dan waktunya dan mengelola kongsi mereka sesuai dengan syarat-syarat kontrak. Salah satu ciri utama dari kontrak ini adalah bahwa keuntungan, jika ada, akan dibagi antara investor dan mudharib berdasarkan proporsi yang telah disepakati sebelumnya. Kerugian, jika ada, akan ditanggung sendiri oleh si investor[3].

2.  Hukum Mudharabah dan Dasar Hukumnya.

Secara eksplisit dalam al-Qur’an tidak dijelaskan langsung mengenai hukum mudharabah, meskipun ia menggunakan akar kata dl-r-b yang darinya kata mudharabah diambil sebanyak lima puluh delapan kali[4], namun ayat-ayat Qur’an tersebut memiliki kaitan dengan mudharabah, meski diakui sebagai kaitan yang jauh, menunjukkan arti “perjalanan” atau “perjalanan untuk tujuan dagang[5]. Dalam Islam akad mudharabah dibolehkan, karena bertujuan untuk saling membantu antara rab al-mal (investor) dengan pengelola dagang (mudharib). Demikian dikatakan oleh Ibn Rusyd (w.595/1198) dari madzhab Maliki bahwa kebolehan akad mudharabah merupakan suatu kelonggaran yang khusus[6]. Dasar hukum yang biasa digunakan oleh para Fuqaha tentang kebolehan bentuk kerjasama ini adalah firman Allah dalam Surah al-Muzzammil ayat 20 :

…وَآَخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِي الْأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِنْ فَضْلِ اللَّه

Artinya : “….dan sebagian mereka berjalan di bumi mencari karunia Allah….”.

(Al-muzammil : 20)

 

لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلًا مِنْ رَبِّكُم

Artinya : “Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil

perdagangan) dari Tuhanmu….”. (al-Baqarah : 198).

Kedua ayat tersebut di atas, secara umum mengandung kebolehan akad mudharabah, yang secara bekerjasama mencari rezeki yang ditebarkan Allah SWT di muka bumi. Kemudian dalam Sabda Rasulullah SAW. dijumpai sebuah riwayat dalam kasus mudharabah yang dilakukan oleh ‘Abbas Ibn al-Muthalib yang artinya : “Tuan kami ‘Abbas Ibn Abd al-Muthalib jika menyerahkan hartanya (kepada seorang yang pakar dalam perdagangan) melalui akad mudharabah, dia mengemukakan syarat bahwa harta itu jangan diperdagangkan melalui lautan, juga jangan menempuh lembah-lembah, dan tidak boleh dibelikan hewan ternak yang sakit tidak dapat bergerak atau berjalan. Jika (ketiga) hal itu dilakukan, maka pengelola modal dikenai ganti rugi. Kemudian syarat yang dikemukakan ‘Abbas Ibn Abd al-Muthalib ini sampai kepada Rasulullah SAW, dan Rasul membolehkannya”. (HR. Ath-Tabrani).

 

3.  Rukun dan Syarat Mudharabah

Dalam hal rukun akad mudharabah terdapat beberapa perbedaan pendapat antara Ulama Hanafiyah dengan Jumhur Ulama. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa yang menjadi rukun akad mudharabah adalah Ijab dan Qabul. Sedangkan Jumhur Ulama menyatakan bahwa rukun akad mudharabah adalah terdiri atas orang yang berakad, modal, keuntungan, kerja dan kad; tidak hanya terbatas pada rukun sebagaimana yang dikemukakan Ulama Hanafiyah, akan tetapi, Ulama Hanafiyah[7] memasukkan rukun-rukun yang disebutkan Jumhur Ulama itu, selain Ijab dan Qabul sebagai syarat akad mudharabah.

Adapun syarat-syarat mudharabah, sesuai dengan rukun yang dikemukakan Jumhur Ulama di atas adalah :

1. Orang yang berakal harus cakap bertindak hukum dan cakap diangkat sebagai wakil.

2. Mengenai modal disyaratkan : a) berbentuk uang, b) jelas jumlahnya, c) tunai, dan d) diserahkan sepenuhya kepada mudharib (pengelola). Oleh karenanya jika modal itu berbentuk barang, menurut Ulama Fiqh tidak dibolehkan, karena sulit untuk menentukan keuntungannya.

3. Yang terkait dengan keuntungan disyaratkan bahwa pembagian keuntungan harus jelas dan bagian masing-masing diambil dari keuntungan dagang itu.

Keterangan :

a.  Modal

Seperti dijelaskan di atas, bahwa modal harus berbentuk uang. Untuk menghindari bentuk perselisihan, kontrak mudharabah harus jelas jumlah modalnya. Modal mudharabah tidak boleh berupa suatu hutang yang dipinjam mudharib pada saat dilanjutkan kontrak mudharabah. Karena dalam kontrak semacam ini si investor dapat dengan mudah menggunakan mudharabah sebagai alat untuk memperoleh kembali hutangnya sekalian mengambil untung darinya. Mengambil untung dari suatu hutang sebagai riba yang diharamkan dalam hukum Islam. Dari sekian empat Madzhab Fiqh tak satupun yang mengizinkan suatu kontrak dimana kreditur meminta debitur untuk menjalankan mudharabah berdasarkan pengertian bahwa modal kongsi adalah hutang calon mudharib kepada investor[8].

Rab al-mal (investor) harus menyerahkan modal mudharabah kepada mudharib agar kontrak ini menjadi sah[9]. Mudharib bebas menginvestasikan dan menggunakan modal tersebut dalam batasbatas klausul kontrak mudharabah yang secara umum menetapkan jenis usaha yang dipilih, jangka waktu kongsi, dan lokasi-lokasi tempat mudharib boleh menjalankan usahanya.

b.  Manajemen

Sebagai mudharib yang menjalankan mudharabah untuk kongsi, hendaknya harus memiliki kebebasan yang diperlukan dalam pengelolaan kongsi dan dalam pembuatan semua keputusan terkait. Ia bebas menentukan sendiri bentuk barang-barang untuk dikelola, memberikan modal kepada pihak ketiga, melibatkan diri dalam suatu kerjasama (musyarakah) dengan pihak-pihak lain tanpa ditentukan oleh investor. Sehingga mempeoleh hasil dan keuntungan yang maksimal. Dilihat dari segi transaksi yang dilakukan antara investor dengan mudharib, Ulama Fiqh membagi mudharabah kepada dua jenis : Mudharabah muthlaqah (tak terbatas untuk menyerahkan modal secara mutlak, tanpa syarat dan pembatasan) dan Mudharabah muqayyadah (terbatas untuk menyerahkan modal dengan syarat dan batasan tertetu). [10].

c.  Jangka Waktu

Menurut madzhab Maliki dan Syafi’i bahwa, kontrak mudharabah tidak boleh menentukan syarat adanya jangka waktu tertentu bagi kongsi. Menurutnya hal demikian dapat membuat kontrak menjadi batal. Namun kalangan madzhab Hanafi dan Hambali membolehkan klausul demikian. [11]

d.  Jaminan

Mengingat hubungan antara investor dengan mudharib adalah hubungan yang bersifat ‘gadai’ dan mudharib adalah orang yang dipercaya, maka tidak ada jaminan oleh mudharib kepada investor. Investor tidak dapat menuntut jaminan apapun dari mudharib untuk mengembalikan modal dengan keuntungan. Jika investor mempersyaratkan pemberian jaminan dari mudharib dan menyatakan hal ini dalam syarat kontrak, maka kontrak mudharabah mereka tidak sah, demikian menurut Malik dan Syafi’i[12].

e.  Pembagian Laba dan Rugi

Mudharabah pada dasarnya adalah suatu serikat laba, dan komponen dasarnya adalah penggabungan kerja dan modal. Laba bagi masing-masing pihak dibenarkan berdasarkan kedua komponen tersebut. Risiko yang terkandung juga menjadi pembenar laba dalam mudharabah. Dalam kasus yang kongsinya tidak menghasilkan laba sama sekali, risiko investor adalah kehilangan sebagian atau seluruh modal, sementara risiko mudharib adalah tidak mendapatkan atas kerja dan usahanya.

B. Mudharabah dalam Perbankan Islam

Pembahasan mudharabah dalam Perbankan Islam lebih cenderung bersifat aplikatif dan praktis, jika dibandingkan dengan literatur fiqh yang bersifat teoritis. Kontrak mudharabah bank-bank Islam saat ini sudah menjamur diseluruh dunia, terutama di Timur Tengah.

Perbankan Islam telah menjadi istilah yang sudah tidak asing baik di dunia Muslim maupun di dunia Barat. Istilah tersebut mewakili suatu bentuk perbankan dan pembiayaan yang berusaha menyediakan layanan-layanan bebas ‘bunga’ kepada para nasabah.

Umumnya, kontrak mudharabah digunakan dalam perbankan Islam untuk tujuan dagang jangka pendek dan untuk suatu kongsi khusus.

Kontrak-kontrak tersebut yang ada seringkali berarti jual-beli barang, yang menunjukkan sifat dagang dari kontrak ini[13]. Para nasabah bank Islam mengikuti kontrak-kontrak mudharabah dengan bank Islam. Mudharib (nasabah) setelah menerima dukungan pendanaan dari bank, membeli sejumlah atau senilai tertentu dari

barang yang sangat spesifik dari seorang penjual dan menjualnya kepada pihak ketiga dengan suatu laba. Sebelum disetujuinya pendanaan, mudharib memberikan kepada bank segala perincian mendetail yang terkait dengan barang, sumber dimana barang dapat dibeli serta semua biaya yang terkait dengan pembelian barang tersebut. Kepada bank mudharib menyajikan pernyataan-pernyataan finansial yang disyaratkan menyangkut harga jual yang diharapkan, arus kas (cash flow) dan batas laba (profit margin), yang akan dikaji oleh bank sebelum diambil keputusan apapun tentang pendanaan. Biasanya bank akan memberi dana yang diperlukan jika ia telah cukup puas dengan batas laba yang diharapkan atas dana yang diberikan.

a.  Modal

Kontrak-kontrak mudharabah bank Islam menentukan jumlah modal yang digunakan dalam kongsi. Ringkasnya, tidak ada dana tunai yang diberikan kepada mudharib. Jumlah modal diangsur ke dalam rekening mudharabah yang oleh bank dibuka untuk tujuan pengelolaan mudharabah. Karena umumnya mudharabah untuk

tujuan pembelian barang-barang tertentu, maka bank sendirilah yang melakukan pembayaran kepada penjual. Dana-dana yang diberikan oleh bank sebagai modal tidak dalam penanganan mudharib dan ia tidak dapat menggunakannya untuk tujuan lain.

Bagaimanapun juga, bank Islam, misalnya, menyatakan dalam kontrak mudharabah mereka bahwa mudharib tidak boleh menggunakan dana yang diberikan kepadanya untuk tujuan apapun selain yang telah ditetapkan dalam kontrak[14], sebuah kalusul yang tampaknya agak kurang berarti dalam praktik.

b.  Manajemen

Mudharib menjalankan mudharabah dan mengatur pembelian, penyimpanan, pemasaran, dan penjualan barang. Kontrak menetapkan secara detail bagaimana ia harus mengelola mudharabah. Mudharib harus memastikan bahwa deskripsi yang benar tentang barang telah tersedia pada saat pengajuan pendanaan. Ia pribadi bertanggung jawab atas segala kerugian atau biaya yang diakibatkan oleh suatu kesalahan atas spesifikasi karena bank tidak akan menanggung segala kerugian semacam ini. Ia harus menyimpannya baik-baik. Ringkasnya, mudharib harus mematuhi syarat-syarat terinci dari kontrak dalam kaitannya dengan manajemen kongsi, syarat-syarat yang mana umumnya ditentukan oleh bank.

c.  Jangka Waktu

Jangka waktu yang digunakan dalam kontrak mudharabah umumnya ditetapkan oleh bank Islam, karena kontrak mudharabah juga umumnya digunakan untuk tujuan dagang jangka pendek. Kontrak mudharabah dalam bank Islam hendaknya mengklirkan (liquidated) dan modal bank beserta keuntungannya diserahkan pada waktu yang telah ditentukan dalam kontrak, karena ada batas laba dari dana bank dihitung dengan mempertimbangkan jatuh tempo

kontrak.

d.  Jaminan

Meskipun dalam fiqih tidak diperbolehkan investor untuk menuntut jaminan dari mudharib, bank-bank Islam umumnya benar-benar meminta beragam bentuk jaminan. Hal ini mereka lakukan untuk memastikan bahwa modal yang disalurkan dan keuntungan yang diharapkan dari modal ini diberikan kepada bank pada saat yang ditetapkan dalam kontrak. Jaminan dapat diberikan dari mudharib sendiri maupun dari pihak ketiga. Jaminan yang diminta oleh bankbank Islam tersebut tidak dibuat untuk memastikan kembalinya modal, tetapi untuk memastikan bahwa kinerja mudharib sesuai dengan syarat-syarat kontrak[15].

e.  Pembagian Laba dan Rugi

Dalam pembagian laba dan rugi, secara teori, bank menanggung secara risiko, tetapi dalam praktik, dikarenakan sifat mudharabah bank Islam dan syarat-syarat yang ada di dalamnya, kerugian semacam ini mungkin akan jarang sekali terjadi.

Bank Islam sepakat dengan nasabah mudharabahnya tentang rasio laba yang ditetapkan dalam kontrak. Rasio akan tergantung antara lain pada daya tawar si nasabah, prakiraan laba, suku bunga pasar, karakter pribadi nasabah dan daya jual barang, maupun jangka waktu kontrak.

Jika mudharabah tidak menghasilkan suatu keuntungan, si mudharib tidak akan mendapatkan sedikitpun upah atas kerjanya. Dalam hal ini mengalami kerugian sepanjang tidak ditemukan bukti salah guna dan salah urus mudharib atas dana mudharabah atau sepanjang tidak ditentukan pelanggaran atas syarat-syarat yang ditetapkan oleh bank. Jika terbukti demikian, maka mudharib sendiri yang akan menanggung kerugian, dalam kasus mana jaminan yang terkait dengan tanggung jawab nasabah harus diberikan kepada bank.

Pihak bank untuk mengambil alih dalam risiko dari setiap kerugian tidak begitu saja terjadi. Ia melewati bermacam-macam cara untuk menghilangkan ketidakpastian yang mungkin terjadi dalam kongsi mudharabah murni. Risiko aktuarial dalam kongsi mudharabah seperti yang digunakan dalam perbankan Islam dapat diukur dan dapat dipastikan. Untuk alasan inilah, dapat dikatakan bahwa mudharabah bank Islam sedikit berbeda dengan penyelenggaraan investasi berisiko rendah maupun investasi bebas risiko manapun.

IV. KESIMPULAN.

1. mudharabah merupakan salah satu bentuk kerjasama antara rab al-mal (investor) dengan seorang pihak kedua (mudharib) yang berfungsi sebagai pengelola dalam berdagang

2. Mudharabah seperti yang dikembangkan dalam literatur fiqih adalah suatu kontrak dimana seorang yang terampil bisa menggunakan keterampilannya dengan uang dari investor dalam rangka menghasilkan untung. Mudharabah tidak berdasarkan teks syari’ah yang eksplisit, tetapi dia telah dipraktikkan sejak periode awal sejarah Islam. Mudharabah yang dikembangkan dalam fiqih adalah suatu kontrak dimana mudharib memiliki kebebasan yang diperlukan untuk menjalankan mudharabah dalam rangka menghasilkan laba. Karena mudharib merupakan pihak yang lebih lemah didalam kontrak yang per definisi, memberikan keterampilannya sebagai modal pada mudharabah, para Fuqaha tidak membolehkan adanya tuntutan jaminan terhadap mudharib.

3.      Di bawah perbankan Islam, mudharabah kemudian digunakan dalam kongsi-kongsi dagang berjangka pendek, yang di situ tidak ada transfer dana kepada pihak mudharib. Tidak ada kebebasan bertindak, karena semua bagian-bagian yang terperinci tentang bagaimana mudharabah harus dijalankan sudah ditetapkan di dalam kontrak. Peran mudharib terbatas pada melaksanakan atas kontrak. Konsep umum mudharabah (yaitu suatu bentuk pembiayaan modal usaha atau penyaluran kredit kepada mereka yang kekurangan dana tetapi memiliki keterampilan untuk menjalankan dagang atau bisnis dengan suatu keuntungan tidak pasti yang mugkin dapat atau mungkin tidak dapat diwujudkan) tidak tampil menjadi sesuatu yang menonjol atau yang cukup tampak dalam mudharabah perbankan Islam.

 

DAFTAR PUSTAKA

  1. Abdullah Saeed, Menyoal Bank Syari’ah : Kritik atas Interpretasi Bunga Bank kaum Neo-Revivalis. (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000).
  2. Abdul Majid, Pokok-Pokok Fiqh Muamalah dan Hukum Kebendaan dalam Islam, (Bandung : IAIN SGD. 1986)

3.      Departemen Agama RI,  Al Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung : CV. Diponegoro. 2003.)

  1. M. Hasbi Ash Shiddiqie, Pengantar Fiqh Muamalah, (Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra 1997.)

5.      Prof. Drs. H. Masjfuk Zuhudi. Studi Islam Jilid III Muamlah. (Jakarta : PT. Grafindo Persada. 1993.)

  1. Mervyn K. Lewis dan Latifa M. Al-Qaoud, Perbankan Syari’ah: Prinsip, Praktik, Prospek. (Jakarta : Serambi 2001).
  2. Muhammad Syafi’i antoni, Bank Syari’ah dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani 2001)
  3. Nana Masduki, Fiqh Muamalah, (Bandung : IAIN SGD. 1987)
  4. DR. H. Nasrun Haroen, MA, Fiqh Mu’amalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000).
  5. Prof. DR. H. Racmat Syafee’i, M.A, Fiqih Muamalah, (Bandung : CV. Pustaka Setia. 2001)
  6. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung : Sinar Baru Algesindo, 1994)

 

 

 

 


[1] Muhammad Syafi’i antoni, Bank Syari’ah dari Teori ke Praktik, hal. 95. yang dikutip dari M. Rawas Qal’aji, Mu’jam Lughat al-Fuqaha, (Beirut:Darun-Nafs, 1985).

[2] As-Sarakhsi, al-Mabsuth, Jilid 22. hal. 18. dikutip dari DR. H. Nasrun Haroen, MA, Fiqh Mu’amalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama), hal. 175-176.

[3] Jaziri, Fiqh III, hal. 34; Saleh, Unlawful Gain, hal. 103; Abd. Al-Qadir, Fiqh al- Mudharabah, hal. 8-9; Abu Saud, Money, Interest and Qiradh, hal. 66; El-asyker, The Islamic Bussines Enterprise, hal. 75. Dikutip dari Abdullah Saeed, Menyoal Bank Syari’ah : Kritik atas Interpretasi Bunnga Bank kaum Neo-Revivalis, hal. 77.

[4] Al-Qur’an 2:273; 3:156; 4:101; 5:106; 73:20.

[5] Asad, The Message, hal. 92, 905.

[6] Ibnu Rusyd, Bidayatul al-Mujtahid II, hal. 178.

[7] Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, Jilid IV, hal. 839.

[8] Ibnu Qudamah, Op. Cit, hal. 73

[9] Ibid, hal. 29

[10] Ibnu Qudamah, Op. Cit, hal. 26 dst.

[11] Ibnu Rusyd, Op. Cit, hal. 181

[12] Ibid, hal. 179

[13] FIBE, Contract of Mudharabah, Abdullah Saeed, Op. Cit, hal. 83

[14] JIB, Contract of Mudharabah; IIBD, Contract of Mudharabah.

[15] FIBS, Bank Faisal al-Islami al-Sudani.

PANDANGAN FIQH MUAMALAH DAN EKONOMI ISLAM

TERHADAP RIBA DAN BUNGA BANK

 

I.   LATAR BELAKANG

Sejak dekade 1960-an, perbincangan mengenai larangan riba bunga bank semakin memanas saja. Setidaknya ada dua pendapat mendasar yang membahas masalah tentang riba. Pendapat pertama berasal dari mayoritas ulama yang mengadopsi dan intrepertasi para fuqaha tentang riba sebagaimana yang tertuang dalam fiqh. Pendapat lainnya mengatakan, bahwa larangan riba dipahami sebagai sesuatu yang berhubungan dengan adanya upaya eksploitasi, yang secara ekonomis menimbulkan dampak yang sangat merugikan bagi masyarakat. Kontroversi bunga bank konvensional masih mewarnai wacana yang hidup di masyarakat. Dikarenakan bunga yang diberikan oleh bank konvensional merupakan sesuatu yang diharamkan dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah jelas mengeluarkan fatwa tentang bunga bank pada tahun 2003 lalu. Namun, wacana ini masih saja membumi ditelinga kita, dikarenakan beragam argumentasi yang dikemukakan untuk menghalalkan bunga, bahwa bunga tidak sama dengan riba. Walaupun Al-Quran dan Hadits sudah sangat jelas bahwa bunga itu riba. Dan riba hukumnya adalah haram.

Untuk mendudukan kontroversi bunga bank dan riba secara tepat diperlukan pemahaman yang mendalam baik tentang seluk beluk bunga maupun dari akibat yang ditimbulkan oleh dibiarkannya berlaku sistim bunga dalam perekonomian dan dengan membaca tanda-tanda serta arah yang dimaksud dengan riba dalam Al Qur’an dan Hadist.

Oleh karena itu, saya sebagai penulis mencoba menjelaskan apakah sama anatar riba dan bunga banak dalam pandangan fiqh muamalah dan ekonomi Islam. Oleh karena itu, untuk membuktikannya penulis mencoba meneliti dan memaprkannya dalam esai ini.

II.  PERUMUSAN MASALAH

Dengan melihat latar belakang yang telah dikemukakan, maka beberapa pokok masalah yang dapat penulis rumuskan dan akan dibahas dalam karya tulis ilmiah ini adalah

1.      Bagaimana pengertian riba dan bunga bank?

2.      Apakah sama riba dan bunga bank dalam pandangan Fiqh Muamalah dan Ekonomi Islam?

3.      Bagaimana hukum riba dan bunga bank menurut pandangan Fiqh Muamalah dan Ekonomi Islam?

4.      Serta apakah dampak dari riba (bunga bank) terhadap kehidupan manusia?

III.  ANALISIS

A.  Pengertian Riba dan Bunga Bank

Menurut The American Heritage DICTIONARY of the English Language : Interest is “A charge for a financial loan, usually a precentage of the amount loaned“. (lihat H. Karnaen A. Perwataatmadja, S.E., MPA).[1]

Bunga adalah sejumlah uang yang dibayar atau untuk penggunaan modal. Jumlah tersebut misalnya dinyatakan dengan satu tingkat atau prosentase modal yang bersangkut paut dengan itu yang dinamakan suku bunga modal.

Asal makna “riba” menurut bahasa Arab ialah lebih (bertambah). Adapun yang dimaksud disini menurut syara’ riba adalah akad yang terjai dengan penukaran yang tertentu, tidak diketahui sama atau tidaknya menurut aturan syara’ atau terlambat menerimanya.[2]

Istilah riba pertama kalinya di ketahui berdasarkan wahyu yang diturunkan pada masa awal risalah kenabian dimakkah kemungkinan besar pada tahun IV atau awal hijriah ini berdasarkan pada awal turunya ayat riba[3]. Para mufassir klasik berpendapat, bahwa makna riba disini adalah pemberian. Berdasarkan interpretasi ini, menurut Azhari (w. 370H/980 M) dan Ibnu Mansur (w. 711H/1331M) riba terdiri dari dua bentuk yaitu riba yang dilarang dan yang tidak dilarang[4]. Namun dalam kenyataannya istilah Riba hanya dipakai untuk memaknai pembebanan hutang atas nilai pokok yang dipinjamkan[5].

Sedangkan dalam istilah al-Jurjani mendefinisikan riba dengan kelebihan/tambahan pembayaran tanpa ada ganti/imbalan, yang disyaratkan bagi salah seorang dari kedua belah pihak yang membuat akad/transaksi[6].

Ada beberapa pendapat diatas dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalat dalam Islam.

Mengenai hal ini Allah SWT mengingatkan dalam firmannya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan bathil” (Q.S An-Nisa : 29). Dalam kaitannya dengan ayat tersebut diatas mengenai makna al-bathil, Ibnu Al-Arabi Al-Maliki, dalam kitabnya Ahkam Al-Qur’an (lihat syafii Anotonio), menjelaskan : bahwa pengertian riba secara bahasa adalah tambahan (Ziyadah), namun yang dimaksud riba dalam ayat Al-Qur’an yaitu setiap penambahan yang diambil tanpa adanya satu transaksi pengganti atau penyeimbang yang dibenarkan syariah”[7]

Yang dimaksud dengan transaksi pengganti atau penyeimbang yaitu transaksi bisnis atau komersial yang melegitimasi adanya penambahan tersebut secara adil. Seperti transaksi jual-beli, gadai, sewa, atau bagi hasil proyek.

Merujuk dari penjelasan tentang pengertian riba dan bunga diatas, bahwa dapat disimpulkan bunga sama dengan riba.[8] Mengapa demikian, dikarenakan secara riil operasional di perbankan konvensional, bunga yang dibayarkan oleh nasabah peminjam kepada pihak atas pinjaman yang dilakukan jelas merupakan tambahan. Karena nasabah melakukan transaksi dengan pihak bank berupa pinjam meminjam berupa uang tunai. Didalam Islam yang namanya konsep pinjam meminjam dikenal dengan namanya Qardh (Qardhul Hasan) merupakan pinjaman kebajikan. Dimana Allah SWT, berfirman :

“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.”(Q. S Al-Baqarah : 245)

Pinjaman qardh tidak ada tambahan, jadi seberapa besar yang dipinjam maka dikembalikan sebesar itu juga. Namun, berbeda apabila akad atau transaksi tersebut mengandung jual beli, sewa maupun bagi hasil.

Jadi, Dalam transaksi simpan-pinjam dana, secara konvensional si pemberi pinjaman mengambil tambahan dalam bentuk bunga tanpa adanya suatu penyeimbang yang diterima si peminjam hal ini merupakan riba yang telah diharamkan oleh Allah SWT didalam Al-Qur’an dan Hadist sebagai berikut :

Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” Q.S Al-Baqarah : 275 dan juga dalam Hadist Rasulullah bersabda : “Jabir berkata bahwa Rasulullah mengutuk orang yang menerima riba, orang yang membayarnya, dan orang yang mencatatnya, dan dua orang saksinya, kemudian beliau bersabda,Mereka itu semuanya sama.” (H.R Muslim no. 2995 dalam kitab Al-Musaqqah)[9]

B. Hukum Riba dan Bunga Bank

Seluruh ‘ulama sepakat mengenai keharaman riba, baik yang dipungut sedikit maupun banyak. Seseorang tidak boleh menguasai harta riba; dan harta itu harus dikembalikan kepada pemiliknya, jika pemiliknya sudah diketahui, dan ia hanya berhak atas pokok hartanya saja.

Al-Quran dan Sunnah dengan sharih telah menjelaskan keharaman riba dalam berbagai bentuknya; dan seberapun banyak ia dipungut. Allah swt berfirman;

الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبا لا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ

“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka Berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba,” padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”. [QS Al Baqarah (2): 275].[10]

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ، فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُؤُوسُ أَمْوَالِكُمْ لا تَظْلِمُونَ وَلا تُظْلَمُونَ

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya”. [TQS Al Baqarah (2): 279].[11]

Di dalam Sunnah, Nabiyullah Muhammad saw

دِرْهَمُ رِبَا يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَشَدُّ مِنْ سِتٍّ وَثَلَاثِيْنَ زِنْيَةً

“Satu dirham riba yang dimakan seseorang, dan dia mengetahui (bahwa itu adalah riba), maka itu lebih berat daripada enam puluh kali zina”. (HR Ahmad dari Abdullah bin Hanzhalah).

الرِبَا ثَلاثَةٌَ وَسَبْعُوْنَ بَابًا أَيْسَرُهَا مِثْلُ أَنْ يَنْكِحَ الرَّجُلُ أُمَّهُ, وَإِنَّ أَرْبَى الرِّبَا عَرْضُ الرَّجُلِ الْمُسْلِمَ

“Riba itu mempunyai 73 pintu, sedang yang paling ringan seperti seorang laki-laki yang menzinai ibunya, dan sejahat-jahatnya riba adalah mengganggu kehormatan seorang muslim”. (HR Ibn Majah).

لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّباَ وَمُوْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ, وَقَالَ: هُمْ سَوَاءٌ

“Rasulullah saw melaknat orang memakan riba, yang memberi makan riba, penulisnya, dan dua orang saksinya. Belia bersabda; Mereka semua sama”. (HR Muslim)

Di dalam Kitab al-Mughniy, Ibnu Qudamah mengatakan, “Riba diharamkan berdasarkan Kitab, Sunnah, dan Ijma’. Adapun Kitab, pengharamannya didasarkan pada firman Allah swt,”Wa harrama al-riba” (dan Allah swt telah mengharamkan riba) (Al-Baqarah:275) dan ayat-ayat berikutnya. Sedangkan Sunnah; telah diriwayatkan dari Nabi saw bahwasanya beliau bersabda, “Jauhilah oleh kalian 7 perkara yang membinasakan”. Para shahabat bertanya, “Apa itu, Ya Rasulullah?”. Rasulullah saw menjawab, “Menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan haq, memakan riba, memakan harta anak yatim, lari dari peperangan, menuduh wanita-wanita Mukmin yang baik-baik berbuat zina”. Juga didasarkan pada sebuah riwayat, bahwa Nabi saw telah melaknat orang yang memakan riba, wakil, saksi, dan penulisnya”.[HR. Imam Bukhari dan Muslim]…Dan umat Islam telah berkonsensus mengenai keharaman riba.”

Imam al-Syiraaziy di dalam Kitab al-Muhadzdzab menyatakan; riba merupakan perkara yang diharamkan. Keharamannya didasarkan pada firman Allah swt, “Wa ahall al-Allahu al-bai` wa harrama al-riba” (Allah swt telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba)[Al-Baqarah:275], dan juga firmanNya, “al-ladziina ya`kuluuna al-riba laa yaquumuuna illa yaquumu al-ladziy yatakhabbathuhu al-syaithaan min al-mass” (orang yang memakan riba tidak bisa berdiri, kecuali seperti berdirinya orang yang kerasukan setan)”. [al-Baqarah:275]…..Ibnu Mas’ud meriwayatkan sebuah hadits, bahwasanya Rasulullah saw melaknat orang yang memakan riba, wakil, saksi, dan penulisnya”. [HR. Imam Bukhari dan Muslim]

Imam al-Shan’aniy di dalam Kitab Subul al-Salaam mengatakan; seluruh umat telah bersepakat atas haramnya riba secara global.

Di dalam Kitab I’aanat al-Thaalibiin disebutkan; riba termasuk dosa besar, bahkan termasuk sebesar-besarnya dosa besar (min akbar al-kabaair). Pasalnya, Rasulullah saw telah melaknat orang yang memakan riba, wakil, saksi, dan penulisnya. Selain itu, Allah swt dan RasulNya telah memaklumkan perang terhadap pelaku riba. Di dalam Kitab al-Nihayah dituturkan bahwasanya dosa riba itu lebih besar dibandingkan dosa zina, mencuri, dan minum khamer. Imam Syarbiniy di dalam Kitab al-Iqna’ juga menyatakan hal yang sama Mohammad bin Ali bin Mohammad al-Syaukaniy menyatakan; kaum Muslim sepakat bahwa riba termasuk dosa besar.

Imam Nawawiy di dalam Syarh Shahih Muslim juga menyatakan bahwa kaum Muslim telah sepakat mengenai keharaman riba jahiliyyah secara global. Mohammad Ali al-Saayis di dalam Tafsiir Ayat Ahkaam menyatakan, telah terjadi kesepakatan atas keharaman riba di dalam dua jenis ini (riba nasii’ah dan riba fadlal). Keharaman riba jenis pertama ditetapkan berdasarkan al-Quran; sedangkan keharaman riba jenis kedua ditetapkan berdasarkan hadits shahih. Abu Ishaq di dalam Kitab al-Mubadda’ menyatakan; keharaman riba telah menjadi konsensus, berdasarkan al-Quran dan Sunnah.[12]

ulama saat ini sesungguhnya telah ijma’ tentang keharaman bunga bank. Dalam puluhan kali konferensi, muktamar, simposium dan seminar, para ahli ekonomi Islam dunia, Chapra menemukan terwujudnya kesepakatan para ulama tentang bunga bank. Artiya tak satupun para pakar yang ahli ekonomi yang mengatakan bunga syubhat atau boleh. Ijma’nya ulama tentang hukum bunga bank dikemukaka Umer Chapra dalam buku The Future of Islamic Econmic,( 2000). Semua mereka mengecam dan mengharamkan bunga, baik konsumtif maupun produktif, baik kecil maupun besar, karena bunga telah menimbulkan dampak sangat buruk bagi perekonomian dunia dan berbagai negara. Krisis ekonomi dunia yang menyengsarakan banyak negara yang terjadi sejak tahun 1930 s/d 2000, adalah bukti paling nyata dari dampak sistem bunga.[13]

 

 

 

C.  Dampak Riba Dan Bunga Bank

1.      Bagi jiwa manusia

hal ini akan menimbulkan perasaan egois pada diri, sehingga tidak mengenal melainkan diri sendiri. Riba ini menghilangkan jiwa kasih sayang, dan rasa kemanusiaan dan sosial. Lebih mementingkan diri sendiri daripada orang lain[14]

2.      Bagi masyarakat

Dalam kehidupan masyarakat hal ini akan menimbulkan kasta kasta yang saling bermusuhan. Sehingga membuat keadaan tidak aman dan tentram. Bukannya kasih sayang dan cinta persaudaraan yang timbul akan tetapi permusuhan dan pertengkaran yang akan tercipta dimasyarakat[15]

3.      Bagi roda pergerakan ekonomi

Dampak sistem ekonomi ribawi tersebut sangat membahayakan perekonomian.

a)      Sistem ekonomi ribawi telah banyak menimbulkan krisis ekonomi di mana-mana sepanjang sejarah, sejak tahun 1929, 1930, 1940an, 1950an, 1970an. 1980an, 1990an, 1997 dan sampai saat ini.

b)      di bawah sistem ekonomi ribawi, kesenjangan pertumbuhan ekonomi masyarakat dunia makin terjadi secara konstant, sehingga yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin.

c)      Suku bunga juga berpengaruh terhadap investasi, produksi dan terciptanya pengangguran.

d)     Teori ekonomi juga mengajarkan bahwa suku bunga akan secara signifikan menimbulkan inflasi.

e)      Sistem ekonomi ribawi juga telah menjerumuskan negara-negara berkembang kepada debt trap (jebakan hutang) yang dalam, sehingga untuk membayar bunga saja mereka kesulitan, apalagi bersama pokoknya.[16]

IV.   KESIMPULAN

Sudah jelaslah bagiamana riba itu dilarang dengan tahapan tahapan yang sama dengan pengharaman arak. Dari uraian diatas dapat penulis ambil kesimpulan bahwa:

1)      Riba dengan kelebihan/tambahan pembayaran tanpa ada ganti/imbalan, yang disyaratkan bagi salah seorang dari kedua belah pihak yang membuat akad/transaksi sedangkan Bunga adalah sejumlah uang yang dibayar atau untuk penggunaan modal. Jumlah tersebut misalnya dinyatakan dengan satu tingkat atau prosentase modal yang bersangkut paut dengan itu yang dinamakan suku bunga modal.

2)      Dalam pandangan Fiqh Muamalah dan Ekonomi Islam bahwa antara riba dan bunga bank adalah sama. Mengapa demikian, dikarenakan secara riil operasional di perbankan konvensional, bunga yang dibayarkan oleh nasabah peminjam kepada pihak atas pinjaman yang dilakukan jelas merupakan tambahan. Karena nasabah melakukan transaksi dengan pihak bank berupa pinjam meminjam berupa uang tunai.

3)      Dalam pandangan Fiqh Muamalah dan Ekonomi Islam bahwa hukum antara riba dan bunga bank adalah haram. Karena hukum asal riba adalah haram baik itu dalam Al-Qur’an, Hadis, dan Ijtihad. Seluruh ummat Islam wajib untuk meninggalkannya, serta menjauhinya yakni dengan cara bertaqwa kepada Allah.

4)      Dampak akan bahayanya riba (bunga bank) terhadap kehidupan manusia; (1). Bagi jiwa manusia : hal ini akan menimbulkan perasaan egois pada diri, sehingga tidak mengenal melainkan diri sendiri. (2).Bagi masyarakat : Dalam kehidupan masyarakat hal ini akan menimbulkan kasta kasta yang saling bermusuhan. (3). Bagi roda pergerakan ekonomi : Dari segi ekonomi, hal ini akan menyebabkan manusia dalam dua golongan besar yaitu orang miskin sebagai pihak yang tertindas dan orang kaya sebagai pihak yang menindas.

DAFTAR PUSTAKA

1.      Abdullah saeed, Bank Islam Dan Bunga, terj Cet 1. Pustaka pelajar. Jakarta 2003

2.      Departemen Agama RI..  Al Qur’an dan Terjemahnya. Bandung. CV. Diponegoro. 2003

3.      KH. Didin Hafidhuddin, Tafsir al-Hijri, det 1. Yayasan Kalimah Thayyibah. Jakarta 2000.

4.      Drs. H. Kahar Masyhur. Beberapa Pendapat Menegenai Riba. Cet 3, Kalam Mulia Jakarta 1999

5.      Prof. Drs. H. Masjfuk Zuhudi, Masail Fiqhiyah. Cet 10, PT gunung agung. Jakarta, 1970

6.      Mudjab mahali. Asbabun Nuzul; Studi Pendalaman al-Qur’an Surat al-Baqarah-An Naas. Cet 1, Raja grafindo. Jakarta, 2002

7.      Muhammad Ali Ash-ashabuni, Tafsir Ayat Ahkam Ash Shabuni, terj. Cet ke-4, PT. Bina ilmu. Surabaya,  2003

8.      Sulaiman Rasjid,  Fiqh Islam, Sinar Baru Algesindo, Bandung, 2002.

9.      http//anakcirenai.blogspot.com/2008/05/makalah-fiqih-tentang-riba-dan-perbankan.html

10.  http//kasei_unri.org/index.php?option=com_conten&task=category&sectiobid=&id=19&itemid=34

  1. http//hndwibowo.blogspot.com/2008/06/bunga-bank-konvensional-adalah-riba.html

 


[1] hndwibowo.blogspot.com/2008/06/bunga-bank-konvensional-adalah-riba.html

[2] Sulaiman Rasjid, , Fiqh Islam, Sinar Baru Algesindo, Bandung , 2002, Hal 290.

[3]Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, CV. Diponegoro, Bandung , 2003, hal.326

[4] Maksud tidak dilarang disini adalah pemberian yang mengharapkan sesuatu yang lebih baik pada waktu mendatang (akherat)

[5] Abdullah saeed, Op.Cit, Hal 27. Lihat juga pada, Imaduddin Abil Fida Bin Katsir. Tafisr Qurani L Adhiim, hal 138

[6] Prof. Drs. H. Masjfuk Zuhudi, Op.Cit. hal 102

[7] hndwibowo.blogspot.com/2008/06/bunga-bank-konvensional-adalah-riba.html

[8] hndwibowo.blogspot.com/2008/06/bunga-bank-konvensional-adalah-riba.html

[9] hndwibowo.blogspot.com/2008/06/bunga-bank-konvensional-adalah-riba.html

[10] Departemen Agama RI,Al Qur’an dan Terjemahnya, CV. Diponegoro, Bandung , 2003, hal. 36

[11] Ibid hal. 37

 

 

[12] http//anakcirenai.blogspot.com/2008/05/makalah-fiqih-tentang-riba-dan-perbankan.html

[13] http//kasei_unri.org/index.php?option=com_conten&task=category&sectiobid=&id=19&itemid=34

[14] KH. Didin Hafidhuddin, Tafsir al-Hijri, Cet 1. Yayasan Kalimah Thayyibah. Jakarta. hal 331

[15] Ibid, hal 332

[16] kasei_unri.org/index.php?option=com_conten&task=category&sectiobid=&id=19&itemid=34

I.  LATAR BELKANG MASALAH

Kehadiran lembaga pegadaian di Indonsia bukanlah hal yang asing lagi. Bahkan lembaga ini menjadi sangat populer dikalangan masyarakat (khususnya Jakarta), ketika menjelang lebaran tiba. Sudah merupakan tradisi bagi pemudik di ibukota untuk menggadaikan barang berharga mereka menjelang bulan syawal.

Dengan menitipkan emas, kendaraan bermotor atau barang berharga lainnya sebagai jaminan atas uang yang dipinjam, keinginan untuk bertemu sanak saudara dikampung dengan kerinduan yang sangat pun terobati. Bukan tanpa alasan karena disaat ongkos dan harga kebutuhan untuk oleh-oleh yang semakin menggila yang tidak lagi dapat diatasi oleh gaji maupun pendapatan selama di Jakarta, maka pegadaian merupakan alternatif yang dapat menjawab tersebut.

Sekilas lembaga ini memang terlihat sangat membantu. Dan tentu saja dengan menyuarakan motto “ mengatasi masalah tanpa masalah”-nya, lembaga ini berhasil menafsir dan mencitrakan dirinya di mata masyarakat sangat baik. Akan tetapi, disadari atau tidak ternyata dalam prakteknya lembaga ini belum dapat terlepas dari persoalan.Dengan berkaca mata pada syariat islam, ketika perjanjian gadai ditunaikan terdapat unsur-unsur yang dilarang syariat. Hal ini dapat terlihat dari praktek gadai itu sendiri yang menentukan adanya bunga gadai, yang mana pembayarannya dilakukan setiap 15 hari sekali. Dan tentu saja pembayarannya haruslah tepat waktu karena jika terjadi keterlambatan pembayaran, maka bunga gadai akan bertambah menjadi dua kali lipat dari kewajibannya.Bukan hanya riba, ketidak jelasan (gharar), dan qimar juga ikut serta menghiasi aktifitas lembaga ini. Yang secara jelas terdapat kencenderungan merugikan salah satu pihak.

Memang hal ini tidaklah terlalu diperhatikan oleh masyarakat. Tetapi, ketika mereka terjebak dengan bunga yang membengkak serta ketidak sanggupan uintuk membayar,maka di sinilah masalah letak permasalahan itu muncul.Oleh karena itu, berangkat dari uraian yang telah dikemukakan di atas,maka saya selaku penulis membuat esai ini dengan maksud untuk menganalisa dan memberikan sebuah solusi dengan pendekatan fiqh islam sebagai jawaban atas ketidak syari’an atas praktek pegadaian saat ini.

II.  POKOK-POKOK PERMASALAHAN

Dengan melihat latar belakang di atas maka yang akan menjadi pokok-poko permasalahan yang akan dibahas dalamn esai ini adalah

1.      Apa definisi dari gadai menurut konvensional dan syari’at Islam?

2.      apa yang menjadi dasar hukum gadai konvensional dan syariah?

3.      Bagaimana pandangan syari’at Islam terhadap gadai?

 

III.  ANALISIS

A.  Pengertian Gadai Konvensional dan Gadai Syariah

1.  Pengertian Gadai Konvensional

Mengutip pendapat Susilo (1999), pengertian pegadaian adalah suatu hak yang diperoleh seseorang yang mempunyai piutang atas suatu barang bergerak. Barang bergerak tersebut diserahkan kepada orang yang berpiutang oleh seorang yang mempunyai utang atau oleh orang lain atas nama orang yang mempunyai utang. Seseorang yang berutang tersebut memberikan kekuasaan kepada orang yang berpiutang untuk menggunakan barang bergerak yang telah diserahkan untuk melunasi utang apabila pihak yang berutang tidak dapat melunasi kewajibannya pada saat jatuh tempo.

Jadi dapat disimpulkan bahwa gadai adalah suatu hak yang diperoleh oleh orang yang berpiutang atas suatu benda bergerak yang diberikan oleh orang yang berpiutang sebagai suatu jaminan dan barang tersebut bisa dijual jika orang yang berpiutang tidak mampu melunasi utangnya pada saat jatuh tempo.Sedangkan pengertian Perusahaan Umum Pegadaian adalah suatu ban usaha di Indonesia yang secara resmi mempunyai izin untuk melaksanakan kegiatan lembaga keuangan berupa pembiayaan dalambentuk penyaluran dana ke masyarakat atas dasar hukum gadai.[1]

2.  Pengertian Gadai Syariah

Gadai Syariah sering diidentikkan dengan Rahn yang secara bahasa diartikan al-tsubut wa al-dawam (tetap dan kekal) sebagian Ulama Luhgat memberi arti al-hab (tertahan).[2] Sedangkan definisi al-rahn menurut istilah yaitu menjadikan suatu benda yang mempunyai nilai harta dalam pandangan syar’a untuk kepercayaan suatu utang, sehingga memungkinkan mengambil seluruh atau sebagaian utang dari benda itu.[3]

Istilah rahn menurut Imam Ibnu Mandur diartikan apa-apa yang diberikan sebagai jaminan atas suatu manfaat barang yang diagunkan.[4] Dari kalangan Ulama Mazhab Maliki mendefinisikan rahn sebagai “harta yang dijadikan pemiliknya sebagai jaminan hutang yang bersifat mengikat“, ulama Mazhab Hanafi mendefinisikannya dengan “menjadikan suatu barang sebagai jaminan terhadap hak (piutang) yang mungkin dijadikan sebagai pembayar hak tersebut, baik seluruhnya maupun sebagiannya“. Ulama Syafii dan Hambali dalam mengartikan rahn dalam arti akad yakni menjadikan materi (barang) sebagai jaminan utang, yang dapat dijadikan pembayar utang apabila orang yang berhutang tidak bisa membayar hutangnya.[5]

Dalam bukunya: Pegadaian Syariah, Muhammad Sholikul Hadi (2003) mengutip pendapat Imam Abu Zakariya al-Anshari dalam kitabnya Fathul Wahhab yang mendefenisikan rahn sebagai: “menjadikan benda bersifat harta sebagai kepercayaan dari suatu utang yang dapat dibayarkan dari (harga) benda itu bilautang tidak dibayar.” Sedangkan menurut Ahmad Baraja, rahn adalah jaminan bukan produk dan semata untuk kepentingan sosial, bukan kepentingan bisnis, jual beli mitra.[6]

Adapun pengertian rahn menurut Imam Ibnu Qudhamah dalam kitab Al-Mughni adalah sesuatu benda yang dijadikan kepercayaan dari suatu hutang untuk dipenuhi dari harganya, apabila yang berhutang tidak sanggup membayarnya dari yang berpiutang. [7]

Dari ketiga defenisi tersebut dapat disimpulkan bahwa rahn merupakan suatu akad utang piutang dengan menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syara’ sebagai jaminan, hingga orang yang bersangkutan boleh mengambil utang.[8]

B.  Landasan Hukum Gadai Konvensional dan Gadai Syariah

1.  Landasan Hukum Gadai Konvensional

Pada awalnya lembaga pegadaian pertamakali didirikan pada tanggal 1 April 1901. Tetapi seiring dengan perkembangan zaman, pegadaian beberapakali berubah status mulai sebagai Perusahaan Jawatan (1901), Perusahaan di bawah IBW (1928),Perusahaan Negara (1960),dan kembali ke perusahan jawatan 1969. baru sekitar tahun 1990 dengan lahirnya PP10/1990 tanggal 10 April 1990, sampai dengan terbitnya PP103 tahun 2000, pegadaian berstatus sebagai Perusahaan Umum dan masuk sebagai salah satu BUMN dalam lingkungan Dep. Keuangan RI. hingga sekarang.Dalam Undang-undang Nomor 9 Tahun 1969 pasal 6, dijelaskan bahwa sifat usaha pegadaian adalah menyediakan pelayanan bagi kemanfaatan umum dan sekaligus memupuk keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan. Sedangkan isi pasal 7,dijabarkan:(1) Turut meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama golonganmenengah ke bawah melalui penyediaan dana atas dasar hukum gadai, dan jasa di bidang keuangan lainnya berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.(2) Menghindarkan masyarakat dari gadai gelap,praktek riba dan pinjaman tidak wajar.[9]

2.  Landasan Hukum Gadai Syariah

Dasar hukum yang digunakan para ulama untuk membolehkannya rahn yakni bersumber pada al-Qur’an (2): 283 yang menjelaskan tentang diizinkannya bermuamalah tidak secara tunai.[10]

Dan Hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Aisiyah binti Abu Bakar, yang menjelaskan bahwa Rasulullah Saw pernah membeli makanan dari seorang Yahudi dengan menjadikan baju besinya sebagai jaminan.[11]

Berdasarkan dua landasan hukum tersebut ulama bersepakat bahwa rahn merupakan transaksi yang diperbolehkan dan menurut sebagian besar (jumhur) ulama, ada beberapa rukun bagi akad rahn yang terdiri dari, orang yang menggadaikan (ar-rahn), barang-barang yang digadai (marhun), orang yang menerima gadai (murtahin) sesuatu yang karenanya diadakan gadai, yakni harga, dan sifat akad rahn.[12] Sedangkan untuk sahnya akad rahn, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh para pihak yang terlibat dalam akad ini yakni: berakal, baligh, barang yang dijadikan jaminan ada pada saat akad, serta barang jaminan dipegang oleh orang yang menerima gadai (marhun) atau yang mewakilinya.[13]

Dengan terpenuhinya syarat-syarat di atas maka akad rahn dapat dilakukan karena kejelasan akan rahin, murtahin dan marhun merupakan keharusan dalam akad rahn.  Sedangkan mengenai saat diperbolehkan untuk menggunaan akad rahn, al-Qur’an dan al-Sunah serta ijma ulama tidak menetapkan secara jelas mengenai akad-akad atau transaksi jual beli yang diizinkan untuk menggunakan akad rahn.

Sebagian kecil ulama, sebagaimana yang dikemukakan Ibn Rusdy bahwa mazhab Maliki beranggapan bawa gadai itu dapat dilakukan pada segala macam harga dan pada semua macam jual beli, kecuali jual beli mata uang, dan pokok modal pada akad salam yang berkaitan dengan tanggungan, hal ini disebabkan karena pada shaf pada salam disyaratkan tunai, begitu pula pada harta modal. Sedangkan kelompok Fuqaha Zahiri berpendapat bahwa akad gadai (rahn) tidak boleh selain pada salam yakni pada salam dalam gadai, hal ini berdasar pada ayat yang berkenaan dengan gadai yang terdapat dalam masalah hutang piutang barang jualan, yang diartikan mereka sebagai salam.[14]

Dari bebrapa pendapat di atas dapat diartikan bahwa sebagian ulama beranggapan bahwa rahn dapat digunakan pada transaksi dan akad jual beli yang bermacam-macam, walaupun ada perbedaan ulama mengenai waktu dan pemanfaatan dari barang yang dijadikan jaminan tersebut.

Sedangkan benda Rahn yang digadai, dalam konsep fiqh merupakan amanat yang ada pada murtahin yang harus selalu dijaga dengan sebaik-baiknya, dan untuk menjaga serta merawat agar benda (barang) gadai tersebut tetap baik, kiranya diperlukan biaya, yang tentunya dibebankan kepada orang yang menggadai atau dengan cara memanfaatkan barang gadai tersebut. Dalam hal pemanfaatan barang gadai, beberapa ulama berbeda pendapat karena masalah ini sangat berkaitan erat dengan hakikat barang gadai, yang hanya berfungsi sebagai jaminan utang pihak yang menggadai.

C.  Solusi Mekanisme Operasional Pegadaian dengan Penerapan berdasarkan Prinsip Syariah

Seperti yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya, sungguh merupakan suatu hal yang ironis, ketika terdapat sebuah lembaga keuangan formal ( pemerintah) tidak bisa memperoleh pendapatan yang dapat menunjang kelangsungan hidup perusahaan tersebut. Adapun lembaga pegadaian, seandainya dalam aktivitasnya tidak menggunakan sistem bunga ( memungut bunga dari pinjman pokok ), maka tentunya lembaga tersebut akan mengalami hal yang demikian. Akan tetapi, di sisi lain sistem tersebut sangat memberatkan bagi nasabah, karena pemungutan bunganya yang ditetapkan setiap 15 hari sekali.

Memang hal ini tidaklah terlihat berat jika pinjaman tersebut bersifat kecil, namun jika uang yang dipinjamkan tersebut sangat besar jumlahnya, maka akan sangat memberatkan bagi nasabah.Persoalan ini cukup kompleks. Jika salah satu dimenangkan, maka hal ini akan terlihat tidak adil.  Karena pihak penerima gadai yang saat ini bestatus lembaga pegadaian, akan merasa dirugikan jika dalam operasional usahanya tidak mendapay keuntungan yang akan menunjang kegiatan usahanya. Sedangkan pihak yang menggadaikan diwajibkan membayar berupa bunga setiap 15 harinya, maka hal ini juga akan merugikan pihak penggadai.

Karena barang atau hartanya telah ditahan oleh penerima gadai. Selain itu hal yang menjadi sangat pokok dalam persoalan ini adalah penerapan bunga yang berbuntut riba yang jelas-jelas dilarang oleh syara’.Berangkat dari persolan tersebut, maka berikut sebuah solusi yang bisa dijalankan guna lembaga pegadaian yang merupakan lembaga penolong dapat tetap eksis dalam menjalankan mottonya “ mengatasi masalah tanpa masalah.”

1.  Kategori Barang Gadai

Muhammad Shalikul hadi mengutip pendapat Basyir (2003) bahwa jenis barang gadai yang dapat digadaikan sebagai jaminan adalah semua jenis barang bergerak dab tak bergerak, sehingga barang yang dapat digadaikan bisa semua barang asal memenuhi syarat:

(1)   Merupakan benda bernilai menurut hukum syara’

(2)   Ada wujudnya ketika perjanjian terjadi

(3)   Mungkin diserahkan seketika kepada murtahin.

 

2.  Pemeliharaan Barang Gadai

Ada perbedaan pendapat para ulama dalam halpemeliharaaan barang gadai. Ulama Syafi’iah dan Hanabilah berpendapat biaya pemeliharaan barang gadai menjadi tanggung jawab pemberi gadai karena barang tersebut merupakan miliknya dan akan kembali kepadanya. Sedangkan para ulama Hanafiah berpendapat bahwa biaya pemeliharaan barang gadai menjadi tanggungan penerima gadai yang mana dalam posisinya sebagai penerima amanat. Berdasarkan pendapat di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa biaya pemeliharaan barang gadai adalah hak rahin dalam kedudukannya sebagai pemilik yang sah. Akan tetapi jika harta atau barang jaminan tersebut menjadi kekuasaan murtahin dan di izinka oleh  maka biaya pemeliharaan jatuh pada murtahin.

Sedangkan untuk mengganti biaya tersebut nantinya, apabila murtahin mendapat izin dari rahin maka murtahin dapat memungut hasil marhun sesuai dan senilai dengan yang telah ia keluarkan. Tetapi apabila rahin tidak mengizinkannya maka biaya pemeliharaan menjadi utang rahin kepada murtahin. Pendapat ini dikutip oleh Muhammad Shalikul Hadi dari Sabiq (2003).[15]Resiko Atas Kerusakan Menurut para ulama Syafi’iah dan Hanabilah berpendapat bahwa murtahin tidak bertanggung jawab atas rusaknya barang gadai jika tidak disengaja. Sedangkan ulama Hanafiah berpendapat bahwa hal tersebut menjadi tanggungan murtahin sebesar harga barang minimum, dihitung mulai waktu diserahkannya barang gadai kepada murtahin sampai barang tersebut rusak.

Shalikul Hadi mengutip Basyir (2003: 84) Pembayaran Atau Pelunasan Hutang GadaiApabila sudah samapai jatuh tempo dan rahin belum membayarkan kembali utangnya maka murtahin boleh memaksa rahin untuk menjual barangnya. Kemudian hasilnya digunakan untuk menebus utang tersebut sedangkan jika terdapat sisa atas penjualan barang tersebut, maka akan dikembalikan kepada rahin.Prosedur Pelelangan GadaiJika ada persyaratan akan menjual barang gadai pada saat jatuh tempo, maka ini diperbolehkan dengan ketentuan:[16]

(1)   Murtahin harus mengetahui terlebih dahulu keadaan rahin

(2)   Dapat memeperpanjang tenggang waktu pemabayaran

(3)   Kalau keadaan mendesak murtahin boleh memindahkan barang gadai kepada murtahin lain dengan izin rahin

(4)   Apabila ketentuan di atas tidak terpenuhi, maka murtahin boleh menjual barang gadai dan kelebihan uangnya dikembalikan kepada rahin.

 

3.  Pembentukan Laba Pegadaian

Pada bab sebelumnya dijelaskan bahwa pegadaian memperoleh laba dari bunga gadai. Tetapi dari segi kaca mata syariah hal ini dilarang. Tentunya jika bunga gadai dihapuskan maka lembaga pegadaian tidak akan dapat melanjutkan operasionalnya lagi. Sebaliknya jika hal ini diperbolehkan hukum haram atas riba mengikatnya dan tentu saja kerugian salah satu pihak akan terjadi.untuk mengatasi hal tersebut dapat diterapkan sebagai berikut:

(1)  Melakukan transaksi gadai dengan akad Rahn

(2)  Melakukan transaksi gadai dengan  akad Bai’ al Muqoyyadah

(3)   Melakukan Akad al Mudharabah.

(4)  Melakukan dengan akad Qardhul Hasan

Itulah beberapa alternatif yang bisa dijalankan guna mengeliminir praktek riba dalam pegadaian konvensional. Danjuga sebagai solusi atas persoalan yang terdapat dalampegadaian saat sekarang ini, sehingga diharapkan natinya lembaga ini benar-benar telah menjalankan mottonya sebagai lembaga yang mengatasi masalah tanpa menimbulkan masalah.[17]

 

III. KESIMPULAN

Adapun kesimpulan sekaligus penutup esai ini adalah:

1.      Pengertian gadai menurut konvensional adalah gadai adalah suatu hak yang diperoleh oleh orang yang berpiutang atas suatu benda bergerak yang diberikan oleh orang yang berpiutang sebagai suatu jaminan dan barang tersebut bisa dijual jika orang yang berpiutang tidak mampu melunasi utangnya pada saat jatuh tempo.sedangkan gadai menurut syariat adalah  menjadikan suatu benda yang mempunyai nilai harta dalam pandangan syar’a untuk kepercayaan suatu utang, sehingga memungkinkan mengambil seluruh atau sebagaian utang dari benda itu.

2.      yang menjadi dasar hukum gadai konvensional adalah Undang-undang Nomor 9 Tahun 1969 pasal 6 dan pasal 7, sedangkan dasar hukum gadai syariah adalah al-Qur’an (2): 283 yang menjelaskan tentang diizinkannya bermuamalah tidak secara tunai. Dan Hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Aisiyah binti Abu Bakar, yang menjelaskan bahwa Rasulullah Saw pernah membeli makanan dari seorang Yahudi dengan menjadikan baju besinya sebagai jaminan.

3.      Dalam pandangan Islam bahwa pegadaian diperbolehkan oleh syariat. Dan tentunya harus sesuai dengan yang digariskan dalamAl-Qur’an dan As-Sunnah. Seterusnya, bukan tidak mungkin bahwa segala sesuatu yang bersifat konvensional yang ternyata banyak menyimpan persoalan dapat dijawab dengan menerapkan prinsip-prinsip syari’ah. Bunga bukanlah satu-satunya jalan yang tepat untuk mendapatkan keuntungan. Tetapi dengan memberdayakan akad-akad syariah pendapatan atau laba pun dapat diperoleh dan tentunya hasil yang didapatkan pun bersih dan halal.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

1.      Abdul Ghafur Ansori,. Gadai Sariah di Indonesia, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 2005.

2.      Departemen Agama RI,  Al Qur’an dan Terjemahnya, Bandung : CV. Diponegoro, 2003.

3.      Ghufran Sofiyanah, Mengatasi Masalah Dengan Pegadaian Syariah, Jakarta : RENAISAN Anggota IKAPI, 2005.

4.      Ibnn Rusdy, Bidaya al-Mujtahid, alih bahasa Imam Gazali Said, Jakarta: Pustaka Amini, 1991.

5.      Imam al’ama Ibn Mandur, Lisan al-Arab, Beirut: Muassah Tarikh al-Arabi, 1999.

6.      Imam Bukhari, Sahih Bukhari, Kutub al-Tis’ah (CD).

7.      Muhammad Sholikul Hadi, Pegadaian Syariah, Jakarta : Salemba Diniyah, 2003.

8.      Muhammad Syafi’i Antonio, Bisnis dan Perbankan Dalam Perspektif Islam Dalam Mustafa Kamal (ED) Wawasan Islam dan Ekonomi, Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI, 1997.

9.      Prof. DR. H. Racmat Syafee’i, M.A..  Fiqih Muamalah, Bandung : CV. Pustaka Setia, 2001.

10.  Sabiq, Sayyid, Fiqh us-Sunnah, Muhammad Sa‘eed Dabas, Jamal al-Din M. Zarabozo, translators, Indianapolis, Ind., USA: American Trust Publications, c1985.

11.  Susilo, Y. Sri, dkk. Bank Dan Lembaga Keuangan Lain. Jakarta : Salemba Empat,  1999.

12.  Van Hope, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ikhtiar Baru, 1996.

 


[1] Susilo, Y. Sri, dkk. Bank Dan Lembaga Keuangan Lain. Jakarta : Salemba Empat,  1999. hal. 132

[2]Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jus III, Beirut: Dar al-Fikr, tt,  hal. 187.

[3] Ibid., hal 187.

[4] Imam al’ama Ibn Mandur, Lisan al-Arab, Beirut: Muassah Tarikh al-Arabi, 1999, hal. 347.

[5] Van Hope, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ikhtiar Baru, 1996, hal.1480.

[6]Muhammad Sholikul Hadi. Pegadaian Syariah, Jakarta : Salemba Diniyah, 2003.

[7] Dr. Muhammad Firdaus NH, dkk. Mengatasi Masalah dengan Pegadaian Syariah, Jakarta : RENAISAN Anggota IKAPI,  2005.

[8]Dr. Abdul Ghofur Anshori, S.H., M.H. Gadai Syariah Di Indonesia, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press Anggota IKAPI, 2005.

[9] Susilo, Y. Sri, dkk. Bank Dan Lembaga Keuangan Lain. Jakarta : Salemba Empat,  1999. hal. 156

[10] Al-Qur’an surat al-Baqarah, ayat 283 yang dapat diartikan sebagai berikut: “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaknya ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)”.

[11] Imam Bukhari, Sahih Bukhari, Kutub al-Tis’ah (CD).

[12] Ibnn Rusdy, Bidaya al-Mujtahid, alih bahasa Imam Gazali Said, Jakarta: Pustaka Amini, 1991, hal. 351.

[13] Sayyid Sabiq, op.cit., hal, 188.

[14] Ibn Rusdy, op.cit., hal, 351.

[15] Muhammad Sholikul Hadi, Op. Ci., hal.17

[16] Muhammad Sholikul Hadi, Op. Ci., hal.85

[17] Muhammad Syafi’i Antonio. 1997. Bisnis dan Perbankan Dalam Perspektif Islam Dalam Mustafa Kamal (ED) Wawasan Islam dan Ekonomi. Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI.

 

I. LATAR BELAKANG

Harta adalah sesuatu yang sangat penting bagi manusia, tanpa harta hidup terasa hampa begitulah kata pepatah. Yah, harta memang mutlak diperlukan manusia karena dengan harta manusia akan dihormati, dengan harta manusia bisa makan dan memberi makan anak dan istri, dengan harta manusia bisa membeli dan memiliki apa saja yang ia inginkan di dunia. Dan tanpa harta manusia seringkali dilecehkan, dihinikan, bahkan sampai ada orang yang gila dan bunuh diri karena tidak mempunyai harta.

Tetapi apakah harta adalah segalanya. Ternyata tidak harta bukanlah segalanya karena harta tidak bisa membeli kebahagiaan dan keimanan. Dalam konteks ekonomi Islam harta yang kita miliki sebenarnya bukanlah miliki kita tetapi milik Allah swt. Dan kita hanya sekedar dititipi belaka. Dan harta yang Allah titipkan kepada kita itu di dalamnya terdapat hak-hak fakir, miskin, yatim, dll. Yang harus kita pedulikan. Sehingga di dalam ekonomi Islam harta itu mempunyai peran yang sangat besar baik peran dalam hal individu, sosial, maupun dengan lingkungan sekitar.

Oleh karena pentingnya harta itu, maka saya sebagai penulis ingin mencoba menganalisis bagaimana ekonomi Islam memandang harta, yang akan penulis jelaskan dalam esai ini.

 

II. POKOK-POKOK MASALAH

Beberapa pokok masalah yang akan penulis bahas dalam esai adalah sebagai berikut

1)      Apa pengertian dari harta?

2)      Bagaimana pandangan agama Islam terhadap harta yang dimiliki manusia?

3)      Bagaimana cara manusia mengelola harta yang diberikan Allah swt.?

4) Bagaimana harta dalam perspektif ekonomi Islam?

III. ANALISIS

A.  Pengertian

Pengertian harta (maal) dalam bahasa Arab ialah apa saja yang dimiliki manusia. Kata maal itu sendiri berakar dari kata dan frase: مول ، ملت ، لت تموّ ، تمو

sebagaimana Rasulullah bersabda dalam sebuah Hadits:” Sebaik-baik maal ialah yang berada pada orang yang saleh.” (Bukhari dan Muslim)[1]

Pengertian  harta secara Istilah Madzhab Hanafiyah[2]: Semua yang mungkin dimiliki, disimpan dan dimanfaatkan. Dua unsur menurut madzhab: 1. Dimiliki dan disimpan 2. Biasa dimanfaatkan dan menurut. Jumhur Fuqaha; Setiap yang berharga yang harus diganti apabila rusak, menurut Hambali: apa-apa yang memiliki manfaat yang mubah untuk suatu keperluan dan atau untuk kondisi darurat. Imam Syafii: barang-barang yang mempunyai nilai untuk dijual dan nilai harta itu akan terus ada kecuali kalau semua orang telah meninggalkannya (tidak berguna lagi bagi manusia). Ibnu Abidin[3]: segala yang disukai nafsu atau jiwa dan bisa disimpan sampai waktu ia dibutuhkan. As Suyuti dinukil dari Imam Syafii: tidak ada yang bisa disebut mal (harta) kecuali apa-apa yang memiliki nilai penjualan dan diberi sanksi bagi orang yang merusaknya.[4]

 

B.  Islam Memandang Harta

Islam memandang harta dengan acuan akidah yang disarankan Al-Qur’an, yakni dipertimbangkannya kesejahteraan manusia, alam, masyarakat dan hak milik. Pandangan demikian, bermula dari landasan iman kepada Allah, dan bahwa Dia-lah pengatur segala hal dan kuasa atas segalanya. Manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya karena hikmah Ilahiah. Hubungan manusia dengan lingkungannya diikat oleh berbagai kewajiban, sekaligus manusia juga mendapatkan berbagai hak secara adil dan seimbang.

Kalau harta seluruhnya adalah milik Allah, maka tangan manusia hanyalah tangan suruhan untuk jadi khalifah. Maksudnya manusia adalah khalifah-khalifah Allah dalam mempergunakan dan mengatur harta itu.

Ada tiga asas pokok tentang harta dalam ekonomi Islam, yaitu:[5]

1.    Allah Maha Pencipta, bahwa kita yakin semua yang ada di bumi dan di langit adalah ciptaan Allah.

2.    Semua harta adalah milik Allah. Kita sebagai manusia hanya memperoleh titipan dan hak pakai saja. Semuanya nanti akan kita tinggalkan, kita kembali ke kampung akhirat.

3.    Iman kepada hari Akhir. Hari Akhir adalah hari perhitungan, hari pembalasan terhadap dosa dan pahala yang kita perbuat selama mengurus harta di dunia ini. Kita akan ditanya darimana harta diperoleh dan untuk apa ia digunakan, semua harus dipertanggungjawabkan.

 

C.  Pengelolaan Harta Dalam Islam

Ada 3 poin penting dalam pengelolaan harta kekayaan dalam Islam (sesuai Al-Qur’an dan Hadits); yaitu:[6]

1.    Larangan mencampur-adukkan yang halal dan batil. Hal ini sesuai dengan Q.S. Al-Fajr (89): 19; ”Dan kamu memakan harta pusaka dengan cara mencampur baurkan (yang halal dan yang bathil)”

2.    Larangan mencintai harta secara berlebihan Hal ini sesuai dengan Q.S. Al-Fajr (89): 20; ”Dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan”

3.    ”Setiap muslim terhadap muslim lainnya haram darahnya, hartanya dan kehormatannya” (hadits Muslim).

 

Memproduksi barang-barang yang baik dan memiliki harta adalah hak sah menurut Islam. Namun pemilikan harta itu bukanlah tujuan tetapu sarana untuk menikmati karunia Allah dan wasilah untuk mewujudkan kemaslahatan umum. Dalam Al-Quran surat Al-Hadiid (57):7 disebutkan tentang alokasi harta.

(#qãZÏB#uä «!$$Î/ ¾Ï&Î!qߙu‘ur (#qà)ÏÿRr&ur $£JÏB /ä3n=yèy_ tûüÏÿn=øÜtGó¡•B ÏmŠÏù ( tûïÏ%©!$$sù (#qãZtB#uä óOä3ZÏB (#qà)xÿRr&ur öNçlm; ֍ô_r& ׎Î7x. ÇÐÈ

Artinya :”Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu ’menguasainya’. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu akan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar.” (Q.S. Al Hadiid : 7)[7]

Yang dimaksud dengan menguasai disini ialah penguasaan yang bukan secara mutlak. Seperti yang sudah dijelaskan di atas, hak milik pada hakikatnya adalah milik Allah. Manusia menafkahkan hartanya itu haruslah menurut hukum-hukum yang telah disyariatkan Allah. Karena itu tidak boleh kikir dan boros.

Belanja dan konsumsi adalah tindakan yang mendorong masyarakat berproduksi sehingga terpenuhinya segala kebutuhan hidupnya. Jika tidak ada manusia yang bersedia menjadi konsumen, dan jika daya beli masyarakat berkurang karena sifat kikir melampaui batas, maka cepat atau lambat roda produksi niscaya akan terhenti, selanjutnya perkembangan bangsa akan terhambat.

Islam mewajibkan setiap orang membelanjakan harta miliknya untuk memenuhi kebutuhan diri pribadi dan keluarganya serta menafkahkan di jalan Allah. Dengan kata lain Islam memerangi kekikiran dan kebakhilan. Larangan kedua dalam masalah harta adalah tidak berbuat mubadzir kepada harta karena Islam mengajarkan bersifat sederhana. Harta yang mereka gunakan akan dipertanggungjawabkan di hari perhitungan.

Sebagaimana seorang muslim dilarang memperoleh harta dengan cara haram, maka dalam membelanjakannya pun dilarang dengan cara yang haram. Ia tidak dibenarkan membelanjakan uang di jalan halal dengan melebihi batas kewajaran karena sikap boros bertentangan dengan paham istikhlaf harta majikannya (Allah). Norma istikhlaf adalah norma yang menyatakan bahwa apa yang dimiliki manusia hanya titipan Allah. Adanya norma istikhlaf ini makin mengukuhkan norma ketuhanan dalam ekonomi Islam. Dasar pemikiran istikhlaf adalah bahwa Allah-lah Yang Maha Pemilik seluruh apa dan siapa yang ada di dunia ini: langit, bumi, manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, batuan, dans ebagainya, baik benda hidup ataupun mati, yang berpikir ataupun tidak bepikir, manusia atau nonmanusia, benda yang terlihat ataupun tidak terlihat

Islam membenarkan pengikutnya menikmati kebaikan dunia. Prinsip ini bertolak belakang dengan sistem kerahiban Kristen, Manuisme Parsi, Sufisme Brahma, dan sistem lain yang memandang dunia secara sinis. Sikap mubadzir akan menghilangkan kemaslahatan harta, baik kemaslahatan pribadi dan orang lain. Lain halnya jika harta tersebut dinafkahkan untuk kebaikan dan untuk memperoleh pahala, dengan tidak mengabaikan tanggungan yang lebih penting. Sikap mubadzir ini akan timbul jika kita merasa mempunyai harta berlebihan sehingga sering membelanjakan harta tidak untuk kepentingan yang hakiki, tetapi hanya menuruti hawa nafsunya belaka. Allah sangat keras mengancam orang yang berbuat mubadzir dengan ancaman sebagai temannya setan.[8]

Muhammad bin Ahmad As-Shalih mengemukakan jika Islam telah melarang berlaku boros, maka Islam juga telah menetapkan balasan bagi orang yang menghamburkan harta kekayaan, yaitu mencegahnya dari membelanjakan harta tersebut. Inilah yang disebut hajr. Menurut para fuqaha, hajr adalah mencegah seseorang dari bertindak secara utuh oleh sebab-sebab tertentu. Di antara sebab-sebab itu adalah kecilnya usia sehingga harta itu tidak musnah karena kecurangan, tipu muslihat, dan tindakan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan.[9]

Ada beberapa ketentuan hak milik pribadi untuk sumber daya ekonomi dalam Islam:[10]

1.    harta kekayaan harus dimanfaatkan untuk kegiatan produktif (melarang penimbunan dan monopoli);

2.    pembayaran zakat serta pendistribusian (produktif/konsumtif)

3.    penggunaan yang berfaidah (untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan material-spiritual)

4.    penggunaan yang tidak merugikan secara pribadi maupun secara kemasyarakatan dalam aktivitas ekonomi maupun non ekonomi

5.    kepemilikan yang sah sesuai dengan prinsip-prinsip muamalah dalam aktifitas transaksi ekonomi.

 

D.  Fungsi Harta

Fungfsi harta bagi manusia sangat banyak. Harta dapat menunjang kegiatan manusia, baik dalam kegiatan yang baik maupun yang buruk. Oleh karena itu, manusia selalu berusaha ntuk memiliki dan menguasainya. Tidak jarang dengan memakai beragam cara yang dilarang syara’ dan hukum negara, atau ketetapan yang disepakati oleh ulama.

Dalam pembahasan ini, akan dikemukakan fungsi harta yang sesuai dengan ketentuan syara’, antara lain untuk :[11]

  1. Kesempurnaan ibadah mazhah, seperti shalat memerlukan kain untuk menuup aurat.
  2. Memelihara dan meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah set. Sebagai kefakiran mendekatkan kepada kekufuran.
  3. Meneruskan setafet kehidupan, agar tidak meninggalkan generasi lemah.
  4. Menyelaraskan kehidupan dunia dan akherat.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

III.   KESIMPULAN

 

1)      Harta adalah segala sesuatu yang dapat diambil, disimpan, dandapat dimanfaatkan, baik berupa benda yang tampak seperti emas, perak, binatang, tumbuh-tumbuhan, maupun yang tidak tampak yakni manfaat seperti kendaraan, pakaian, dan tempat tinggal.

2)      Islam memandang harta dengan acuan akidah yang disarankan Al-Qur’an, yakni dipertimbangkannya kesejahteraan manusia, alam, masyarakat dan hak milik. Pandangan demikian, bermula dari landasan iman kepada Allah, dan bahwa Dia-lah pengatur segala hal dan kuasa atas segalanya. Manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya karena hikmah Ilahiah. Hubungan manusia dengan lingkungannya diikat oleh berbagai kewajiban, sekaligus manusia juga mendapatkan berbagai hak secara adil dan seimbang

3)      pengelolaan harta kekayaan dalam Islam (sesuai Al-Qur’an dan Hadits); yaitu: (a).  Larangan mencampur-adukkan yang halal dan batil. Hal ini sesuai dengan Q.S. Al-Fajr (89): 19; ”Dan kamu memakan harta pusaka dengan cara mencampur baurkan (yang halal dan yang bathil)”; (b). Larangan mencintai harta secara berlebihan Hal ini sesuai dengan Q.S. Al-Fajr (89): 20; ”Dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan”; (c).  ”Setiap muslim terhadap muslim lainnya haram darahnya, hartanya dan kehormatannya” (hadits Muslim).

4)      Ada tiga asas pokok tentang harta dalam ekonomi Islam, yaitu: (1).  Allah Maha Pencipta, bahwa kita yakin semua yang ada di bumi dan di langit adalah ciptaan Allah.; (2). Semua harta adalah milik Allah. Kita sebagai manusia hanya memperoleh titipan dan hak pakai saja. Semuanya nanti akan kita tinggalkan, kita kembali ke kampung akhirat.; (3). Iman kepada hari Akhir. Hari Akhir adalah hari perhitungan, hari pembalasan terhadap dosa dan pahala yang kita perbuat selama mengurus harta di dunia ini. Kita akan ditanya darimana harta diperoleh dan untuk apa ia digunakan, semua harus dipertanggungjawabkan.

DAFTAR PUSTAKA

 

  1. Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Bandung, Gunung Djati Press, 1997.
  2. M. Hasbi Ash Shiddiqie,  Pengantar Fiqh Muamalah, Semarang, PT. Pustaka Rizki Putra, 1997.
  3. Nana Masduki, Fiqh Muamalah, Bandung, IAIN SGD, 1987.

4.      M.B. Hendrie Anto, Pengantar Ekonomika Islam, Yogyakarta, Ekonisia, 2003.

5.      Prof. Drs. H. Masjfuk Zuhudi,. Studi Islam Jilid III Muamlah, Jakarta, PT. Grafindo Persada,  1993.

  1. Departemen Agama RI,  Al Qur’an dan Terjemahnya, Bandung, CV. Diponegoro, 2003.
  2. M.B. Hendrie Anto, Pengantar Ekonomika Islam, Yogyakarta, Ekonisia, 2003.
  3. Prof. DR. H. Racmat Syafee’i, M.A.,  Fiqih Muamalah, Bandung , CV. Pustaka Setia, 2001.

9.      Van Hope, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ikhtiar Baru, 1996.

10.  Sulaiman Rasjid,  Fiqh Islam, Sinar Baru Algesindo, Bandung, 2002.

  1. http://darul-arafah.blogspot.com/
  2. http//hndwibowo.blogspot.com/2008/06/harta-dalam-perspektif-islam.html.

 

 

 


[1]Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Bandung, Gunung Djati Press, 1997, hlm. 9

[2] M. Hasbi Ash Shiddiqie,  Pengantar Fiqh Muamalah, Semarang, PT. Pustaka Rizki Putra, 1997, hlm. 139.

[3] Ibn Abidin, Radd Al-Mukhtar ‘Ala Dar Al-Mukhtar, Juz II, Hlm. 355.

[4] Nana Masduki, Fiqh Muamalah, Bandung, IAIN SGD, 1987, hlm. 76

 

 

[5] M.B. Hendrie Anto, Pengantar Ekonomika Islam, Yogyakarta, Ekonisia, 2003, hlm. 192.

[6] Prof. Drs. H. Masjfuk Zuhudi,. Studi Islam Jilid III Muamlah, Jakarta, PT. Grafindo Persada,  1993, hlm. 31

 

[7] Departemen Agama RI,  Al Qur’an dan Terjemahnya, Bandung, CV. Diponegoro. 2003, hlm. 429

 

[9] http//hndwibowo.blogspot.com/2008/06/harta-dalam-perspektif-islam.html

[10] M.B. Hendrie Anto, Pengantar Ekonomika Islam, Yogyakarta, Ekonisia, 2003, hlm. 202.

[11] Prof. DR. H. Racmat Syafee’i, M.A.,  Fiqih Muamalah, Bandung , CV. Pustaka Setia, 2001, hlm. 31.